Minggu, 15 November 2015

AQSAM AL-QUR'AN, OLEH JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy. 0821-7725-7006/ 0821-7725-7005


MAKALAH AQSAM AL-QUR'AN OLEH JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang Masalah

Suatu hakikat yang tinggi makna dan tujuannya menjadi lebih menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada pemahaman, melalui sesuatu yang telah diketahui secara yakin. Bahasa-bahasa dan kalimat-kalimat Al-Qur’an mampu menimbulkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang nyata. Adapun huruf dalam Al-Qur’an hanyalah simbol makna-makna, sementara lafadz memiliki petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan makna-makna yang ada di dalam Al-Qur’an.

 Pada umumnya masyarakat banyak yang awam dengan istilah Aqsam. Namun, ada sebagian masyarakat yang kenal dan paham tentang Aqsam, biasanya terkenal dengan sebutan Qasam dan Yamin yang diartikan dengan memperkuat maksud sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang memiliki posisi yang lebih tinggi dengan menggunakan huruf-huruf tertentu.

Alquran adalah mukjizat yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validasi kemukjizatannya. Semakin sering Alquran dikaji, semakin dalam pula hikmah dan manfaat diperoleh. Maka tak heran, bila hampir seluruh penghuni bumi ini mengakui bahwa Alquran merupakan satu-satunya sumber yang mampu membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Alquran diturunkan pertama kali kepada penduduk asli Arab yang telah memiliki corak dan tabiat yang sudah mendarah-daging jauh sebelum Alquran diturunkan. Maka tak heran, bila dibeberapa hal di dalam Alquran kita ada menjumpai kebiasaan dan tradisi bangsa Arab tersebut, salah satunya adalah kebiasaan mereka bersumpah dalam melakukan pembicaraan atau dalam menyampaikan berita dengan tujuan untuk menguatkan informasi yang disampaikan dalam pembicaraan tersebut. Sehingga dengan begitu, fungsi sumpah (qasam) adalah untuk menguatkan kebenaran khabar atau berita.
Meski begitu, adanya kalimat qasam dalam Alquran bukanlah sebagai bentuk ikut-ikutan terhadap tradisi bangsa Arab kala itu, melainkan hanya untuk menguatkan informasi wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, apalagi kondisi jiwa bangsa Arab sebagai penerima wahyu dan kebenaran masih berbeda-beda. Ada yang memiliki kesiapan jiwa yang jernih serta hati yang fitrah sehingga dengan mudah mau menyambut petunjuk dan kebenaran hanya dalam waktu yang singkat.
Namun ada pula yang memiliki jiwa tertutup oleh kejahilan dan gelapnya kebatilan sehingga susah menerima petunjuk dan kebenaran tersebut. Maka orang semacam ini perlu diberikan peringatan dan kalimat yang keras, sehingga dengan begitu diharapkan mampu berubah menuju kebaikan.
 Dengan begitu, kalimat “qasam” (sumpah) dalam perkataan Allah SWT melalui Alquran termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa yang semula diingkarinya. Bahkan dengan menyertakan “qasam” atau sumpah tersebut, tidak ada lagi alasan apapun untuk menantang kebenaran yang disampaikan.[1]

 

B. Rumusan Masalah

Ada beberapa permasalahan-permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah yang dapat kami sajikan ini di antaranya :

1. Ada berapa huruf Qasam dan bagaimana penjelasannya?

2. Apa saja unsur-unsur sighat dalam Qasam?

3. Ada berapa macam Qasam yang ada dalam Al-Qur’an?

4. Apa tujuan dan hikmah adanya Qasam dalam Al-Qur’an?








BAB II
PEMBAHASAN

1.  PENGERTIAN DAN BENTUK-BENTUK AQSAM
Aqsam adalah bentuk jamak dari “qasam” yang mengandung arti “sumpah”.[2] Dalam bahasa Arab, kata “sumpah” juga sering disebut dengan “al-hilf” (الحلف)  atau “al-yamin(المين). Adapun shighat asli dari kata “qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi (transitif)-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang dinamakan dengan jawab qasam.[3] Misalnya firman Allah SWT:
وَأَقْسَمُوْا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ الله ُمَنْ يَمُوتُ
Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-sungguh, bahwasanya Allah tidak membangkitkan orang yang mati.” (QS. An-Nahl: 38).
Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam didefenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara i’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan “yamin” (tangan kanan), karena orang Arab ketika bersumpah memegang tangan kanan orang yang diajak bersumpah.”[3]
Abu al-Qosim al-Qusyairiy menerangkan bahwa rahasia Allah SWT menyebutkan kalimat “qasam” atau sumpah dalam Kitab-Nya adalah untuk menyempurnakan serta menguatkan “hujjah”Nya, dan dalam hal ini, kalimat “qasam” memiliki dua keistimewaan, yaitu pertama sebagai “syahadah” atau persaksian serta penjelasan; dan kedua sebagai “qasam” atau sumpah itu sendiri.[4]
Dalam shighat qasam (sumpah), terdapat tiga unsur yang perlu diketahui, yaitu:
  1. fi’il yang ditransitifkan (muta’addi) dengan “ba”;
  2. muqsam bih; dan
  3. muqsam alaih.
1- Fi’il yang ditransitifkan (muta’addi) dengan baa’
Qasam atau sumpah itu sering dipergunakan dalam percakapan, sehingga tak jarang qasam tersebut diringkas; yaitu dengan menghilangkan “fi’il qasam” dan dicukupkan dengan “baa” saja.[5] Kemudian “baa” pun diganti dengan “wawu” pada isim dzahir, seperti:
وَالَّليْلِ إِذَا يَغْشَى
“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang)”. (QS. Al-Lail: 1)
Dan diganti dengan “taa” pada lafazh jalalah, misalnya:
وَتاَللهِ لأَكِيْدَنَّ أَصْنَامَكُمْ
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhalamu.” (QS. Al-Anbiyaa’: 57).
Namun qasam dengan “taa” ini jarang dipergunakan, sedangkan yang banyak ialah dengan menggunakan “wawu.

2- Muqsam Bih
Untuk kalimat “qasam”, Allah SWT bersumpah dengan Dzat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat yang khusus, atau Dia bersumpah dengan menggunakan nama-nama makhluk-Nya yang menunjukkan bahwa makluk tersebut termasuk salah satu ayat-Nya yang agung. Adapun kalimat “qasam” yang menggunakan nama Dzat Allah sendiri sedikitnya terdapat dalam tujuh tempat[6], yaitu:
  1. QS. Yunus: 53: “Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (azab yang dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, Demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu benar.”
  2. QS. At-Taghabun: 7: “Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, Demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan.”
  3. QS. Saba: 3: “Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami. Katakanlah: Pasti datang, Demi Tuhanku, sungguh kiamat itu pasti akan datang kepadamu.”
  4. QS. Maryam: 68: “Demi Tuhanmu, sungguh Kami akan membangkitkan mereka bersama syaitan.”
  5. QS. Al-Hijr: 92: “Maka Demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua!”.
  6. QS. An-Nisaa’: 65: “Maka Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”
  7. QS. Al-Ma’arij: 40: “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki Timur dan Barat.”
Semua sumpah dalam Alquran selain ketujuh tempat di atas, adalah dengan menggunakan makhluk-Nya, seperti yang termaktub dalam beberapa ayat Alquran berikut ini:[6]
  • Dalam QS. Asy-Syams: 1-2 : “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya.
  • Dalam QS. Al-Lail: 1-3 : “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan.
  • Dalam QS. Al-Fajr: 1-4 : “Demi fajar, dan malam yang sepuluh…. .
  • Dalam QS. At-Takwir: 15 : “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.
  • Dalam QS. Ath-Thin: 1-2 : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai…….” dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, ada yang mengatakan, “Bagaimana mungkin sumpah digunakan dengan nama makhluk, padahal Allah SWT melarang melakukan sumpah selain dengan nama-Nya.” Maka untuk hal ini, Abu al-Qosim al-Qusyairiy menjelaskan bahwa sumpah (qasam) yang digunakan Allah SWT dengan memakai nama sesuatu memiliki dua tujuan, yaitu disamping menunjukkan akan keutamaan dan kemanfaatan makhluk tersebut, juga agar dijadikan pelajaran bagi manusia itu sendiri.[7]
Allah SWT bisa bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab, bahwa Rasul SAW bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain (asma) Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).” [7]Al-Hasan menambahkan bahwa Allah SWT boleh bersumpah dengan makhluk yang dikehendaki-Nya, namun tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan (nama) Allah SWT.

3- Muqsam ‘Alaih
Kondisi Muqsam Alaih:
·         Tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan muqsam alaih. Karena itu, muqsam alaih haruslah berupa hal-hal yang layak untuk disumpahkan, seperti masalah ghaib dan tersembunyi. Sumpah di sini digunakan untuk menetapkan keberadaannya.
·         Jawab Qasam itu biasanya disebutkan. Dan terkadang tidak disebutkan, sebagaimana jawaban “Lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah:
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”. (QS> Al-Takatsur: 5)
Penghilangan seperti ini merupakan salah satu ushlub paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan. Dan redaksi ayat ini misalnya: “Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya.
Penghilangan jawaban qasam, misalnya:
 Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima oleh orang-orang yang berakal). Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad?” (QS. Al-Fajr: 1 – 6).
Yang dimaksud dengan sumpah di sini ialah, waktu yang mengandung amal-amal seperti ini pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai sumpah. Karena itu ia tidak memerlukan jawaban lagi. Namun demikian, ada sementara pendapat mengatakan, jawab qasam itu dihilangkan, yakni; “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Makkah”. Juga ada pendapat lain mengatakan, jawab qasam itu disebutkan, yaitu firman-Nya, “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 14).
 Pendapat yang benar dan sesuai dalam hal ini adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban. Jawaban qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh perkataan yang disebutkan di atasnya, seperti: “Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang banyak mencela.” (QS. Al-Qiyamah: 1 – 2).
 Jawab qasam di sini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman sesudahnya, yaitu: “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang belulangnya?” (QS. Al-Qiyamah: 3). Penjelasannya ialah: sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.
·         Fi’il Madhi Mutsbat Mutasahrif yang tidak didahului ma’mul-nya apabila menjadi jawab qasam, harus disertai dengan “lam” dan “qad”. Dan salah satu keduanya ini tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat terlalu panjang, seperti:
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, langit dan apa yang meninggikannya, bumi dan penghamparannya, jiwa dan penciptaannya secara seimbang, lalu Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 1 – 9). Huruf “lam” pada ayat ini dihilangkan karena pembicarannya terlalu panjang.
Atas dasar itu para ulama berpendapat tentang firman Allah: “Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Telah dibinasakan orang-orang yang membuat parit.” (QS. Al-Buruj: 1 – 4). Yang paling baik ialah qasam di sini tidak memerlukan jawab, sebab maksudnya adalah mengingatkan akan maqsam bih karena ia termasuk ayat-ayat Tuhan yang besar. Dalam pada itu ada yang berpendapat, jawab qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat ke empat. Maksudnya, mereka itu (yakni orang kafir Makkah) terkutuk sebagaimana ashabul ukhdud terkutuk.
·         Allah bersumpah atas prinsip-prinsip keimanan yang wajib diketahui makhluk. Di sini terkadang Ia bersumpah untuk menjelaskan beberapa hal di antaranya:
1.      Sumpah untuk menjelaskan tentang tauhid, seperti firman-Nya: “Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (QS. As-Shaffat: 1 – 4).
2.      Sumpah itu untuk menegaskan bahwa Alquran itu hak, seperti firman-Nya dalam QS. Al-Waqi’ah: 75-77): “Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Alquran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia.”
3.      Sumpah untuk menjelaskan bahwa Rasul itu benar, seperti dalam: “Yaa Siin. Demi Alquran yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari rasul-rasul.” (QS. Yasin: 1 – 3).
4.      Sumpah untuk menjelaskan batasan, janji dan ancaman, seperti: “Demi (angin) yang menebarkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 1 – 6).
5.      Sumpah untuk menerangkan kondisi manusia, seperti: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (QS. Al-Lail: 1 – 4).
Dan masih banyak lagi, yang intinya, siapapun yang meneliti qasam-qasam dalam Alquran, tentu ia akan memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.
·         Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah (kalimat berita), dan inilah yang banyak terkandung dalam Alquran, misalnya dalam firman-Nya: “Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi).” (QS. Adz-Dzariyat: 23). Dan adakalanya dengan jumlah thalabiyah secara maknawi (kalimat yang berisi tuntutan perintah, larangan, pertanggungjawaban, ancaman dan sebagainya, seperti: “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu”. (QS. Al-Hijr: 92-93). Yang dimaksud dengan ayat ini ialah ancaman dan peringatan.

2.  JENIS SUMPAH YANG DIGUNAKAN ALLAH
Qasam itu adakalanya nampak secara jelas, tegas dan adakalanya tidak jelas (tersirat), sehingga dalam hal ini jenis sumpah yang digunakan Allah dalam Alquran tersebut dapat dibagi dua, yaitu:
1)  Zhahir, ialah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu”, dan “ta”. Dan ada juga yang didahului oleh “la hafy”, seperti:
لآأُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ وَلآ أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 1-2). 
Sebagian ulama mengatakan, “la” di dua tempat ini adalah “la nafy”, untuk menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah. Dan misalnya adalah: “Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.” Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya: “Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa kamu kelak akan dibangkitkan”. Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan qasam, seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengah hari itu dan nafsu itu.
Tetapi Aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur berantakan karena kematian? Masalahnya sudah amat jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.” Tetapi juga ada berpendapat bahwa “La” tersebut za’idah (tambahan). Jawaban qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasinya adalah ayat sesudahnya (Al-Qiyamah: 3). Penjelasannya ialah: “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dihisab.”
2)   Mudhmar, yaitu yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “Lam Taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti firman Allah:
لَتُبْلَوُنَّ فِى أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu”. (QS. Ali Imran: 186). Maksudnya, Demi Allah, Kamu sungguh-sungguh akan diuji.[9]
Selanjutnya, apabila qasam berfungsi untuk memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna qasam. Misalnya da;am QS. Ali Imran ayat 187:

وإذ أخذ الله  ميثاق الذين أوتوا الكتاب لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia….”
Huruf “lam” pada ayat:   لَتُبَيِّنَنَّهُ للناس  adalah “lam qasam”, dan kalimat sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaaq” bermakna “istihlaf” (mengambil sumpah).[8]
Dan atas dasar ini pula, maka para mufassir menganggap sebagai qasam terhadap beberapa ayat di bawah ini, di antaranya pada:
  • QS. Al-Baqarah: 83 à “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah….
  • QS. Al-Baqarah: 84 à “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…..
  • QS. An-Nur: 55 à “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalelh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa….

3.   SIGNIFIKASI SUMPAH ( AQSAM )DALAM ISLAM
Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam Ilmu Ma’ani disebut adhrubul khabar ats-tsalatsah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita, yaitu: Ibtida’, Thalabi, dan Inkari.
1)      Ibtida’ (اِبْتِدَائِيًا)
Hiddam Banna’ mendefinisikan Ibtida’ sebagai berikut:
Artinya bahwa yang dimaksud dengan Ibtida’ adalah apabila mukhatab (lawan bicara) berhati kosong (khaliy azh-zhihni); sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid).
Dalam hal ini dapat dicontohkan sebuah firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi ayat 18:  Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Pada redaksi ayat di atas tidak ada menggunakan kalimat ta’kid (penguat), sebab tanpa ta’kid pun, isi pesan dalam ayat tersebut akan mudah diterima.

2)      Thalabi (طَلَبِيًا)
Untuk definisi Thalabi, Hiddam menyebutkan sebagai berikut: Maksudnya bahwa apabila seorang lawan bicara (mukhatab) ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya, maka perkataan untuk orang semacam ini “sebaiknya” diperkuat dengan suatu penguat (ta’kid) guna menghilangkan keraguannya.
Untuk hal ini kita ambil contoh Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab: 33: Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya: “Marilah kepada kami.” Dan mereka tidak mendatangi peperangan melainkan sebentar.
Pada ayat ini Allah menggunakan satu bentuk kalimat ta’kid “قد”, yang berfungsi untuk menghilangkan keraguan bagi yang mendengarkan (mukhatab).

3) Inkari (إِنْكَارِيًا)
Mengenai definisi Inkari, Haddam menjelaskan sebagai berikut:
أن يكون المخاطبُ منكرا للحكم الذى يراد إلقاؤه إليه معتقدا خلافه فيجب تأكيد الكلام له بمؤكد أو مؤكدين أو أكثر على حسب إنكاره قُوَّةً وضُعْفاً. [9]
Maksudnya bahwa apabila mukhatab (lawan bicara) ingkar atau menolak isi pernyataan secara sengaja dan terang-terangan, maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat (ta’kid); baik satu ta’kid, dua ta’kid atau bahkan lebih banyak ta’kid lagi; sesuai dengan kadar pengingkarannya, kuat ataupun lemah. Untuk ta’kid (penguat) tersebut dapat menggunakan huruf “إنَّ”, “لام الإبتداء”, “احروف التنبيه”, “نونى التوكيد”, “قد”, dan lain sebagainya, termasuk menggunakan “القَسَمُ” atau sumpah seperti yang sedang kita bahas sekarang ini.
Untuk hal ini, kita ambil contoh dari firman Allah SWT dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 51 yang berbunyi:
فَوَرَبِّ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَآ أَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.
 Dalam ayat ini Allah SWT menggunakan ta’kid berulang-ulang, yang didalamnya adalah “qasam” huruf “inna” serta “laam ta’kid” Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, signifikasi penggunaan kalimat “qasam” atau sumpah di dalam Alquran merupakan salah satu penguat perkataan yang mashur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.
 Alquran diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi.
Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.



















BAB III
PENUTUP

KESIMPILAN
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aqsam dalam Alquran yang dapat penulis sampaikan melalui makalah sederhana ini. Dan sebagai penutup, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan di sini, antara lain:
  1. Jiwa manusia dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya berbeda-beda, ada yang segera menyambut kebenaran tersebut dengan suka cita, namun banyak pula yang mengingkari kebenaran tersebut secara terang-terangan, maka untuk tipe manusia yang kedua ini, Allah SWT menggunakan kalimat qasam atau sumpah untuk menguatkan dan menegaskan ungkapan kalimat-Nya yang diiringi dengan bukti yang nyata, sehingga dengan begitu orang-orang yang semula ingkar akan kembali mengakui kebenaran tersebut.
  2. Unsur-unsur dalam sighat qasam ada tiga, yaitu: (1) fi’il yang digunakan di dalam qasam, (2) muqsam bih (zat atau isim yang mengiringi sumpah tersebut); dan (3) muqsam alaih (kondisi yang melatar-belakangi terjadinya sumpah tersebut).
  3. Sumpah (qasam) terdiri dari dua jenis; yakni pertama yang Nampak secara jelas fi’il qasamnya, atau yang disebut juga dengan Zhahir; dan yang kedua yang tidak jelas dan tersirat, baik fi’il qasam-nya maupun muqsam bih-nya, yang kedua ini disebut dengan Mudhmar.
  4. Allah SWT berhak menggunakan Dzat-Nya atau nama-nama makhluk-Nya di dalam bersumpah, tapi manusia dilarang menggunakan sumpah selain dengan menggunakan nama Allah SWT. Barangsiapa yang bersumpah selain dengan nama Allah, maka dia termasuk musyrik.
  5. Meski dibolehkan bersumpah, tapi hendaklah manusia menggunakan ‘sumpah’ pada situasi dan kondisi tertentu, yakni bila mukhattab atau lawan bicara termasuk dalam kategori “inkari”, yakni yang mengingkari kebenaran dari sebuah khabar (berita).[10]
DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h. 341
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 364
Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M), h. 487
Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, h. 487
Hiddam Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, (Ponorogo: Darussalam Press, 1996), h. 17
Hiddam Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, h. 18


[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h. 341
[3] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, terj. Aunar Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. IV, 2009), h. 364
[4] Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, (Beirut: Darul Fikr, 1429H/2008M), h. 487

[5] “Baa” tidak terdapat dalam Alquran kecuali barangkali dengan fi’il qasam, seperti dalam QS. An-Nur: 53
[6] Jalaluddin as-Syuyuthi asy-Syafi’i, Al-Itqaan fi Ulumil Qur’an, h. 487
[7] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, h. 367
[8] Hiddam Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, (Ponorogo: Darussalam Press, 1996), h. 17.
[9] Hiddam Banna’, Al-Balaghah fi ‘Ilmil Ma’any, h. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar