MAKALAH AQSAM AL-QUR'AN OLEH JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman, melalui sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Bahasa-bahasa dan kalimat-kalimat Al-Qur’an mampu menimbulkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang nyata. Adapun huruf dalam Al-Qur’an hanyalah simbol makna-makna, sementara lafadz memiliki petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan makna-makna yang ada di dalam Al-Qur’an.
Pada umumnya masyarakat banyak yang awam dengan istilah Aqsam. Namun, ada sebagian masyarakat yang kenal dan paham tentang Aqsam, biasanya terkenal dengan sebutan Qasam dan Yamin yang diartikan dengan memperkuat maksud sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang memiliki posisi yang lebih tinggi dengan menggunakan huruf-huruf tertentu.
Alquran adalah mukjizat yang abadi dimana
semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validasi kemukjizatannya. Semakin
sering Alquran dikaji, semakin dalam pula hikmah dan manfaat diperoleh. Maka
tak heran, bila hampir seluruh penghuni bumi ini mengakui bahwa Alquran
merupakan satu-satunya sumber yang mampu membebaskan manusia dari berbagai
kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Sebagaimana yang telah diketahui
bahwa Alquran diturunkan pertama kali kepada penduduk asli Arab yang telah
memiliki corak dan tabiat yang sudah mendarah-daging jauh sebelum Alquran
diturunkan. Maka tak heran, bila dibeberapa hal di dalam Alquran kita ada
menjumpai kebiasaan dan tradisi bangsa Arab tersebut, salah satunya adalah
kebiasaan mereka bersumpah dalam melakukan pembicaraan atau dalam menyampaikan
berita dengan tujuan untuk menguatkan informasi yang disampaikan dalam
pembicaraan tersebut. Sehingga dengan begitu, fungsi sumpah (qasam) adalah
untuk menguatkan kebenaran khabar atau berita.
Meski begitu, adanya kalimat qasam
dalam Alquran bukanlah sebagai bentuk ikut-ikutan terhadap tradisi bangsa
Arab kala itu, melainkan hanya untuk menguatkan informasi wahyu yang diturunkan
Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, apalagi kondisi jiwa bangsa Arab sebagai
penerima wahyu dan kebenaran masih berbeda-beda. Ada yang memiliki kesiapan jiwa yang jernih
serta hati yang fitrah sehingga dengan mudah mau menyambut petunjuk dan
kebenaran hanya dalam waktu yang singkat.
Namun ada pula yang memiliki jiwa
tertutup oleh kejahilan dan gelapnya kebatilan sehingga susah menerima petunjuk
dan kebenaran tersebut. Maka orang semacam ini perlu diberikan peringatan dan
kalimat yang keras, sehingga dengan begitu diharapkan mampu berubah menuju
kebaikan.
Dengan begitu, kalimat “qasam”
(sumpah) dalam perkataan Allah SWT melalui Alquran termasuk salah satu cara
memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan
dapat mengakui apa yang semula diingkarinya. Bahkan dengan menyertakan “qasam”
atau sumpah tersebut, tidak ada lagi alasan apapun untuk menantang kebenaran
yang disampaikan.[1]
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa permasalahan-permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah yang dapat kami sajikan ini di antaranya :
1. Ada berapa huruf Qasam dan bagaimana penjelasannya?
2. Apa saja unsur-unsur sighat dalam Qasam?
3. Ada berapa macam Qasam yang ada dalam Al-Qur’an?
4. Apa tujuan dan hikmah adanya Qasam dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK AQSAM
Aqsam adalah bentuk jamak dari
“qasam” yang mengandung arti “sumpah”.[2]
Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف) atau “al-yamin” (المين). Adapun shighat asli dari kata
“qasam” ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa”
yang di-muta’addi (transitif)-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu
yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang dinamakan
dengan jawab qasam.[3]
Misalnya firman Allah SWT:
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ
أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ الله ُمَنْ يَمُوتُ
“Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah
yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak membangkitkan orang yang mati.”
(QS. An-Nahl: 38).
Qasam dan yamin mempunyai makna
yang sama. Qasam didefenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak
melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar,
agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah
itu. Sumpah dinamakan juga dengan “yamin” (tangan kanan), karena orang
Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah.”[3]
Abu al-Qosim al-Qusyairiy
menerangkan bahwa rahasia Allah SWT menyebutkan kalimat “qasam” atau sumpah
dalam Kitab-Nya adalah untuk menyempurnakan serta menguatkan “hujjah”Nya, dan
dalam hal ini, kalimat “qasam” memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai
“syahadah” atau persaksian serta penjelasan; dan kedua sebagai “qasam”
atau sumpah itu sendiri.[4]
Dalam shighat qasam (sumpah),
terdapat tiga unsur yang perlu diketahui, yaitu:
- fi’il yang ditransitifkan (muta’addi) dengan “ba”;
- muqsam bih; dan
- muqsam alaih.
1- Fi’il yang ditransitifkan (muta’addi) dengan baa’
Qasam atau sumpah itu sering
dipergunakan dalam percakapan, sehingga tak jarang qasam tersebut diringkas;
yaitu dengan menghilangkan “fi’il qasam” dan dicukupkan dengan “baa”
saja.[5]
Kemudian “baa” pun diganti dengan “wawu” pada isim dzahir, seperti:
وَالَّليْلِ إِذَا يَغْشَى
“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)
Dan diganti dengan “taa” pada lafazh jalalah, misalnya:
وَتاَللهِ لأَكِيْدَنَّ أَصْنَامَكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan
melakukan tipu daya terhadap berhalamu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 57).
Namun qasam dengan “taa” ini jarang dipergunakan,
sedangkan yang banyak ialah dengan menggunakan “wawu.
2- Muqsam Bih
Untuk kalimat “qasam”, Allah SWT
bersumpah dengan Dzat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat yang khusus,
atau Dia bersumpah dengan menggunakan nama-nama makhluk-Nya yang menunjukkan
bahwa makluk tersebut termasuk salah satu ayat-Nya yang agung. Adapun kalimat
“qasam” yang menggunakan nama Dzat Allah sendiri sedikitnya terdapat dalam
tujuh tempat[6], yaitu:
- QS. Yunus: 53: “Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, Demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu benar.”
- QS. At-Taghabun: 7: “Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, Demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.”
- QS. Saba: 3: “Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami. Katakanlah: Pasti datang, Demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu.”
- QS. Maryam: 68: “Demi Tuhanmu, sungguh Kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan.”
- QS. Al-Hijr: 92: “Maka Demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua!”.
- QS. An-Nisaa’: 65: “Maka Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”
- QS. Al-Ma’arij: 40: “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki Timur dan Barat.”
Semua sumpah dalam Alquran selain
ketujuh tempat di atas, adalah dengan menggunakan makhluk-Nya, seperti yang
termaktub dalam beberapa ayat Alquran berikut ini:[6]
- Dalam QS. Asy-Syams: 1-2 : “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya.”
- Dalam QS. Al-Lail: 1-3 : “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan.”
- Dalam QS. Al-Fajr: 1-4 : “Demi fajar, dan malam yang sepuluh…. .”
- Dalam QS. At-Takwir: 15 : “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.”
- Dalam QS. Ath-Thin: 1-2 : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai…….” dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, ada yang
mengatakan, “Bagaimana mungkin sumpah digunakan dengan nama makhluk,
padahal Allah SWT melarang melakukan sumpah selain dengan nama-Nya.” Maka
untuk hal ini, Abu al-Qosim al-Qusyairiy menjelaskan bahwa sumpah (qasam) yang
digunakan Allah SWT dengan memakai nama sesuatu memiliki dua tujuan, yaitu
disamping menunjukkan akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, juga
agar dijadikan pelajaran bagi manusia itu sendiri.[7]
Allah SWT bisa bersumpah dengan
apa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun sumpah manusia dengan selain Allah
merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab,
bahwa Rasul SAW bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain (asma)
Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).” [7]Al-Hasan
menambahkan bahwa Allah SWT boleh bersumpah dengan makhluk yang
dikehendaki-Nya, namun tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan
(nama) Allah SWT.
3- Muqsam ‘Alaih
Kondisi Muqsam Alaih:
·
Tujuan qasam adalah
untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam alaih. Karena itu, muqsam alaih haruslah
berupa hal-hal yang layak untuk disumpahkan, seperti masalah ghaib dan
tersembunyi. Sumpah di sini digunakan untuk menetapkan keberadaannya.
·
Jawab Qasam itu
biasanya disebutkan. Dan terkadang tidak disebutkan, sebagaimana jawaban “Lau”
(jika) sering dibuang, seperti firman Allah:
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui
dengan pengetahuan yang yakin”. (QS> Al-Takatsur: 5)
Penghilangan seperti ini
merupakan salah satu ushlub paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan
keagungan. Dan redaksi ayat ini misalnya: “Seandainya kamu mengetahui apa
yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang
tidak terlukiskan banyaknya.”
Penghilangan jawaban qasam, misalnya:
“Demi fajar,
dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu.
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima oleh orang-orang
yang berakal). Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat
terhadap kaum ‘Ad?” (QS. Al-Fajr: 1 – 6).
Yang dimaksud dengan sumpah di
sini ialah, waktu yang mengandung amal-amal seperti ini pantas untuk dijadikan
oleh Allah sebagai sumpah. Karena itu ia tidak memerlukan jawaban lagi. Namun
demikian, ada sementara pendapat mengatakan, jawab qasam itu dihilangkan,
yakni; “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Makkah”. Juga ada pendapat
lain mengatakan, jawab qasam itu disebutkan, yaitu firman-Nya, “Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 14).
Pendapat yang benar dan sesuai dalam hal ini
adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban. Jawaban qasam terkadang dihilangkan karena sudah
ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan di atasnya, seperti: “Aku bersumpah
dengan Hari Kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela.” (QS. Al-Qiyamah:
1 – 2).
Jawab qasam di
sini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya, yaitu:
“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang
belulangnya?” (QS. Al-Qiyamah: 3). Penjelasannya
ialah: sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
·
Fi’il Madhi Mutsbat
Mutasahrif yang tidak didahului ma’mul-nya apabila menjadi jawab
qasam, harus disertai dengan “lam” dan “qad”. Dan salah satu keduanya ini
tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat terlalu panjang, seperti:
“Demi matahari dan cahayanya di
pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya,
dan malam apabila menutupinya, langit dan apa yang meninggikannya, bumi dan
penghamparannya, jiwa dan penciptaannya secara seimbang, lalu Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 1 – 9). Huruf “lam”
pada ayat ini dihilangkan karena pembicarannya terlalu panjang.
Atas dasar itu para ulama
berpendapat tentang firman Allah: “Demi langit yang mempunyai gugusan
bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 1 – 4).
Yang paling baik ialah qasam di sini tidak memerlukan jawab, sebab
maksudnya adalah mengingatkan akan maqsam bih karena ia termasuk
ayat-ayat Tuhan yang besar. Dalam pada itu ada yang berpendapat, jawab
qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat ke empat. Maksudnya,
mereka itu (yakni orang kafir Makkah) terkutuk sebagaimana ashabul
ukhdud terkutuk.
·
Allah bersumpah atas
prinsip-prinsip keimanan yang wajib diketahui makhluk. Di sini terkadang Ia
bersumpah untuk menjelaskan beberapa hal di antaranya:
1.
Sumpah untuk menjelaskan
tentang tauhid, seperti firman-Nya: “Demi (rombongan) yang bershaf-shaf
dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan
sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang
membacakan pelajaran, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (QS. As-Shaffat: 1
– 4).
2.
Sumpah itu untuk menegaskan
bahwa Alquran itu hak, seperti firman-Nya dalam QS. Al-Waqi’ah: 75-77): “Maka
Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Alquran. Sesungguhnya sumpah
itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Alquran ini
adalah bacaan yang sangat mulia.”
3.
Sumpah untuk menjelaskan
bahwa Rasul itu benar, seperti dalam: “Yaa Siin. Demi Alquran yang penuh
hikmah, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul.” (QS. Yasin: 1
– 3).
4.
Sumpah untuk menjelaskan
batasan, janji dan ancaman, seperti: “Demi (angin) yang menebarkan debu
dengan sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang
berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,
sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari)
pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1 – 6).
5.
Sumpah untuk menerangkan
kondisi manusia, seperti: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) dan
siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (QS. Al-Lail: 1 – 4).
Dan masih banyak lagi, yang
intinya, siapapun yang meneliti qasam-qasam dalam Alquran, tentu ia
akan memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.
·
Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah (kalimat
berita), dan inilah yang banyak terkandung dalam Alquran, misalnya dalam
firman-Nya: “Maka demi Tuhan langit dan
bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi).” (QS.
Adz-Dzariyat: 23). Dan adakalanya dengan jumlah thalabiyah secara
maknawi (kalimat yang berisi tuntutan perintah, larangan, pertanggungjawaban,
ancaman dan sebagainya, seperti: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai
mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu”. (QS. Al-Hijr:
92-93). Yang dimaksud dengan ayat ini ialah ancaman dan peringatan.
2. JENIS
SUMPAH YANG DIGUNAKAN ALLAH
Qasam itu adakalanya nampak
secara jelas, tegas dan adakalanya tidak jelas (tersirat), sehingga dalam hal
ini jenis sumpah yang digunakan Allah dalam Alquran tersebut dapat dibagi dua,
yaitu:
1) Zhahir, ialah sumpah yang di dalamnya
disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan
fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar
berupa “ba”, “wawu”, dan “ta”. Dan ada juga
yang didahului oleh “la hafy”, seperti:
لآأُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ وَلآ أُقْسِمُ
بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Tidak
sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, Aku
bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah:
1-2).
Sebagian ulama mengatakan, “la”
di dua tempat ini adalah “la nafy”, untuk menafikan sesuatu yang tidak
disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah: “Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa
itu tidak ada.” Kemudian baru dilanjutkan
dengan kalimat berikutnya: “Aku bersumpah
dengan Hari Kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan
dibangkitkan”. Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan
qasam, seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengah hari itu
dan nafsu itu.
Tetapi Aku bertanya kepadamu
tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang
belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat
jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.” Tetapi
juga ada berpendapat bahwa “La” tersebut za’idah (tambahan). Jawaban qasam
dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasinya adalah ayat sesudahnya (Al-Qiyamah:
3). Penjelasannya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan
dihisab.”
2) Mudhmar, yaitu yang di dalamnya tidak
dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh
“Lam Taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah:
لَتُبْلَوُنَّ فِى أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu”. (QS. Ali Imran: 186). Maksudnya, Demi Allah, Kamu
sungguh-sungguh akan diuji.[9]
Selanjutnya, apabila qasam berfungsi
untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan
sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya da;am
QS. Ali Imran ayat 187:
وإذ أخذ الله ميثاق الذين أوتوا الكتاب
لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس
Artinya: “Dan (ingatlah)
ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):
Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia….”
Huruf “lam” pada
ayat: لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس adalah “lam qasam”, dan
kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaaq”
bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).[8]
Dan atas dasar ini pula, maka
para mufassir menganggap sebagai qasam terhadap beberapa ayat
di bawah ini, di antaranya pada:
- QS. Al-Baqarah: 83 à “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah….”
- QS. Al-Baqarah: 84 à “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)….. “
- QS. An-Nur: 55 à “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalelh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….”
3. SIGNIFIKASI SUMPAH ( AQSAM )DALAM ISLAM
Bahasa Arab mempunyai
keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya
sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai
beberapa keadaan yang dalam Ilmu Ma’ani disebut adhrubul khabar
ats-tsalatsah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita, yaitu: Ibtida’,
Thalabi, dan Inkari.
1)
Ibtida’ (اِبْتِدَائِيًا)
Hiddam Banna’
mendefinisikan Ibtida’ sebagai berikut:
Artinya bahwa yang dimaksud dengan
Ibtida’ adalah apabila mukhatab (lawan bicara) berhati kosong
(khaliy azh-zhihni); sama sekali tidak mempunyai persepsi akan
pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan
kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid).
Dalam hal ini dapat dicontohkan
sebuah firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi ayat 18: “Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.”
Pada redaksi ayat di atas tidak
ada menggunakan kalimat ta’kid (penguat), sebab tanpa ta’kid pun, isi pesan
dalam ayat tersebut akan mudah diterima.
2)
Thalabi (طَلَبِيًا)
Untuk definisi Thalabi,
Hiddam menyebutkan sebagai berikut: Maksudnya
bahwa apabila seorang lawan bicara (mukhatab) ragu-ragu terhadap
kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya, maka perkataan untuk orang
semacam ini “sebaiknya” diperkuat dengan suatu penguat (ta’kid)
guna menghilangkan keraguannya.
Untuk hal ini kita ambil contoh
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab: 33: “Sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan
orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya: “Marilah kepada kami.” Dan
mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar.”
Pada ayat ini Allah menggunakan
satu bentuk kalimat ta’kid “قد”, yang berfungsi untuk menghilangkan keraguan
bagi yang mendengarkan (mukhatab).
3) Inkari (إِنْكَارِيًا)
Mengenai definisi Inkari, Haddam menjelaskan
sebagai berikut:
أن يكون المخاطبُ منكرا للحكم الذى يراد إلقاؤه
إليه معتقدا خلافه فيجب تأكيد الكلام له بمؤكد أو مؤكدين أو أكثر على حسب إنكاره
قُوَّةً وضُعْفاً. [9]
Maksudnya bahwa apabila mukhatab (lawan bicara)
ingkar atau menolak isi pernyataan secara sengaja dan terang-terangan, maka
pembicaraan untuknya harus disertai penguat (ta’kid); baik satu
ta’kid, dua ta’kid atau bahkan lebih banyak ta’kid lagi; sesuai dengan kadar
pengingkarannya, kuat ataupun lemah. Untuk ta’kid (penguat) tersebut
dapat menggunakan huruf “إنَّ”, “لام
الإبتداء”, “احروف التنبيه”, “نونى التوكيد”, “قد”, dan lain sebagainya,
termasuk menggunakan “القَسَمُ” atau sumpah seperti yang sedang kita bahas
sekarang ini.
Untuk hal ini, kita ambil contoh dari firman Allah SWT
dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 51 yang berbunyi:
فَوَرَبِّ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّهُ
لَحَقٌّ مِثْلَ مَآ أَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ
“Maka demi Tuhan langit dan
bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi)
seperti perkataan yang kamu ucapkan.”
Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan ta’kid
berulang-ulang, yang didalamnya adalah “qasam” huruf “inna” serta
“laam ta’kid” Dari penjelasan di atas dapat
kita simpulkan bahwa, signifikasi penggunaan kalimat “qasam” atau sumpah di
dalam Alquran merupakan salah satu penguat perkataan yang mashur untuk
memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.
Alquran diturunkan untuk seluruh manusia, dan
manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang
meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi.
Karena itu dipakailah qasam dalam
Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun
argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling
sempurna.
BAB III
PENUTUP
KESIMPILAN
Demikianlah sekilas pembahasan
tentang Aqsam dalam Alquran yang dapat penulis sampaikan melalui
makalah sederhana ini. Dan sebagai penutup, ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan di sini, antara lain:
- Jiwa manusia dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya berbeda-beda, ada yang segera menyambut kebenaran tersebut dengan suka cita, namun banyak pula yang mengingkari kebenaran tersebut secara terang-terangan, maka untuk tipe manusia yang kedua ini, Allah SWT menggunakan kalimat qasam atau sumpah untuk menguatkan dan menegaskan ungkapan kalimat-Nya yang diiringi dengan bukti yang nyata, sehingga dengan begitu orang-orang yang semula ingkar akan kembali mengakui kebenaran tersebut.
- Unsur-unsur dalam sighat qasam ada tiga, yaitu: (1) fi’il yang digunakan di dalam qasam, (2) muqsam bih (zat atau isim yang mengiringi sumpah tersebut); dan (3) muqsam alaih (kondisi yang melatar-belakangi terjadinya sumpah tersebut).
- Sumpah (qasam) terdiri dari dua jenis; yakni pertama yang Nampak secara jelas fi’il qasamnya, atau yang disebut juga dengan Zhahir; dan yang kedua yang tidak jelas dan tersirat, baik fi’il qasam-nya maupun muqsam bih-nya, yang kedua ini disebut dengan Mudhmar.
- Allah SWT berhak menggunakan Dzat-Nya atau nama-nama makhluk-Nya di dalam bersumpah, tapi manusia dilarang menggunakan sumpah selain dengan menggunakan nama Allah SWT. Barangsiapa yang bersumpah selain dengan nama Allah, maka dia termasuk musyrik.
- Meski dibolehkan bersumpah, tapi hendaklah manusia menggunakan ‘sumpah’ pada situasi dan kondisi tertentu, yakni bila mukhattab atau lawan bicara termasuk dalam kategori “inkari”, yakni yang mengingkari kebenaran dari sebuah khabar (berita).[10]
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h.
341
Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 364
Jalaluddin
as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr,
1429H/2008M), h. 487
Jalaluddin
as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, h. 487
Hiddam
Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, (Ponorogo: Darussalam Press,
1996), h. 17
Hiddam
Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, h. 18
[2] Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h. 341
[3]
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq
El-Mazni, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 364
[4] Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan
fi Ulumil Qur’an, (Beirut:
Darul Fikr, 1429H/2008M), h. 487
[5] “Baa” tidak terdapat dalam Alquran
kecuali barangkali dengan fi’il qasam, seperti dalam QS. An-Nur: 53
[6] Jalaluddin
as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, h. 487
[7] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi
Ulumil Qur’an, h. 367
[8] Hiddam Banna’, Al-Balaghah fi
‘Ilmil Ma’any, (Ponorogo: Darussalam Press, 1996), h. 17.
[9] Hiddam
Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, h. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar