Selasa, 17 November 2015

wadh'i makalah JOMI ANTO MUZAKKI. S.Sy


AHLUL  WADH'I ; JOMI ANTO MUZAKKI. S.Sy

BAB I

PENDAHULUAN
  1. Latar belakang

sebab itu ialah uapaya yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabbah dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabbab dan tidak adanya musabbab karena tidak adanya sebab
Islam adalah agama yang sempurna yang sudah barang tentu mengandung aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang hukum dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Hukum Islam termaktub lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian disebut sebagai Sumber Hukum Islam. Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Selain Al-Qur’an dan Sunnah, juga terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam, diantaranya ialah ijma’ dan qiyas.
Sebab seperti yang di terangkan di atas sehingga garis besarnya ada dua macam : sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf. Ditetapkannya serbab tentunya akan melahirkan musabbab. Karena itu tidak di terima akal kalau di tetapkan  sebab tanpa melahirkan musabbab. Setiap ketentuan hukum syar’a bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan. Inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.
B. Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang penulis angkat pada makalah ini adalah:

1. apa yang di maksud dengan sebab …....?

2. mengapa sebab bias disebut salah satu dalil wadh’i…..?

3. apa yang di maksud dengan Hukum Wadh’i……?

BAB II
PEMBAHASAN
  1. SEBAB
  1. Pengertian Sebab
Secara etimologi sebab artinya : seauatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. Dari kata inilah kemudian dinamakan “ jalan,”  secara  terminologi imam al-maidi mendefinisikanya :[1]






Artinya:
sifat zhahir yang dapat di ukur yang di tunjukan oleh sam’I ( al-qur’an dan sunnah ) bahwa keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syar’i.

definisi ini menunjukan bahwa sebab itu adalah : sesuatu yang keberadaannya di jadikan syar’I sebagai pertanda keberadaan suatu hukum. Dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.[2]
Misalnya allah menjadikan perbuatan zina sebagai sebab di tetapkannya hukuman, Karena pada dasarnya zina itu sendiri bukanlah penyebab ditetapkannya hukuman tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i. kemudian tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya salat dzuhur, dan tenggelamnya matahari menjadi sebab wajibnya salat maghrib yang disebut musabah.

Sebab menurut syatibi ada yang berada dalam kesanggupan mukallaf dan ada yang diluar kesanggupan mukallaf tentu saja tidak menjadi urusan mukallaf. Mereka hanya melaksanakan atau merespon msabbah atau hukum yang timbul. Seperti, keadaan yang memaksa untuk memakan bangkai, beser menjadi sebab tidak batalnya wudlu dan lain sebagainya. Keadaan yang terpaksa (dlarurat) tidak dapat diada-adakan sehingga makan bangkai hukumnya boleh beser tidak dapat lagi dihentikan, sehingga wudlu tidak lagi batal.
Para ahli ushul fiqh, memberi batasan tentang sebab:







Artinya :
”sebab itu ialah uapaya yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabbah dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabbab dan tidak adanya musabbab karena tidak adanya sebab.

Karena itu kalau sebab tidak ada musababpun tidak ada. Sebab seperti yang di terangkan di atas sehingga garis besarnya ada dua macam : sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf. Ditetapkannya serbab tentunya akan melahirkan musabbab. Karena itu tidak di terima akal kalau di tetapkan  sebab tanpa melahirkan musabbab. Setiap ketentuan hukum syar’a bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan. Inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.

Umpamanya syara menetapkan kawin sebagai sebab lahirnya hak perwarisan yang artinya hak kewarisan hanya lahir dari perkawinan yang sah, bukan dari perzinaan. Kalau alaannya di atas dapat di terima maka tujuan menetapkan sebab untuk membentuk musabbab dengan demikian dapat dikatakan sebab itulah yang membentuk musabbab dan musabbab di lahirkan oleh sebab, kalau tidak demikian tidaklah di namakan sebab.
Kalau seorang mukalaf mengerjakan sebab maka berarti ia telah melakukan musabbab baik di sadari atau tidak. Umpamanya seorang melakukan pembunuhan berencana maka perbuatannya ini menjadi sebab lahirnya hukuman qisas sebagai akibat dari perbutannya.kalau seorang mukallaf telah melakukan sebab dengan sempurna dan tidak ditemui adanya penghalang terjadinya musabbab, maka ia tidak dapat mengelak dari musabbab.
Contohnya: seorang yang melakukan akad nikah dengan seorang yang halal nikah baginya dan kalau ia ingin menolaknya jatuhlak talaknya, karena itu kalau ia bersumpah untuk tidak mendekati istrinya atau hilang haknya untuk menceraikan istrinya maka sumpah itu tidak beerlaku. Demikian juga kalau ia menceraikan istrinya dengan talak raj’i lalu ia bersumpah untuk tidak merujuk istrinya maka sumpah itu tidak berlaku  ia tetap mempunyai hak rujuk karena hak itu di tetapkan allah.

Berbeda dengan pendapat yang di kemukakan oleh syatibi. Ia mengatakan bahwa tidak mengharuskan adanya musabbab, dengan pengertian tidak selamanya amr dalam sebab menjadi menjadi amr dalam musabbab terlarang demikian pula kebolehan pada musabbab seperti jual beli menjadi sebab kebolehan pemanfaatannya. Boleh saja membeli barang lalau menyimpannya. Lebih jauh syatibi menyatakan wewenang untuk menentukan musabbab ada pada allah swt bukan ada pada manusia pendapat ini didukung oleh qu’an surat taha ayat 132 yang menyatakan zaminan risky hanya pada allah :





Artinya:
Dan perintahkan  pada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.kami tidak meminta rizki kepadamu dan akibat yang baik untuk orang yang bertaqwa.
Juga firman allah dalah QS surat hud ayat 6.






Artinya:
Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan allahlah yang memberi rizkinya dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya semua tertulis dalam kitabnya yang nyata ( lauful mahfuzh ).

Perjalanan diatas menempatkan manusia sebagai pelaku sebab namun bukan menciptakan akibat. Meskipun syatibi mengakui tidak akan dinamakan sebuah perbuatan sebagai sebab jika menimbulkan akibat namun syatibi tetap mengakuai wewenang dan qadrat allah swt. Sehingga meskipun akibat dapat tercipta tidak berarti kedudukan allah sebagai pencipta menjadi terlepas.

Dari definisi-definisi di atas dapat kita simpulkan, sebab adalah sesuatu yang tampak dan jelas yang di jadikan oleh hukum islam sebagai penentuan adanya hukum. Sebab merupakan sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan, sebab harus muncul dari nash bukan buatan manusia.
           
  1. PEMBAGIAN SEBAB
Menurut para ahli usul fiqih dapat di bagi dari beberapa segi:[3]

1.      dari segi objeknya sebab terbagi atas dua macam :

a, sebab al-waqti. Seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat dzuhur, sebagai mana yang di firmankan allah dalam surat al- isra ayat 17:18




Artinya :
dirikanlah shalat karena ( telah ) tergelincir mmatahari.

Kemudian mengenai ru’yah al-hilal sebagai pertanda wajibnya puasa.



Artinya :
Siapa diantara kamu telah melihat bulan (hilal) maka berpuasalah.
b. sebab al-ma’nawi seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar sebagai mana sabda rusullullah saw.



artinya :
setiap yang memabukan itu adalah haram. ( hr muslim ahmad ibn hambal dan as tihab al- sunan )

contoh lainnya, mengenai satu nisab harta menjadi penyebabkewajiban kewajiban zakat penyebab-penyebab lain dalam permasalahan hukuman.

  1. dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf sebab terbagi dua yaitu:

a.      sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan, seperti jual beli yang menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan  dikenakan hukuman qishas, dan akad nikah sebagai penyebab dihalalkannya hubungan suami istri, sebab seperti ini terbagi lagi kepada tiga macam :

  • sebab yang di perintahkan syara’ dan diwajibkan atau dianjurkan bagi mukallaf untuk melaksanakanya seperti nikah sebagai penyebab terjadinya hak waris mewarisi, dan nikah itu sendiri diperintahkan
  • sebab yang dilarang syara seperti pencurian sebagai penyebab di kenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
  • sebab yang di izinkan (ma’zunbih) dan boleh dilakukan mukallaf, seperti sembelihan sebagai penyebab dihalalkannya hewan sembelihan, dan penyembellihan itu sendiri sesuatu yang mubah.



b.  sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan, seperti tergelincirnya matahari sebagai penyebab wajibnya shalat dzuhur hubungan kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak waris mewarisi dan wafatnya seseorang sebagai penyebab berpindahnya hak milik kepada ahli waris. Bentuk sebab ini ada kalanya penyebab bagi hukum taklifi, seperti tergelincirnya matahari,dan adakalanya penyebab bagi hukum wad’i seperti wafatnya seseorang.

  1. Dari Segi Hukumnya, Sebab Terbagi Dua Macm Yaitu :

a.    Sebab al-masyru’
 yaitu seluruh yang membawa kepada kesalahatan dalam pandangan syar’i, sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti jihad, sebagai penyebab tersiarnya islam, terpeliharanya aqidah dan sampainya pesan-pesan agama sekalipun dalam pelaksanaan jihad membawa kepada kemafsadatan, seperti pengorbanan harta dan bahaya yang mengancam jiwa.

b.       Sebab ghairu al-masyru’ yaitu :
 sebab yang membawa kepada kemafsadatan dalam pandangan syar’i sekalipun di dalamnya juga terkandung suatu kemasahatan secara zhahir. Misalnya, nikah fasid dan adopsi (al-thabbani) keduanya termasuk sebab ghairu al-masyru karena membawa kemaslahatan dalam nikah fasid dan adopsi tersebut.[4]

  1. Dari Segi Pengaruhnya Terhadap Hukum, Sebab Terbagi Kepada dua bentuk :

a. sebab yang berpengaruh kepada hukum yang di sebut illat , dimana antara sebab seperti ini dengan hukum ada keserasian yang bias di nalar dan hikmah yang mengandung motivasi pensyariatan hukum tersebut, misalnya , mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang merupakan illat keharaman khamar, dan sifat ( perjalanan) sebagai sebab bolehnya berbuka puasa bagi musafir, yang merupakan illat kebolehan berbuka.

b. Sebab yang tidak berpengaruh pada hukum antara sebab dan hukum tidak ada keserasian, seperti waktu sebagaimana penyebab wajibnya shalat.[5]

  1. Dari segi jenis musabab, terbagi atas dua macam, yaitu :

a. sebab bagi hukum taklifi seperti waktu yang di tentukan untuk kewajiban shalat dan munculnya hilal sebagai pertanda kewajiban puasa.

b.  Sebab untuk menetapkan hak milik
Melepaskan atau menghalalkannya, misalnya, jual beli sebagai penyebab pemilikan barang yang di beli, akad nikah sebagai penyebab halalnya hubungan suami istri, dan talak sebagai sebagai penyebab lepas (putusnya) hubungan suami istri.
  1. Dari segi hubungan sebab dengan musabbab, sebab terbagi atas tiga macam yaitu :
  1. sebab al-syar’i yaitu sebab :yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan hukum syar’i seprti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zhuhur.
  2. Sebab al-adli yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan melalui nalar manusia, seperti belajar sebagai penyebab seorang berilmu.
  3. Sebab al-adi yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab di dasarkan kepada hukum adapt kebiasaan atau urf, seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
C.   HUKUM WADH’I
Hukum wad’I adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam:[6]
1.      Sebab
Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan oleh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Misalnya: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2.      Syarat
Syarat ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengan adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Seperti pembunuhan yang dapat diajatuhi hukuman Qishas.

3.      Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan.
    1. Sah dan Batil
Lafadz sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.[7]
    1. Aziman dan Rukhsah
Aziman dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya: jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.



BAB III

PENUTUP

Sebab merupakan salah satu hukum wadh’i yang dapat pula diartikan sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti pula jalan yang ddapat menyaampaikan kepada suatu tujuan yang dapat menyampaikan kepada suatu tujuan. Sebab juga merupakan sifat yang di jadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Menurut ulama ushul. Sebab itu harus muncul dari nash bukan buatan manusia.
Demikian, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

• Hukum wadh’I sebagai faktor keekstensians sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf,haruslah sangat diperhatikan.untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi pelanggarnya.

• Sumber hukum Islam ada tiga, Pertama al-Qur’an; kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad. Ijma’, qiyas, istihsan dan sebagainya tidak lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil ijtihad.sepertinya,akan lebih sempurnah hukum di Negara ini apabila hukum yang di gunakan di sangkutkan dengan hukum Agama.

• Hukum ta’ziah bertujuan untuk menghibur orang yang tertimpa musibah kematian keluarga, dan mengingatkannya untuk bersabar menghadapinya.jadi keberadaan hokum tersebut diperbolehkan.
·    Hukum Wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ali-Ibn Muhammad Nizhamuddin Al-Anshari Fawatif Al-Rahmat,

Prof. Dr H.Zainidin Ali M.A ,Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta ,sinar grafika ,2006

Prof.Dr ,Juhaya S.Praja, Ilmu Ushul Fiqih,bandung: pustaka setia ,2007

Drs. H.Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, bandung : cv pustaka setia, 1997

Prof. Dr. H. Nasrun haroen,M.A. Ushul Fiqih 1, Jakarta : logos wacana ilmu, 2001


 http://www.pejuangislam.com/main.p


[1] Al-saraksi, usul al-sarakhsi, jilid II hal 301
[2] Al-taffazanni syarh talwif, jilid II hal 102
[3] Abdul ali-ibn Muhammad nizhamuddin al-anshari fawatif al-rahmat, jilid I hal 61.
[4] Al-sarathsi, op,cit hal 302
[5] Abu ishad al-syatibi, almuwafadat, jilid, I hal 161
[6] http://gadib98plasa.blogspot.com/2009/10/makalah-sumber-hukum-islam.html?zx=b3ea607f67e937e6

[7] http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar