MAKALAH QADHA DAN QODAR ALLAH, OLEH JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy.
BAB I
PENDAHLUAN
1. Latar Belakang
Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penyusun makalah menemukan berbagai masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Qadha dan Qadar ?
2. Bagaimana mendudukkan Qadha dan Qadar ?
3. Sebutkan dan jelaskan golongan-golongan yang timbul aakibat adanya persoalan perbedaan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar !
4. Jelaskan kesimpulan terakhir dan pendapat tentang aliran ilmu kalam !
3. Tujuan Makalah
Dalam penyusunan makalah yang berjudul Qadha dan Qadar penyusun mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa arti Qadha dan Qadar.
2. Untuk mengetahui perkembangan tentang persoalan Qadha dan Qadar dalam beberapa aliran.
BAB II
PEBAHASAN
A. PengertianQadha dan Qadar
Qadha adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara paksa. Misalnya, manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kuasa atas detak jantungnya. Kilat yang menyambar di langit atau gempa yang menggoncang bumi sehingga manusia terkena bahaya, atau jatuhnya seseorang dari atap kemudian menimpa orang lain sehingga ia mati. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian qadha. Oleh karena itu manusia tidak akan dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian tersebut di atas, dan tidak ada hubunganya dengan perbuatan manusia yang dilakukan karena pilihannya sendiri.
Sedangkan Qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan terjadinya sesuatu. Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau, naluri melestarikan keturunan yang diperuntukkan bagi manusia dan lain sebagainya. Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya pelaku yang menggunakan khasiyat-khasiyat benda tersebut, yaitu manusia. Sehingga, apabila manusia melakukan suatu perbuatan dengan pilihannya sendiri maka dialah yang dianggap sebagai pelaku, bukan qadar (khasiyat) yang ada pada benda tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka manusialah yang dikatakan sebagai pembakar, bukan api yang mempunyai khasiyat membakar. Oleh karena itu, manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan qadar/khasiyat dari api menurut kehendaknya sendiri.
Dengan demikian, manusia mampu memberikan pengaruh dalam usaha mencari nafkah hidup atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu meluruskan penguasa yang zhalim atau memberhentikannya. Dia mampu pula untuk meruntuhkan sistem kehidupan yang tidak Islami seperti sekarang ini dan menggantikannya dengan sistem kehidupan yang Islami dalam naungan Khilafah Islamiyyah jika dia memang berusaha untuk itu. Dia juga mampu mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan yang memang dikehendakinya
B. Mendudukkan Makna Qadha’ wa Qodar
Terlebih dahulu hendaknya didudukkan apa yang dimaksud Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin, karena memang para ulama memasukkan Jabariyyah ke dalam kalangan ahli kalam (mutakallimin), sehingga terma yang dipakai dalam tulisan ini adalah terma Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin. Berikut ini adalah poin-poin yang akan mendefinisikan dan mendiferensiasikan Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin:
1. Kata Qadha’ wa Qadar dengan menggunakan wawu ‘athaf /(و) (qadha wa qadar) tidak terdapat dalam al-Quran. Dikarenakan, Al-Quran tidak pernah menggunakan istilah “qadha’” dan “qadar” secara bersamaan (qadha wa qadar), melainkan di dalam al-Quran hanya dikenal istilah “qadha’” saja dan “qadar” saja.
2. Makna Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran berbeda dengan makna Qadha’ wa Qadar yang dimaksud oleh para ahli kalam, Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran memiliki makna bahasa yang banyak, dan juga maknanya terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT, bukan perbuatan-perbuatan manusia beserta khasiyat-khasiyat yang ditimbulkannya, lihat semisal QS. 3:47; 6:2; 17:23; 33:36; 41:12; 8:42; 33:38; 89;16; 54:12; 41:10.
3. Dari sisi kemunculan istilah dan maknanya, Qadha’ wa Qadar yang dipakai ahli kalam adalah istilah yang sekadar diadopsi untuk menggantikan istilah “determinisme dan undeterminisme” atau “Keterpakasaan dan Kebebasan Memilih” pada perbuatan manusia.
4. Dari sisi Topik yang diperbincangkan, maka terma “Qadha’ wa Qadar” yang dikenalkan ahli kalam, topiknya mengenai perbuatan manusia dan khasiyat yang lahir dari perbuatan manusia. Sedangkan terma qadha’ dan qadar yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah memperbincangkan tentang sifat dan perbuatan Allah SWT.
Dilihat dari keempat poin diatas, jelas bahwa pemakaian istilah qadha’ wa qadar oleh ahli kalam, sama sekali tidak berhubungan dengan istilah qadha dan qadar yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah, baik dari sisi makna, maupun topik yang diperbincangkan. Sesungguhnya inti permasalahan terma “Qadha’ wa Qadar” menurut para ahli kalam (mutakallimin) adalah perbuatan manusia dan khasiyat benda, dilihat dari apakah keduanya itu diciptakan oleh manusia ataukah Allah.
C. Golongan-golongan yang timbul akibat adanya persoalan perdebatan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar diantaranya :
1. JABRIYYAH
Tokoh aliran ini Jahm Bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengatakan tetapi Allah sendiri. Manusia tidak lain bagaikan nbulu yang di tiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian aliran Labriyyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Jabariyyah secara harfiah berasal dari lafaz al-jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan antonim lafaz al-Qadr (kemampuan). Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah, menurut mutakallimin, adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allah SWT semata.
Oleh karena itu, paham Jabariyyah mengenai Qadha’ wa Qadar tiada lain merupakan salah satu khurafat dan khayalan semata. Iman kepada qadha wa qadar baik dan buruknya dari Allah adalah iman bahwa semua perbuatan yang berada di luar kehendak dan kemampuan manusia itu berasal dari Allah SWT, dan seluurh khasiyat yang terkandung di dalam materi diciptakan oleh Allah SWT, tanpa andil manusia sedikitpun
Alasan-alasan aliran tersebut adalah :
a. Kalau manusia dapat berbuat, berarti dia menjadi sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungki8n tidak tunduk kepada kehendak Tuhan.
b. Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Tuhanlan yang menjadikan sesuatu, seperti :
“Tuhan yang amenjadikan sesuatu:” (Q S Az Zumar : 62)
2. MU”TAZILAH
Aliran mu’tazilah ini membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian yaitu :
a. Perbuatan yang timbul dengan sendirinya.
b. Perbuatan-perbuatanbebas, dimana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan.
Alas an-alasan akal pikiran :
1. Kalau perbuatan itu di ciptakan Tuhan seluruhnya sebagaimana yang dikatakan aliran Jabriyyah.
2. Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan baik atau buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
3. ASY”ARIYYAH
Al-Asy”ari seperti Mu’tazilah juga, membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang tmbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan macam kedua, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia mempunyai kekuaaan (kemampuan / kesanggupan) yang dapat dipergunakannya.
Kelemahan-kelemahan pendapatnya adalah
a. Sepintas lalu sudah jelas karena Al Asy’ari telah menetapkan adanya kekuasaan pada manusia, sebagai syarat utama terwujudnya pekerjaan dan yang menjadi dasar adanya pertanggungngan jawab baginya
b. Bagaimana hubungan antara kedua kekuasaan, yaitu kekuasaan manusia dan kekuasan Tuhan, dengan perbuatan yang satu, yaitu perbuatan yang keluar dari manusia.
Dengan adanya pembedaan kedua kekuasaan tersebut dimaksudkan agar tidak sama nilainya terhadap terwujudnya perbuatan manusia.
4. MATURIDY
Ia sependapat denganImam Abu Hanifah untuk menentang aliran muta’zilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan untuk dua kal yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas mengarahkan (menggunakan) kekuasaannya tersebut.
Penciptaan ada du a yaitu :
a. Penciptaan dari tiada yang hanya di miliki Tuhan saja,
b. Penciptaan dari bahan yang telah ada dengan syarat tertentu yaitu yang dimiliki manusia.
Maturidy menggunakan kata-kata pencipta (Khalq) untuk macam pertama saja, sedang aliran mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan, akan tetapi baik matiridy maupun mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi berbeda istilah, namun pengertian / isinya sama.
5. IBN RUSYD
Ia mengakui adanya perlawanan antara dalil-dalil syara’. Sebagian ayat Al Qur’an menetapkan adanya jabar, dan sebagian lainnya menetapkan adanya ikhtiar. Bahkan banyak kita dapati satu berisi ayat jabar dan ikhtiar bersama-sama , seperti :
a. Manakala kamu di timpa bahaya sedang kamu telah mendapat kemenangan dua kali lipatannya, lalu kamu katakan, dari manakah datangnya bahaya ini? Katakanlah : datangnya daripada kesalahan kamu sendiri. Bahwasannya Allah itu berkuasa pada tiap-tiapsesuatu. (Ali Imran : 165)
Perkataan “kamu tertimpa bahaya” menunjukkan adanya ketentuan (Qadhar) lebih dahulu sedang perkataan “Datangnya dari pada kesalahan kamu sendiri” jelas mengembalikan sebab kepada mereka sendiri.
b. Apa-apa keebajikan yang kamu peroleh, itulah karunia dari pada Allah, dan apa-apa kecelakaan yang menim[a dirimu sebabnya kesalahanmu sendiri. (An Nisa : 79)
c. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, hingga, hingga manusia itu sendiri merubah apa yang ada pada dirinya. (Ar Ra’du : 11)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bagian ini akan disimpulkan pendapat ke empat aliran ilmu kalam :
1. ASY’ARIYYAH
a. soal keesaan, digunakan hipotesa yang berlainan denga hipotesa yang ada dalam ayat ke esaan.
b. Tentang sifat yang mengatakan bahwa sifat lain daripada zat, mengandung persamaan Tuhan dengan manusia.
c. Kehendak Tuhan adalah mutlak / bebas.
d. Tidak menghargai kekuatan akal pikiran dalam menemukan sifat baik / buruk sesuatu perbuatan semuanya dikemukakan pada syara’ semata.
Pendapat ini ahli sunah mengatakan apakah sudah benar demikian? Perlu ditinjau ulang.
2. MU”TAZILAH
a. Soal sifat, bahwa sifat itu tidak lain dari zat, didasarkan atas prinsip tidak adanya persamaan Tuha denganmanusia.
b. Al qur’an adalah makhluk.
c. Menghargai akal setinggi-tingginya.
d. Perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
e. Tuhan tidak menyalahi janji dalam ancamannya.
3. MATURIDYYAH
a. Sifat baik dan buruk terdapat pada tiap-tiap perbuatan sendiri (Assyariyah : hanya pertimbangan akal semata).
b. Kalam nafsy (ada pada zat Tuhan ) tidak dapat di dengar (Asyariyyah : dapat didengar).
c. Kekuasaan manusia mempunyai pengaruh terhadap perbuatan (Asyariyyah : tidak berpengaruh).
d. Perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik.
4. IBN RUSYD
Pada umumnya Ibn Rusyd paa pembuktian kepercayaan islam dengan bukti-bukti / dalil yang dapat menerima akal dan dapat memperbaiki pendapat aliran Mu’tazilah.
B. Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya
Penulis menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang tafsir dan ta’wil.
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
PENDAHLUAN
1. Latar Belakang
Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penyusun makalah menemukan berbagai masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Qadha dan Qadar ?
2. Bagaimana mendudukkan Qadha dan Qadar ?
3. Sebutkan dan jelaskan golongan-golongan yang timbul aakibat adanya persoalan perbedaan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar !
4. Jelaskan kesimpulan terakhir dan pendapat tentang aliran ilmu kalam !
3. Tujuan Makalah
Dalam penyusunan makalah yang berjudul Qadha dan Qadar penyusun mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa arti Qadha dan Qadar.
2. Untuk mengetahui perkembangan tentang persoalan Qadha dan Qadar dalam beberapa aliran.
BAB II
PEBAHASAN
A. PengertianQadha dan Qadar
Qadha adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara paksa. Misalnya, manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kuasa atas detak jantungnya. Kilat yang menyambar di langit atau gempa yang menggoncang bumi sehingga manusia terkena bahaya, atau jatuhnya seseorang dari atap kemudian menimpa orang lain sehingga ia mati. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian qadha. Oleh karena itu manusia tidak akan dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian tersebut di atas, dan tidak ada hubunganya dengan perbuatan manusia yang dilakukan karena pilihannya sendiri.
Sedangkan Qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan terjadinya sesuatu. Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau, naluri melestarikan keturunan yang diperuntukkan bagi manusia dan lain sebagainya. Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya pelaku yang menggunakan khasiyat-khasiyat benda tersebut, yaitu manusia. Sehingga, apabila manusia melakukan suatu perbuatan dengan pilihannya sendiri maka dialah yang dianggap sebagai pelaku, bukan qadar (khasiyat) yang ada pada benda tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka manusialah yang dikatakan sebagai pembakar, bukan api yang mempunyai khasiyat membakar. Oleh karena itu, manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan qadar/khasiyat dari api menurut kehendaknya sendiri.
Dengan demikian, manusia mampu memberikan pengaruh dalam usaha mencari nafkah hidup atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu meluruskan penguasa yang zhalim atau memberhentikannya. Dia mampu pula untuk meruntuhkan sistem kehidupan yang tidak Islami seperti sekarang ini dan menggantikannya dengan sistem kehidupan yang Islami dalam naungan Khilafah Islamiyyah jika dia memang berusaha untuk itu. Dia juga mampu mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan yang memang dikehendakinya
B. Mendudukkan Makna Qadha’ wa Qodar
Terlebih dahulu hendaknya didudukkan apa yang dimaksud Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin, karena memang para ulama memasukkan Jabariyyah ke dalam kalangan ahli kalam (mutakallimin), sehingga terma yang dipakai dalam tulisan ini adalah terma Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin. Berikut ini adalah poin-poin yang akan mendefinisikan dan mendiferensiasikan Qadha’ wa Qadar menurut para mutakallimin:
1. Kata Qadha’ wa Qadar dengan menggunakan wawu ‘athaf /(و) (qadha wa qadar) tidak terdapat dalam al-Quran. Dikarenakan, Al-Quran tidak pernah menggunakan istilah “qadha’” dan “qadar” secara bersamaan (qadha wa qadar), melainkan di dalam al-Quran hanya dikenal istilah “qadha’” saja dan “qadar” saja.
2. Makna Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran berbeda dengan makna Qadha’ wa Qadar yang dimaksud oleh para ahli kalam, Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran memiliki makna bahasa yang banyak, dan juga maknanya terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT, bukan perbuatan-perbuatan manusia beserta khasiyat-khasiyat yang ditimbulkannya, lihat semisal QS. 3:47; 6:2; 17:23; 33:36; 41:12; 8:42; 33:38; 89;16; 54:12; 41:10.
3. Dari sisi kemunculan istilah dan maknanya, Qadha’ wa Qadar yang dipakai ahli kalam adalah istilah yang sekadar diadopsi untuk menggantikan istilah “determinisme dan undeterminisme” atau “Keterpakasaan dan Kebebasan Memilih” pada perbuatan manusia.
4. Dari sisi Topik yang diperbincangkan, maka terma “Qadha’ wa Qadar” yang dikenalkan ahli kalam, topiknya mengenai perbuatan manusia dan khasiyat yang lahir dari perbuatan manusia. Sedangkan terma qadha’ dan qadar yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah memperbincangkan tentang sifat dan perbuatan Allah SWT.
Dilihat dari keempat poin diatas, jelas bahwa pemakaian istilah qadha’ wa qadar oleh ahli kalam, sama sekali tidak berhubungan dengan istilah qadha dan qadar yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah, baik dari sisi makna, maupun topik yang diperbincangkan. Sesungguhnya inti permasalahan terma “Qadha’ wa Qadar” menurut para ahli kalam (mutakallimin) adalah perbuatan manusia dan khasiyat benda, dilihat dari apakah keduanya itu diciptakan oleh manusia ataukah Allah.
C. Golongan-golongan yang timbul akibat adanya persoalan perdebatan kesepakatan dalam soal Qadha dan Qadar diantaranya :
1. JABRIYYAH
Tokoh aliran ini Jahm Bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengatakan tetapi Allah sendiri. Manusia tidak lain bagaikan nbulu yang di tiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian aliran Labriyyah telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
Jabariyyah secara harfiah berasal dari lafaz al-jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan antonim lafaz al-Qadr (kemampuan). Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT. Jabariyyah, menurut mutakallimin, adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allah SWT semata.
Oleh karena itu, paham Jabariyyah mengenai Qadha’ wa Qadar tiada lain merupakan salah satu khurafat dan khayalan semata. Iman kepada qadha wa qadar baik dan buruknya dari Allah adalah iman bahwa semua perbuatan yang berada di luar kehendak dan kemampuan manusia itu berasal dari Allah SWT, dan seluurh khasiyat yang terkandung di dalam materi diciptakan oleh Allah SWT, tanpa andil manusia sedikitpun
Alasan-alasan aliran tersebut adalah :
a. Kalau manusia dapat berbuat, berarti dia menjadi sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungki8n tidak tunduk kepada kehendak Tuhan.
b. Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Tuhanlan yang menjadikan sesuatu, seperti :
“Tuhan yang amenjadikan sesuatu:” (Q S Az Zumar : 62)
2. MU”TAZILAH
Aliran mu’tazilah ini membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian yaitu :
a. Perbuatan yang timbul dengan sendirinya.
b. Perbuatan-perbuatanbebas, dimana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan.
Alas an-alasan akal pikiran :
1. Kalau perbuatan itu di ciptakan Tuhan seluruhnya sebagaimana yang dikatakan aliran Jabriyyah.
2. Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan baik atau buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
3. ASY”ARIYYAH
Al-Asy”ari seperti Mu’tazilah juga, membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang tmbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan macam kedua, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia mempunyai kekuaaan (kemampuan / kesanggupan) yang dapat dipergunakannya.
Kelemahan-kelemahan pendapatnya adalah
a. Sepintas lalu sudah jelas karena Al Asy’ari telah menetapkan adanya kekuasaan pada manusia, sebagai syarat utama terwujudnya pekerjaan dan yang menjadi dasar adanya pertanggungngan jawab baginya
b. Bagaimana hubungan antara kedua kekuasaan, yaitu kekuasaan manusia dan kekuasan Tuhan, dengan perbuatan yang satu, yaitu perbuatan yang keluar dari manusia.
Dengan adanya pembedaan kedua kekuasaan tersebut dimaksudkan agar tidak sama nilainya terhadap terwujudnya perbuatan manusia.
4. MATURIDY
Ia sependapat denganImam Abu Hanifah untuk menentang aliran muta’zilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan untuk dua kal yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas mengarahkan (menggunakan) kekuasaannya tersebut.
Penciptaan ada du a yaitu :
a. Penciptaan dari tiada yang hanya di miliki Tuhan saja,
b. Penciptaan dari bahan yang telah ada dengan syarat tertentu yaitu yang dimiliki manusia.
Maturidy menggunakan kata-kata pencipta (Khalq) untuk macam pertama saja, sedang aliran mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan, akan tetapi baik matiridy maupun mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi berbeda istilah, namun pengertian / isinya sama.
5. IBN RUSYD
Ia mengakui adanya perlawanan antara dalil-dalil syara’. Sebagian ayat Al Qur’an menetapkan adanya jabar, dan sebagian lainnya menetapkan adanya ikhtiar. Bahkan banyak kita dapati satu berisi ayat jabar dan ikhtiar bersama-sama , seperti :
a. Manakala kamu di timpa bahaya sedang kamu telah mendapat kemenangan dua kali lipatannya, lalu kamu katakan, dari manakah datangnya bahaya ini? Katakanlah : datangnya daripada kesalahan kamu sendiri. Bahwasannya Allah itu berkuasa pada tiap-tiapsesuatu. (Ali Imran : 165)
Perkataan “kamu tertimpa bahaya” menunjukkan adanya ketentuan (Qadhar) lebih dahulu sedang perkataan “Datangnya dari pada kesalahan kamu sendiri” jelas mengembalikan sebab kepada mereka sendiri.
b. Apa-apa keebajikan yang kamu peroleh, itulah karunia dari pada Allah, dan apa-apa kecelakaan yang menim[a dirimu sebabnya kesalahanmu sendiri. (An Nisa : 79)
c. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, hingga, hingga manusia itu sendiri merubah apa yang ada pada dirinya. (Ar Ra’du : 11)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bagian ini akan disimpulkan pendapat ke empat aliran ilmu kalam :
1. ASY’ARIYYAH
a. soal keesaan, digunakan hipotesa yang berlainan denga hipotesa yang ada dalam ayat ke esaan.
b. Tentang sifat yang mengatakan bahwa sifat lain daripada zat, mengandung persamaan Tuhan dengan manusia.
c. Kehendak Tuhan adalah mutlak / bebas.
d. Tidak menghargai kekuatan akal pikiran dalam menemukan sifat baik / buruk sesuatu perbuatan semuanya dikemukakan pada syara’ semata.
Pendapat ini ahli sunah mengatakan apakah sudah benar demikian? Perlu ditinjau ulang.
2. MU”TAZILAH
a. Soal sifat, bahwa sifat itu tidak lain dari zat, didasarkan atas prinsip tidak adanya persamaan Tuha denganmanusia.
b. Al qur’an adalah makhluk.
c. Menghargai akal setinggi-tingginya.
d. Perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.
e. Tuhan tidak menyalahi janji dalam ancamannya.
3. MATURIDYYAH
a. Sifat baik dan buruk terdapat pada tiap-tiap perbuatan sendiri (Assyariyah : hanya pertimbangan akal semata).
b. Kalam nafsy (ada pada zat Tuhan ) tidak dapat di dengar (Asyariyyah : dapat didengar).
c. Kekuasaan manusia mempunyai pengaruh terhadap perbuatan (Asyariyyah : tidak berpengaruh).
d. Perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik.
4. IBN RUSYD
Pada umumnya Ibn Rusyd paa pembuktian kepercayaan islam dengan bukti-bukti / dalil yang dapat menerima akal dan dapat memperbaiki pendapat aliran Mu’tazilah.
B. Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya
Penulis menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca mempelajari tentang tafsir dan ta’wil.
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
http://farchanbinadnan.blogspot.com/2009/12/persoalan-pengertian-qodha-dan-qadar.html
·


· Tulisan Terkini
· ARTIKEL
- FOKUS (19)
- KISAH (1)
- MUHASABAH (11)
- NISAA' (10)
- SYARI'AT (4)
- TADZKIROH (12)
- TAZKIYAH (2)
- TSAQOFAH (5)
- Khoiz Khoirotul'izzah
Buat Lencana Anda
· Meta
QODHO dan QODAR
Posted on November 2, 2009 by
admin
Saudara/i pembaca setia KHOIZ yang insya ALLAH dirahmati ALLAH Subhanahu wa Ta’ala , hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah bahwa hakikat warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah ALLAH tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan tidak satupun makhluk ALLAH yang mengetahui isinya.
Ikhwahfillah, semua kejadian yang telah terjadi adalah kehendak & kuasa ALLAH Subhanahu wa Ta’ala. Begitu pula dengan bencana-bencana yang akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, & kuasa ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.
Ikhwahfillah, dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan ALLAH ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Syurga. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.
Menurut Al-Qur’an setiap bencana yang menimpa manusia itu tidak terlepas dari Qadha dan Qadhar (ketetapan) yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.”
(QS. At-Taubah : 51)
Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al- Atsir 4/78). Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara-yuqaddiru-taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha). Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.”(Fathul-Baari 11/477). Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).
Iman kepada qodho dan qodar sebagi pokok keimanan Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya.”(Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini. -Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, di saat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)
“Sekiranya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.”(HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit).
Semoga kita termasuk orang-orang yang beriman kepada Qodho dan Qodar ALLAH Subhanahu wa Ta’ala serta mendapatkan perlindungan-Nya dari adzab dan siksa-Nya. Aamiin….
Maroji’:
– http://jumpa-utama.net, “Iman kepada Qodho & Qodar mengantarkan sesorang menuju tangga kesabaran dan penuh rasa syukur”
– Ust. Dr. H. Suhairi Ilyas, MA, “Al-Qur’an bicara tentang Bencana & Musibah”.
Filed under: FOKUS
Iman Kepada Qodo’ dan Qodar
Nabi bersabda
:”Ketahuilah seandainya suatu umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu
maka mereka tidak bisa memberi manfaat tersebut kecuali yang telah ditaqdirkan
Allah untukmu dan apabila mereka berkumpul untuk memadharatkanmu maka mereka
tidak bisa memadharatkamu kecuali dengan apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah
atasmu, telah di angkat pena dan telah kering tinta”. Di dalam hadits
Rasulullah inilah terdapat penjelasan tentang Qodho’ dan Qodar, maka wajib bagi
seorang hamba untuk mengimaninya. Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu yang
dikerjakan hamba-Nya berupa kebaikan dan kejelekan dengan terperinci dan
ilmunya tidak didahului oleh ketidak-tahuan. Dan Allah maha mengetahui apa yang
menimpa seorang hamba dari kebaikan (atau musibah) dan dia telah menuliskannya
di lauhul mahfudz. Nabi bersabda :”Sesungguhnya Allah menuliskan takdir semua
makhluk ini sejak 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi” (HR.
Muslim). Beliau juga bersabda :”Sesungguhnya makhluk pertama yang diciptakan
Allah adalah al-Qolam lalu Allah mengatakan kepadanya : Tulislah (takdir semua
makhluk ini -pent), maka sejak itupun berjalan takdir Allah hingga hari kiamat”
(HR. Ahmad 5/317 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Syarh Aqidah
Thohawiyah hal. 294)
Seorang hamba
tidak akan ditimpa oleh sesuatu pun dari kebaikan dan musibah melainkan yang
telah Allah takdirkan baginya. Barangsiapa yang akan Allah beri kebaikan maka
tidak ada seorang pun dari penghuni langit dan bumi yang bisa menghalangi
kebaikan tersebut, meskipun mereka bersatu-padu. Hal ini telah Allah jelaskan
dalam al-Qur’an, “Katakanlah : tidak ada yang menimpa kami melainkan yang telah
Allah tuliskan untuk kami” (QS. At-Taubah : 51).
“Dan tatkala
mereka masuk menurut yg diperintahkan ayah mereka, maka (cara yg mereka lakukan
itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu
hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang telah ditetapkannya. Dan
sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan
kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. (QS.Yusuf : 68)
“Maka Kami
selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdir kan
dia termasuk orang-orang yg tertinggal (dibinasakan)”. (QS.An Naml : 57)
“Mereka
berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan
ini ?”. Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”.
Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan
kepadamu; mereka berkata : “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur
tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di
sini”. Katakanlah :”Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang
telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka
terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yg ada dalam dadamu
dan untuk membersihkan apa yg ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi
hati”. (Qs.Ali Imron : 154)
TENTANG QADHA’
DAN QADHAR
“Apakah di
antara Qadha’ dan Qadar terdapat umum & khusus ?”
Istilah Qadha’
bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila
dimutlakkan, maka memuat makna Qadha’, Akan tetapi bila dikatakan
“Qadha-Qadar”, maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi
dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan
punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat
dikatakan. “Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila ke duanya dipisah maka
bersatu”. Maka kata Qadha’ dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini,
artinya bila kata Qadha’ dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan
sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qadha’) maka memuat makna
Qadha’. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qadha’ bermakna sesuatu yang
ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun
perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah
sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar
ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qadha’.
(Disalin kitab
Al-Qadha’ wal Qadar edisi Indonesia Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar,
Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin’, terbitan Pustaka At-Tibyan)
note : artikel
di atas telah dimuat dalam Labbaik,
edisi : 025/th.03/Sya’ban-Ramadhan 1427H/2006M
Materi Agama Islam Kelas 6:Iman Kepada Qodo dan Qodar
Categories: Uncategorized
1. Iman kepada qodo dan qodar rukun iman yang ke 62. Iman kepada qodo dan qodar artinya kita yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah swt. Telah menentukan ketetapan setiap hambanya dengan sebaik-baiknya.
3. Qodo/qodar menurut bahasa artinya keputusan, ukuran, peraturan, ataau ketetapan Allah
4. Qadar artinya peraturan dan ketentuan Allah yang sudah ada sejak zaman azali.
5. Qodo adalah perwujudan dan pelaksanaan dari qodar
6. Contoh qodar; menikah,kematian, kerja dll
7. Contoh qodo; kelahiran, jenis kelamin,sekolah, naik kelas 6 dll.
8. Dalil yang menjelaskan tentang qodar dan qodo adalah QSA :25:2 (AL Furqon)
9. Qodar dan qodo disebut juga dengan taqdir/nasib.
10. Allah tidak akan merubah taqdir/nasib seseorang kecuali orang itu yang merubahnya.
11. Allah tidak akan menimpakaan sesuatu ujian kecuali sesuai dengan kemampuan orang tsb.
12. Sikap kita dalam menghadapi taqdir Allah adalah : jika ketentuan itu sudah terjadi, maka ambil hikmah/pelajaran dari kejadian tsb. Jika ketentuan itu sedang dijalani, maka hadapi dengan lapang dada dan berusaha dengan maksimal. Menghadapi ketentuan yang belum belum terjadi, maka : taati aturan-aturan Allah, taati hokum sebab akibat, beribadah dan berdo’a dengan sungguh serta bertawakal kepada-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar