AHLUL WADH'I ; JOMI ANTO MUZAKKI. S.Sy
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
- Latar belakang
sebab itu ialah uapaya yang dijadikan syara’ sebagai
tanda atas musabbah dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabbab dan
tidak adanya musabbab karena tidak adanya sebab
Islam adalah agama yang sempurna yang sudah barang
tentu mengandung aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh
seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai
pedoman dalam pelaksanaannya. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum
yang hukum dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Muhammad
SAW. Hukum Islam termaktub lengkap dalam Al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian
disebut sebagai Sumber Hukum Islam. Al-Qur’an dan Sunnah adalah dua hal yang
menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai
kesempurnaan dunia dan akhirat. Selain Al-Qur’an dan Sunnah, juga terdapat
beberapa dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum Islam, diantaranya ialah
ijma’ dan qiyas.
Sebab seperti yang di terangkan di atas sehingga garis
besarnya ada dua macam : sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang
berasal dari perbuatan mukallaf. Ditetapkannya serbab tentunya akan melahirkan
musabbab. Karena itu tidak di terima akal kalau di tetapkan sebab tanpa melahirkan musabbab. Setiap
ketentuan hukum syar’a bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
dan menyingkirkan manusia dari kerusakan. Inilah yang menjadi sebab utama
lahirnya berbagai ketentuan hukum.
B. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang penulis angkat pada makalah ini adalah:
1. apa yang di maksud dengan sebab …....?
2. mengapa sebab bias disebut salah satu dalil wadh’i…..?
3. apa yang di maksud dengan Hukum Wadh’i……?
BAB II
PEMBAHASAN
- SEBAB
- Pengertian Sebab
Secara etimologi sebab artinya : seauatu yang memungkinkan dengannya
sampai pada suatu tujuan. Dari kata inilah kemudian dinamakan “ jalan,” secara
terminologi imam al-maidi mendefinisikanya :[1]
Artinya:
sifat zhahir yang
dapat di ukur yang di tunjukan oleh sam’I ( al-qur’an dan sunnah ) bahwa
keberadaannya sebagai pengenal bagi hukum syar’i.
definisi ini menunjukan bahwa sebab itu adalah :
sesuatu yang keberadaannya di jadikan syar’I sebagai pertanda keberadaan suatu
hukum. Dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.[2]
Misalnya allah menjadikan perbuatan zina sebagai sebab
di tetapkannya hukuman, Karena pada dasarnya zina itu sendiri bukanlah penyebab
ditetapkannya hukuman tetapi penetapan hukuman itu adalah dari syar’i. kemudian
tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya salat dzuhur, dan tenggelamnya
matahari menjadi sebab wajibnya salat maghrib yang disebut musabah.
Sebab menurut syatibi ada yang berada dalam kesanggupan
mukallaf dan ada yang diluar kesanggupan mukallaf tentu saja tidak menjadi
urusan mukallaf. Mereka hanya melaksanakan atau merespon msabbah atau hukum
yang timbul. Seperti, keadaan yang memaksa untuk memakan bangkai, beser menjadi
sebab tidak batalnya wudlu dan lain sebagainya. Keadaan yang terpaksa
(dlarurat) tidak dapat diada-adakan sehingga makan bangkai hukumnya boleh beser
tidak dapat lagi dihentikan, sehingga wudlu tidak lagi batal.
Para ahli ushul fiqh, memberi batasan
tentang sebab:
Artinya :
”sebab itu ialah uapaya yang
dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabbah dan dihubungkan adanya sebab
dengan adanya musabbab dan tidak adanya musabbab karena tidak adanya sebab.
Karena itu kalau sebab tidak ada musababpun tidak ada.
Sebab seperti yang di terangkan di atas sehingga garis besarnya ada dua macam :
sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan
mukallaf. Ditetapkannya serbab tentunya akan melahirkan musabbab. Karena itu
tidak di terima akal kalau di tetapkan
sebab tanpa melahirkan musabbab. Setiap ketentuan hukum syar’a bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari
kerusakan. Inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.
Umpamanya syara menetapkan kawin sebagai sebab lahirnya
hak perwarisan yang artinya hak kewarisan hanya lahir dari perkawinan yang sah,
bukan dari perzinaan. Kalau alaannya di atas dapat di terima maka tujuan
menetapkan sebab untuk membentuk musabbab dengan demikian dapat dikatakan sebab
itulah yang membentuk musabbab dan musabbab di lahirkan oleh sebab, kalau tidak
demikian tidaklah di namakan sebab.
Kalau seorang mukalaf mengerjakan sebab maka berarti ia
telah melakukan musabbab baik di sadari atau tidak. Umpamanya seorang melakukan
pembunuhan berencana maka perbuatannya ini menjadi sebab lahirnya hukuman qisas
sebagai akibat dari perbutannya.kalau seorang mukallaf telah melakukan sebab dengan
sempurna dan tidak ditemui adanya penghalang terjadinya musabbab, maka ia tidak
dapat mengelak dari musabbab.
Contohnya: seorang yang melakukan akad nikah dengan
seorang yang halal nikah baginya dan kalau ia ingin menolaknya jatuhlak
talaknya, karena itu kalau ia bersumpah untuk tidak mendekati istrinya atau
hilang haknya untuk menceraikan istrinya maka sumpah itu tidak beerlaku.
Demikian juga kalau ia menceraikan istrinya dengan talak raj’i lalu ia
bersumpah untuk tidak merujuk istrinya maka sumpah itu tidak berlaku ia tetap mempunyai hak rujuk karena hak itu
di tetapkan allah.
Berbeda dengan pendapat yang di kemukakan oleh syatibi.
Ia mengatakan bahwa tidak mengharuskan adanya musabbab, dengan pengertian tidak
selamanya amr dalam sebab menjadi menjadi amr dalam musabbab terlarang demikian
pula kebolehan pada musabbab seperti jual beli menjadi sebab kebolehan
pemanfaatannya. Boleh saja membeli barang lalau menyimpannya. Lebih jauh
syatibi menyatakan wewenang untuk menentukan musabbab ada pada allah swt bukan
ada pada manusia pendapat ini didukung oleh qu’an surat taha ayat 132 yang menyatakan zaminan
risky hanya pada allah :
Artinya:
Dan perintahkan pada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.kami tidak meminta rizki kepadamu dan
akibat yang baik untuk orang yang bertaqwa.
Juga firman allah dalah QS surat
hud ayat 6.
Artinya:
Dan tidak ada satu binatang
melatapun di bumi melainkan allahlah yang memberi rizkinya dan dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya semua tertulis dalam
kitabnya yang nyata ( lauful mahfuzh ).
Perjalanan diatas menempatkan manusia sebagai pelaku
sebab namun bukan menciptakan akibat. Meskipun syatibi mengakui tidak akan
dinamakan sebuah perbuatan sebagai sebab jika menimbulkan akibat namun syatibi
tetap mengakuai wewenang dan qadrat allah swt. Sehingga meskipun akibat dapat
tercipta tidak berarti kedudukan allah sebagai pencipta menjadi terlepas.
Dari definisi-definisi di atas dapat kita simpulkan,
sebab adalah sesuatu yang tampak dan jelas yang di jadikan oleh hukum islam
sebagai penentuan adanya hukum. Sebab merupakan sesuatu yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu tujuan, sebab harus muncul dari nash bukan buatan manusia.
- PEMBAGIAN SEBAB
Menurut para ahli usul fiqih dapat di bagi dari beberapa segi:[3]
1. dari segi objeknya sebab terbagi atas dua
macam :
a, sebab
al-waqti. Seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya shalat dzuhur,
sebagai mana yang di firmankan allah dalam surat al- isra ayat 17:18
Artinya :
dirikanlah shalat karena ( telah )
tergelincir mmatahari.
Kemudian mengenai ru’yah al-hilal sebagai pertanda wajibnya puasa.
Artinya :
Siapa diantara kamu telah melihat
bulan (hilal) maka berpuasalah.
b. sebab
al-ma’nawi seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar sebagai mana sabda
rusullullah saw.
artinya :
setiap yang memabukan itu adalah
haram. ( hr muslim ahmad ibn hambal dan as tihab al- sunan )
contoh lainnya, mengenai satu nisab harta menjadi penyebabkewajiban
kewajiban zakat penyebab-penyebab lain dalam permasalahan hukuman.
- dari segi kaitannya dengan kemampuan mukallaf sebab terbagi dua yaitu:
a. sebab
yang merupakan perbuatan mukallaf dan mampu dilakukan, seperti jual beli yang
menjadi penyebab pemilikan harta, pembunuhan sengaja menyebabkan dikenakan hukuman qishas, dan akad nikah
sebagai penyebab dihalalkannya hubungan suami istri, sebab seperti ini terbagi
lagi kepada tiga macam :
- sebab yang di perintahkan syara’ dan diwajibkan atau dianjurkan bagi mukallaf untuk melaksanakanya seperti nikah sebagai penyebab terjadinya hak waris mewarisi, dan nikah itu sendiri diperintahkan
- sebab yang dilarang syara seperti pencurian sebagai penyebab di kenakan hukuman potong tangan dan pencurian itu sendiri dilarang.
- sebab yang di izinkan (ma’zunbih) dan boleh dilakukan mukallaf, seperti sembelihan sebagai penyebab dihalalkannya hewan sembelihan, dan penyembellihan itu sendiri sesuatu yang mubah.
b. sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak
mampu untuk dilakukan, seperti tergelincirnya matahari sebagai penyebab
wajibnya shalat dzuhur hubungan kekerabatan sebagai penyebab munculnya hak
waris mewarisi dan wafatnya seseorang sebagai penyebab berpindahnya hak milik
kepada ahli waris. Bentuk sebab ini ada kalanya penyebab bagi hukum taklifi,
seperti tergelincirnya matahari,dan adakalanya penyebab bagi hukum wad’i
seperti wafatnya seseorang.
- Dari Segi Hukumnya, Sebab Terbagi Dua Macm Yaitu :
a. Sebab al-masyru’
yaitu seluruh yang membawa kepada kesalahatan
dalam pandangan syar’i, sekalipun dibarengi kemafsadatan secara zhahir, seperti
jihad, sebagai penyebab tersiarnya islam, terpeliharanya aqidah dan sampainya
pesan-pesan agama sekalipun dalam pelaksanaan jihad membawa kepada
kemafsadatan, seperti pengorbanan harta dan bahaya yang mengancam jiwa.
b. Sebab ghairu al-masyru’ yaitu :
sebab yang
membawa kepada kemafsadatan dalam pandangan syar’i sekalipun di dalamnya juga
terkandung suatu kemasahatan secara zhahir. Misalnya, nikah fasid dan adopsi
(al-thabbani) keduanya termasuk sebab ghairu al-masyru karena membawa
kemaslahatan dalam nikah fasid dan adopsi tersebut.[4]
- Dari Segi Pengaruhnya Terhadap Hukum, Sebab Terbagi Kepada dua bentuk :
a. sebab yang berpengaruh kepada hukum yang
di sebut illat , dimana antara sebab seperti ini dengan hukum ada keserasian
yang bias di nalar dan hikmah yang mengandung motivasi pensyariatan hukum
tersebut, misalnya , mabuk sebagai sebab yang berpengaruh pada hukum, yang
merupakan illat keharaman khamar, dan sifat ( perjalanan) sebagai sebab
bolehnya berbuka puasa bagi musafir, yang merupakan illat kebolehan berbuka.
b. Sebab
yang tidak berpengaruh pada hukum antara sebab dan hukum tidak ada keserasian,
seperti waktu sebagaimana penyebab wajibnya shalat.[5]
- Dari segi jenis musabab, terbagi atas dua macam, yaitu :
a. sebab bagi hukum taklifi seperti waktu
yang di tentukan untuk kewajiban shalat dan munculnya hilal sebagai pertanda
kewajiban puasa.
b. Sebab
untuk menetapkan hak milik
Melepaskan atau menghalalkannya, misalnya, jual beli
sebagai penyebab pemilikan barang yang di beli, akad nikah sebagai penyebab
halalnya hubungan suami istri, dan talak sebagai sebagai penyebab lepas
(putusnya) hubungan suami istri.
- Dari segi hubungan sebab dengan musabbab, sebab terbagi atas tiga macam yaitu :
- sebab al-syar’i yaitu sebab :yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan hukum syar’i seprti tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat zhuhur.
- Sebab al-adli yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab dihasilkan melalui nalar manusia, seperti belajar sebagai penyebab seorang berilmu.
- Sebab al-adi yaitu sebab yang hubungannya dengan musabbab di dasarkan kepada hukum adapt kebiasaan atau urf, seperti tubuh merasa tidak sehat karena ada penyakit.
C. HUKUM WADH’I
Hukum
wad’I adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
persyaratan sebab atau mani’.Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I
itu ada lima
macam:[6]
1. Sebab
Sebab
yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan oleh nash al-qur’an
atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya,
keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Misalnya:
tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat
ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengan adanya syarat dan bila tidak
ada syarat maka hukum pun tidak ada. Seperti pembunuhan yang dapat diajatuhi
hukuman Qishas.
3. Mani’
Mani’
yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau
tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan
menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan.
- Sah dan Batil
Lafadz
sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta
memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah
dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan
pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.[7]
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.[7]
- Aziman dan Rukhsah
Aziman
dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak
semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga
seluruh makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya:
jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan
Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan
jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah
empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil lain yang menunjukkan
bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti
orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Sebab merupakan salah satu hukum wadh’i yang dapat pula
diartikan sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti
jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti pula jalan yang
ddapat menyaampaikan kepada suatu tujuan yang dapat menyampaikan kepada suatu
tujuan. Sebab juga merupakan sifat yang di jadikan syar’i sebagai tanda adanya
hukum. Menurut ulama ushul. Sebab itu harus muncul dari nash bukan buatan
manusia.
Demikian, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
• Hukum wadh’I sebagai faktor keekstensians sebuah
hukum syariat bagi seorang mukallaf,haruslah sangat diperhatikan.untuk
menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi pelanggarnya.
• Sumber hukum Islam ada tiga, Pertama al-Qur’an;
kedua Sunnah; dan ketiga ijtihad. Ijma’, qiyas, istihsan dan sebagainya tidak
lagi disebut sebagai sumber hukum Islam karena semuanya merupakan hasil
ijtihad.sepertinya,akan lebih sempurnah hukum di Negara ini apabila hukum yang
di gunakan di sangkutkan dengan hukum Agama.
• Hukum ta’ziah bertujuan untuk menghibur orang yang
tertimpa musibah kematian keluarga, dan mengingatkannya untuk bersabar
menghadapinya.jadi keberadaan hokum tersebut diperbolehkan.
·
Hukum Wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Ali-Ibn Muhammad Nizhamuddin Al-Anshari Fawatif
Al-Rahmat,
Prof. Dr H.Zainidin Ali M.A ,Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta ,sinar grafika ,2006
Prof.Dr ,Juhaya S.Praja,
Ilmu Ushul Fiqih,bandung:
pustaka setia ,2007
Drs. H.Syafi’i Karim, Fiqih
Ushul Fiqih, bandung
: cv pustaka setia, 1997
Prof. Dr. H. Nasrun haroen,M.A. Ushul Fiqih 1, Jakarta
: logos wacana ilmu, 2001
[1]
Al-saraksi, usul al-sarakhsi, jilid II hal 301
[2]
Al-taffazanni syarh talwif, jilid II hal 102
[3]
Abdul ali-ibn Muhammad nizhamuddin al-anshari fawatif al-rahmat, jilid I hal
61.
[4]
Al-sarathsi, op,cit hal 302
[5]
Abu ishad al-syatibi, almuwafadat, jilid, I hal 161
[7]
http://www.pejuangislam.com/main.php?prm=karya&var=detail&id=174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar