MAKALAH NASIHK MANSHUKH. OLEH JOMI ANTO MUZAKKI.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
masalah
Dari
awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak
ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing
saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu
ba'dha Dari segi kejelasan, ada empat tingkat
pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup
jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga,
cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah
yang mengetahui maksudnya.
Dalam
al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm
al-kitab, yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus
menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian,
sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam
ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang
hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang
tersebut maupun undang-undang lainnya yang
sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal
ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa,
sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi
dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi
terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi
historis."
Dalam
ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang
mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para
mufassir memberi tempat yang
cukup tinggi terhadap pengertian ayat
al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut
interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh.
B. Topik Pembahasan
Dalam
hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah
masalah asas, pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis
Dan Bada', jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan
hikmah kegunaannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. ASAS NASIKH-MANSUKH
Andaikan
al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan. Ungkapan
ini sangat penting dalam rangka memahami
dan menafsirkan ayat-ayat
serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an.
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan
terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung
berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya
terkandung antara lain nasihat, sejarah,
dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,
perintah dan larangan.
Masalah-masalah yang disebutkan terakhir
ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum
didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan
saling menjelaskan.
Dalam
kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip
tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang
memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat
lainnya dari al-Qur'an tidak ada kontradiksi (ta'arudl). Dari
asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan
pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling
bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl)
yang demikian merupakan asas metode penafsiran
dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.[1]
2. PENGERTIAN
NASIKH -MANSUKH
Nasikh-Mansukh
berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini
dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan,
pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian
majazinya ialah pemindahan atau pengalihan.
Diantara pengertian etimologi itu ada yang
dibakukan menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma
yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut
pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu. Ulama
mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan
kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum
yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama
yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya,
sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus,
tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid)
bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat
mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish)
terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian
pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian
syarat dan sifatnya.
Sebaliknya
ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga
pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan
ketentuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir
dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan
demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari
satu pengertian, dan di lain pihak -dalam
perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.
3. PERBEDAAN
ANTARA NASAKH, MANSUKH
Terdapat
perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani
dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya
pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan
bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan"meskipun demikian,
pada umumnya, dia sepakat tentang:
- Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang kemudian;
- Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
- Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu
Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al
Ashfahani memandangnya sebagai takhshis. Tampaknya al Ashfahani menegaskan
pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran
terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat
dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis,
menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad)
dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"
Bertolak dari
pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan
prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
- Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
- Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
- Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
- Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
Setelah
terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan
hokum yang tedapat dalam mansukh. Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus
yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah
bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al
Jatsiyah,45:33 : dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang
mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu
memperolok-olokkannya.
35. kemudian timbul pikiran pada mereka
setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus
memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf,
Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah
adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini”.
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat
jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya
hokum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan
kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab
dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT.
Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum
hokum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
4. JENIS-JENIS NASKH- MANSUKH
Masalah
pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at
dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita
amati antara syari'at Nabi Isa as. dengan
syari'at hukum agama Yahudi yang lebih dahulu ada.
Dalam hubungan ini, dapat kita katakan
bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan
sendirinya kita mengaku adanya naskh,
karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan
semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan,
sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi,
adanya nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan
salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari
segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu
pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya,
adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan
pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal
kedaulatan, hokum dasar dan hukum-hukum yang langsung
berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya
dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan
pemerintah/negara baru itu.
Jika
kita sudah melihat adanya
nasikh-mansukh antar syari'at, apakah didalam
satu syari'at terjadi juga
nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan
hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan
menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah
ini.
·
Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih
berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah
menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram, Ini
berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalam
hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga
berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
·
Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya
menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat
beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa
tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun Beberapa
waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan
10 hari Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan
hukum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan,
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam
syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku,
kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan
ketentuan hukum lain. Hal seperti ini, jika
dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang
lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku
lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan
lain. Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal
nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara
satu ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang
juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama,
adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Demikian
pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits
yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu
hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya
nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah
dengan lain hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang
sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang
menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama
ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an
dengan Hadits/Sunnah. Jika disimak alasan
masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu
garis bahwa faktor utama terjadinya
perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan
hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam syari'at
itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan
Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua
unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga
tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti
ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak
dapat dicabut dengan peraturan hokum lainnya yang
lebih rendah tingkatannya.
Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan
hukum menjadi factor pertimbangan. Berdasarkan
pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah
Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi
nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at. Jenis
nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya.
Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat
eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk
yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya,
misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti)
ditetapkan secara jelas. Ini contoh dari al-Qur'an.
Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum ziarah
kubur. Didalam hadits disebutkan,
"Pernah aku melarang kalian
melakukan ziarah kubur.
Sekarang lakukanlah!". Berbeda dengan hal tersebut
diatas, nasikh yang bersifat dlimni
tidak memuat penegasan didalamnya bahwa
ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas
bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis
seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
5. KEDUDUKAN
NASKH- MANSUKH
Masalah
naskh bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir
dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu
masalah naskh merupakan techniseterm
dengan batasan pengertian yang baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan
adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia
berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan) Ungkapan Imam Subki ini dapat
dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh
yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari
segi materinya, maka fungsi
penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat
dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh
merupakan salah satu interpretasi hukum.[2]
6. HIRARKI
PENGGUNAAN NASKH-MANSUKH
Yang
menjadi persoalan sekarang, apakah naskh
menempati urutan pertama dalam interpretasi hukum-syari'at?
Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at, baik
al-Qur'an maupun Hadits setiap ketentuan hukum
itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan,
supaya kepastian hukumnya terjamin. Semua
segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya,
maksud ketentuan hukum itu harus disoroti dan
didalami. Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya,
hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain.
Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu
(jam') atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu
Usul Fiqh.
Jika
tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi
antara dua ketentuan hukum itu juga sudah
teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan kemungkinan adanya
nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak
pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan
hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud
bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada
pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi.
7. KAWASAN PENGGUNAAN
NASKH-MANSUKH
Masalah
yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan naskh
itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya
terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam
Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas keagamaan)
sebagai suatu kebulatan tidak mungkin terjangkau
oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama
bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk
masalah berita, karena mustahil Allah berdusta, Sejalan dengan
ini Imam Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang
terjadi antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi
haram, atau sebaliknya, itu semua
hanya menyangkut perintah dan larangan,
sedangkan dalam berita
tidak terjadi nasikh-mansukh.[3]
Ungkapan
ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah
semata-mata soal hukum, yang hanya
menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum.
Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang ilmu
Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum
Dasar, misalnya Undangundang Dasar Negara yang
tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya
pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan
peraturan lain untuk menggantikannya hanya
berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan
dan kawasan naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat
mengenal beberapa persyaratan, yaitu:
- Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
- Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
- Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
- Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
8. HIKMAH ADANYA NASKH-MANSUKH
Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan
tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci
al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu
20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu
Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk
pemantapan.[4] khususnya
di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha
Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam
proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan
berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat
kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga
bersifat universal. Demikianlah Sunnah
al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama.
Jika
engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang
hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami
yang lazim, baik dalam bidang
material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari
unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi
janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh
menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan
seterusnya. [5]
Setiap
proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam
ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh
yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,
mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan
proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih
tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana
langsung membenahi bangsa Arab yang masih
dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut
bagi suatu bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan
dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang
yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan
Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban
kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang
kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita
yang menurut sunnah Allah ditentukan
hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang
perlu atau disempurnakan hal-hal yang dipandang
tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan?
Ataukah syari'at-syari'at agama lain yang diubah
sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali.[6]
Syari'at
Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang
Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana
syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil
untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan
bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
al-Qur'an
merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan
satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan
al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Kitab Suci yang terdiri
dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok
surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat
turunnya al-Qur'an itu sendiri dan
tujuan yang ingin dicapainya.
1.
Ada beberapa pengertian nasakh antara lain :
2.
Menghilangkan
(Izalah)
3.
Mengganti (Tabdil)
4.
Memalingkan (Tahwil)
5.
Menukil (memindahkan)
6.
Mengkhususkan
(Tahshish)
Pembagian
Nasakh
a.Nasakh-Mansukh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
b.Nasakh-Mansukh Al-Qur’an dengan Hadits
c.Nasakh-Mansukh Hadits dengan Al-Qur’an
d.Nasakh Hadits dengan Hadits
Dengan mengetahui, memahami ilmu nasikh
mansukh dalam Al-Qur’an kita akan semakin yakin bahwa al-Qur’an diturunkan dari
Allah SWT. Dan semakin kuat pula
keyakinan bahwa Al-Qur’an merupakn mukjizat yang paling agung.
SARAN
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada
kesalahan baik dalam penjelasanmaupun dalam penulisan kami mohon maaf . kami
mengharap kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadika apa yang kami
buat ini lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar
al Qolam li al Malayin, Beirut
1988:271.
Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al
Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78
Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004.
Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta
:Darus Sunnah Press.
Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Rajawali.
Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur’an
(Edisi Lengkap). S urabaya :Dunia Ilmu.
Hamzah, Mu
khotob. 2003. Study Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta : GemaMedia.Chirzin,
Muhammad. 1998. Al-Qur’an Dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Dana
BhaktiPrima Yasa.
[1] Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah
az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78
[2] Abdul HA, Djalal,
H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Qur’an (Edisi Lengkap). S urabaya :Dunia Ilmu
[3] Hamzah, Mukhotob. 2003. Study
Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta :
GemaMedia.
[4] Syaikh Muhammad Bin Sholel al
Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta
:Darus Sunnah Press.
[5] Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an
Dan Ulumul Qur’an. Jakarta
: Dana BhaktiPrima Yasa.
[6] Subhi ash Shalih, Mabahits fi
'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar