OLEH : JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy. METRO LAMPUNG. 0821-7725-7006/7005
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa, ide-ide
dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Idealisme, kadang-kadang digunakan
istilah mentalisme atau imaterialisme, yaitu keyakinan bahwa
hanya roh, jiwa, pikiran dan isinya yang ada. Sebuah istilah yang pertama kali
digunakan secara filosofis oleh Liebniz awal abad ke-18. Ia menetapkan istilah
ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankannya dengan materialisme
Epikorus.
Idealisme juga merupakan salah satu aliran dalam sejarah
filsafat barat modern yang berpandangan bahwa kenyataan akhir yang
sungguh-sungguh nyata itu adalah pikiran (idea) dan bukanlah benda di luar
pikiran kita (materi). Realitas itu sama luasnya dengan pikiran, maka yang real
itu rasional dan yang rasional itu real. Benda-benda di luar pikiran, seperti
alam, masyarakat, alat-alat, dst. Tidak memiliki status ontologisnya, yaitu
tidak sungguh-sungguh real. Tak ada benda-benda di luar pikiran. Benda yang
kita lihat seolah-olah di luar pikiran kita, seperti kursi dihadapan kita,
sebenarnya adalah idea atau pikiran dalam bentuk lahiriah.[1]
1.
Perkembangan Idealisme
Aliran
ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang
murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang
merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang
disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Pada jaman
Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan
kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting
daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan
kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka
tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman idealisme pada
masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme Jerman sedang besar sekali
pengaruhnya di Eropa.
1.
Tokoh-tokohnya
1.
Plato (477 -347 SM)
2.
Spinoza (1632 -1677)
3.
Liebniz (1685 -1753)
4.
Berkeley
(1685 -1753)
5.
Immanuel Kant (1724 -1881)
6.
J. Fichte (1762 -1814)
7.
F. Schelling (1755 -1854)
8.
G. Hegel (1770 -1831)
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan
bahwa hakekat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungan pada jiwa
(mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari "idea", yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini pada Plato. Pada filsafat modern,
pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1753) yang menyatakan
bahwa hakekat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah
ini pada permulaan abad ke-18; menamakan pemikiran Plato sebagai lawan
materialisme Epicurus.
Dalam kajian filsafat, seorang pengkaji akan mendapati
narasi-narasi besar yang berpengaruh pada masa sesudahnya. Periode modern yang
dimulai dengan rasionalisme Descartes, dilanjutkan dengan empirisime Hume dan
kritisisme Kant, diakhiri masa dengan idealisme Jerman, yang memunculkan
Nietzsche dan menandai berakhirnya masa filsafat modern.[2]
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel
dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal
dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
Tulisan ini akan secara singkat memaparkan idealisme absolut menurut Hegel
disertai beberapa penjelasan konsep kunci yang terkait dengannya.
BAB II
PENBAHASAN
1.
SEJARAH IDEALISME HEGAL
Terma idealisme berasal dari akar kata Yunani idea yang
berarti pandangan (vision) atau kontemplasi. Istilah ini pertama kali digunakan
secara filosofis oleh filosof dan matematikawan Jerman G. W. Leibniz yang
merujuk pada pemikiran Plato dan memperlawankannya dengan empirisisme.
Istilah ini digunakan sebagai nama untuk teori tentang
ide-ide arketip (archetypal ideas) dan untuk doktrin epistemologis Rene
Descartes dan John Locke yang menyatakan bahwa ide yang dalam doktrin ini berarti
objek pemahaman manusia bersifat subyektif dan dipunyai secara pribadi.
Pengertian kedua dari
idealisme diatas, yang meragukan eksistensi dunia materi, membuat istilah ini
juga digunakan untuk akosmisme yang menganggap alam materi hanya sekedar
proyeksi dari pikiran manusia dan immaterialisme yang menyatakan bahwa dunia
materi tidak ada. Kata idealisme semakin populer setelah digunakan oleh
Immanuel Kant yang menyebut teori pengetahuannya sebagai idealisme kritis atau
idealisme transendental. Ada
beberapa aliran idealisme filosofis. Yang paling terkenal adalah idealisme
Jerman yang ditandai oleh tiga tahap perkembangan dalam sosok tiga filosof.
Tahapan pertama adalah J. G. Fichte yang berpandangan idealisme subjektif.
Tahap selanjutnya adalah F. W. J. Schelling pada tahap
menengah perkembangan filosofisnya yang berpendirian idealisme objektif. Puncak idealisme Jerman tercapai di tangan G.
W. F. Hegel yang pemikirannya disebut idealisme absolut sebagai hasil sintesis
dari idealisme subjektif dan objektif.
Pria bernama lengkap Georg Wilhelm Friedrich Hegel ini
dilahirkan di di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Pada usia delapan belas tahun,
dia memasuki Tübingen Stift, sebuah seminari Protestan di universitas Tübingen,
dimana dia bertemu dengan dua temannya yang kemudian berpengaruh pada
perkembangan pemikirannya; Friedrich Hölderlin dan Friedrich Wilhelm Joseph
Schelling.
Merasa senasib dalam ketatnya peraturan seminari itu,
ketiganya menjadi teman akrab dan sering bertukar pikiran. Ketiganya
memerhatikan peristiwa Revolusi Prancis dengan antusias. Schelling dan
Hölderlin memelajari filsafat Kant dengan serius, sementara Hegel bercita-cita
menjadi filosof popular, yaitu menyederhanakan ide-ide sulit para filosof.
Setelah menerima gelar teologi dari Tübingen Seminary, dia menjadi guru privat
yang mengajar di sebuah keluarga aristokrat di Berne
selama tiga tahun dari 1793 sampai 1796.
Pada masa ini, dia menyelesaikan karyanya yang berjudul ”Life
of Jesus” dan sebuah manuskrip berjudul ”The Positivity of the Christian
Religion”. Atas ajakan Hölderlin, Hegel berpindah ke Frankfurt
pada 1797, dimana dia menyusun esai berjudul ”Fragments on Religion and Love”.
Dua tahun kemudian dia menyelesaikan sebuah esai lagi berjudul ”The Spirit of
Christianity and Its Fate”.[3]
Pada tahun 1801 Hegel mengunjungi temannya, Schelling, di kota Jena
dimana dia menjadi profesor luar biasa di universitas setempat. Di universitas
yang sama, Hegel kemudian bekerja sebagai Privatdozent (pengajar tak berbayar)
setelah menyerahkan disertasi tentang orbit planet. Empat tahun kemudian, pada
1805, Hegel diangkat menjadi profesor luar biasa setelah dia mengirim surat protes kepada
penyair dan menteri kebudayaan saat itu Johann Wolfgang von Goethe. Karena
tuntutan ekonomi Hegel memublikasikan karyanya yang dikenal dengan
Phenomenology of Spirit, ketika Napoleon berperang dengan tentara Prussia
pada 14 Oktober 1806.
Beberapa bulan kemudian, ketika berusia tiga puluh tujuh
tahun, Hegel berpindah ke kota Bamberg
untuk menerima tawaran menjadi editor surat
kabar yang diterimanya dengan rasa enggan. Setahun kemudian, pada bulan
November 1808, dia berpindah lagi ke kota Nuremberg. Di kota ini, Hegel
mengadaptasi karyanya yang baru dipublikasikan untuk pengajaran di kelas, yang
kemudian dikembangkan menjadi ensiklopedia ilmu-ilmu filosofis. Usai
perkawinannya pada tahun 1811, dia memublikasikan karya besarnya yang kedua
“the Science of Logic”, berturut-turut volume pertama pada 1812, volume kedua
pada 1813, dan volume ketiga pada 1816. Pada bulan Oktober 1816, Hegel menjadi
profesor filsafat di universitas Heidelberg.
Kuliah-kuliah politiknya selama di Heidelberg
menjadi dasar penulisan bukunya yang berjudul Philosophy of Right.
Pada masa ini juga, Hegel menulis karya besarnya Encyclopedia
of the Philosophical Sciences, karya tiga jilid yang mengeksposisi keseluruhan
sistem yang dibangunnya.
Pada bulan Desember 1817 menteri pendidikan Prussia menawarinya jabatan kursi kehormatan
dalam bidang filsafat di universitas Berlin
yang membuatnya tinggal di kota
itu. Di Berlin, Hegel meraih popularitas dan pengaruh dan mengadakan kuliah di
bidang estetika, sejarah filsafat, filsafat agama, dan filsafat sejarah.
Kuliah-kuliahnya yang tidak dipublikasikan semasa hidupnya kemudian
dipublikasikan dalam bentuk kumpulan karya oleh para mahasiswanya. Hegel
meninggal tiba-tiba di Berlin pada tanggal 14 November 1831. Pemakamannya
dipenuhi oleh para mahasiswa dan koleganya dan sesuai keinginannya dia
dikuburkan disebelah temannya Fichte.[4]
2.
FILSAFAT IDEALISME HEGEL (1770-1831)
Merupakan puncak gerakan filsafat Jerman yang berawal dari
Kant; walaupun ia sering mengkeritik Kant. Filsafatnya tidak akan pernah muncul
kalau tidak ada Kant. Pengaruhnya, kendati kini surut, sangat besar, tidak
hanya atau terutama di Jerman. Pada akhir abad kesembilan belas, para filusuf
akademik terkemuka, baik di Amerika maupun Britina Raya, sangat bercorak
Hegelian. Marx, seperti yang kita ketahui, ialah murid Hegel semasa mudanya,
dan dalam sistem filsafatnya yang terakhir ia masih mempertahankkan beberapa
corak Hegelian.
Filosof Amerika, M. R. Cohen, menyebut Hegel sebagai filosof
terbesar abad ke-19. Kalau melihat pengaruhnya pada Marx saja agaknya
penyataaan Cohen itu cukup beralasan. Dalam pengantar bukunya, Das Kapital edisi
kedua, Marx mengatakan bahwa dirinya adalah murid Hegel sekalipun
"dialektika saya berlawanan dengan dialektika Hegel".
Masalah pokok yang hendak dicari Hegel jawabannya muncul dari
suasana perpecahan keyakinan Kristen dan penuhanan akal sebagaimana muncul
dalam revolusi Prancis 1789. Ini adalah masalah nasib manusia, masalah
kebermaknaan eksistensi manusia.
Hegel berusaha membuat jawaban dengan menggunakan
istilah-istilah sekular. Hegel menghubungi nenek moyangnya orang Yunani, untuk
meminta pertolongan mencari jawaban jawaban atas persoalan dasar itu. Di dalam
bukunya, History Of Pihlosophy, ia mengatakan, "Aristoteles
adalah tokoh Yunani yang paling penting dipelajari; pada Plato kita memperoleh
prinsip-prinsip umum yang abstrak; pada Aristoteles pemikiran itu sudah menjadi
pemikiran yang kongkrit. "Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist (roh,
spirit,) suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit
dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkrit,
kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai dunia Roh yang
menempati objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi
manusia dan juga esensi sejarah manusia. Bagian metafisikanya ini dimulai dari
penmbahasan tentang rasio. Bertens (1979;68) menjelaskan bahwa Hegel sangat
mementingkan rasio. Tentu saja karena ia seorang Idealis. Yang dimaksud olehnya
bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tapi terutama rasio pada subjek
absolute kerena Hegel juga menerima prinsip idealistic bahwa realita seluruhnya
harus di setarafkan dengan suatu subjek.
Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi; "Semua
yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real."
Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya relaitas. Realitas seluruhnya
adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya
sendiri. Atau dengan perkataan Hegel yang lain, realita seluruhnya adalah roh
yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya.
Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai sambil mengutamakan
perasaan. Menurut Marx ada dua hal yang dapat menjadi titik tolak kita dalam
menelusuri beberapa gagasan dasar Hegel, di antaranya Hegel melihat manusia sebagai
hasil sebuah proses, dan proses itu di pahami sebagai sebuah pekerjaan.
Hegel menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang
rasional adalah nyata. Namun ketika ia mengatakan hal ini ia tidak memaksudkan
"yang nyata" itu sebagai apa yang menurut para tokoh empiris
dipandang nyata. Ia mengakui, bahkan meyakinkan, bahwa apa yang bagi tokoh
empiris terlihat sebagai fakta adalah, dan pasti, tidak rasional; ini hanya setelah
karakter yang terlihat pada fakta itu dijelmakan memandang karakter-karakter
itu sebagai aspek-aspek dari keseluruhan sehingga terlihat rasional. Sekalipun
begitu, identifikasi terhadap yang nyata dan yang rasional itu tentu
menimbulkan beberapa kepuasan yang tak biasa dipiiisahkan keyakinan bahwa
"apa saja yang berada (is), adalah benar".
Ada
dua hal yang membuat Hegel berbeda dengan orang-orang yang memiliki metafisis
yang kurang lebih mirip dengannya. Salah satunya adalah penekanan pada logika;
Hegel memandang bahwa hakekat realitas biasa dideduksi dari pertimbangan
tunggal bahwa realitas harus tidak kontradiktif diri. Corak pembeda lainnya
(yang terkait erat dengan yang pertama) adalah gerakan tritungal yang disebut
"dialektik".
Logika, menurut pemahaman Hegel, dinyatakan sebagai hal yang
sama dengan metafisika. Ini berbeda dengan apa yang biasanya disebut logika.
Pandangannya adalah bahwa segala predikat biasa, jika diterima sebagai sesuatu
yang memungkinkan keutuhan realitas, menghasilkan kontradiktif diri. Untuk
contoh kasar, kita biasa mengambil teori Permides bahwa Yang Esa, yang dia
sendirian adalah nyata, itu bersifat bulat. Tidak ada yang bisa bulat kecuali
yang memiliki garis batas, dan tidak ada yang bisa memiliki garis batas kecuali
ada sesuatu (atau sekurang-kuranmgnya ruang hampa) diluarnya.
Oleh sebab itu menganggap alam semesta sebagai kaseluruhan
yang bulat adalah kontradiktif diri. (argument ini bisa dipersoalkan dengan
membawanya kedalam geometri Non-Euklides, tetapi argument ini berfungsi sebagai
ilustrasi.) atau mari kita ambil ilustrasi lain, tanpa kontradiksi yang
terlihat, bahwa pak Ali ialah seorang paman; namun kalau anda mengatakan bahwa
alam semesta adalah seorang paman, anda akan menceburkan diri sendiri kedalam
beberapa kesulitan. Paman adalah orang yang memiliki kemenakan, dan kemenakan
ialah orang terpisah dari paman; oleh sebab itu, seorang paman tidak bisa
menjadi realitas seutuhya. Konsep filsafat Hegel seluruhnya historis dan
relatif. Karena juga dipengaruhi oleh pandangan-pandangan antropologi dan
sosiologi modern, relativismenya cukup menonjol. Ia mengatakan bahwa apa yang
benar ialah perubahan. Kunci filsafat Hegel terletak pada pandangannya tentang
sejarah. Sejarah, menurut Hegel, mengikuti jiwa dialektik.
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika
sebagai metode. Namun, dialektika itu bukanlah sekedar digunakan untuk
menjelaskan. Lebih luas dari itu, menurut Hegel, dalam realitas ini berlangsung
dialektika. Dealektika yang berlangsung dalam realitas itu diungkapkan oleh
Hegel dalam filsafatnya. Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika ialah
mendamaikan. Mengkompromikan hal-hal yang berlawanan (Bertens,1979;68).
Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama
(tesis) dihadapi (antithesis) fase kedua, dan akhirnya timbul
fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antithesis menghilang.
Dapat juga tidak menghilang ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis
baru, dihadapi oleh antithesis baru, dan menghasilkan sintesis baru. Dan
sintesis baru ini segera pula menjadi tesis baru lagi, dan seterusnya.
2. IDEALISME ABSOLUT HEGEL
Dari perspektif umum sejarah filsafat, filsafat Hegel adalah
usaha untuk merehabilitasi metafisika usai dikotomi Kantian yang memisahkan
antara noumena dan fenomena. Ia berusaha untuk mengetahui yang absolut dan tak
terbatas melalui nalar murni. Hegel, dalam bukunya Encyclopedia of
Philosophical Science, memosisikan filsafatnya sebagai respon terhadap tiga
tren filosofis: rasionalisme metafisika kuno, filsafat kritis Kant, dan
filsafat emosi Jacobi. Dia menyatakan bahwa sementara rasionalisme kuno tepat
dalam mempostulasikan pengetahuan rasional tentang yang mutlak, ia tidak
memiliki metodologi dialektika yang tepat untuk mencapai pengetahuan itu dan
terjebak model pembuktian deduktif kuno.
Sedangkan Kant, sekalipun tepat dalam kritiknya terhadap
model pembuktian ini, mengambil kesimpulan terlalu jauh sehingga dia menyimpulkan
ketidakmungkinan pengetahuan rasional apapun tentang yang mutlak. Di sisi lain,
penentangan Jacobi dan para filosof Romantik terhadap pembatasan Kantian
terhadap pengetahuan adalah tepat, akan tetapi solusi mereka dengan semata-mata
bergantung kepada intuisi dan perasaan estetika atau relijius tidak dapat
diterima. Dengan mengafirmasi pengetahuan rasional tentang yang absolut, mengeyampingkan
model pembuktian kuno, dan tidak menjadikan intuisi sebagai sarana mencapai
pengetahuan absolut, Hegel menawarkan solusinya sendiri yang disebut
dialektika.
Dalam salah satu karyanya, Hegel menyebut filsafatnya sebagai
idealisme absolut. Dia menulis: ”Posisi yang diadopsi oleh konsep diatas adalah
idealisme absolut”.Menurut Hegel, berkebalikan dari kaum empiris, konsep lebih
penting daripada objek dan ide-ide mental. Idealisme Hegel bersifat metafisik,
hal ini terlihat dari tesis dasarnya yang menyatakan bahwa segala sesuatu dalam
alam dan sejarah adalah manifestasi dari ide absolut. Ide di sini tidak
dipahami sebagai sesuatu yang berada dalam pikiran manusia. Tentang idealisme
dalam filsafat, Hegel menulis ”Idealisme dalam filsafat tidak lain adalah
pengakuan bahwa yang terbatas tidaklah memiliki eksistensi yang sebenarnya.”
Bagi Hegel yang terbatas adalah sesuatu yang berhenti
meng-ada (ceases to be). Dengan demikian, idealisme bagi Hegel tidak hanya
terbatas pada objek persepsi saja, sebagai dipahami pendahulunya, tapi mencakup
semua yang terbatas. Dia menyimpulkan bahwa wujud yang terbatas adalah wujud
yang tergantung dan, karenanya, tidak sepenuhnya nyata. Wujud yang terbatas
bergantung kepada yang tak terbatas yang oleh Hegel disebut idea.[5]
Dia menulis ”Setiap wujud individual merupakan satu aspek dari idea….Wujud
individu dalam dirinya sendiri tidaklah bersesuaian dengan konsep. Limitasi
itulah yang kemudian mewujud dalam keterbatasan dan kehancuran individu
tersebut”.
Yang terbatas, menurut idealisme Hegel, bergantung secara
eksistensial ontologis kepada idea. Konsepsi idea sebagai gantungan ontologis
segala yang terbatas mengasumsikan bahwa realitas pada dasarnya bersifat
konseptual, yakni diatur atas konsep tertentu. Yang sebenarnya eksis, menurut
Hegel, adalah keseluruhan (the whole), yang dia sebut idea. Dia menyatakan
bahwa ”Yang Sejati adalah keseluruhan. Tapi keseluruhan tidak lain merupakan
esensi yang mewujud-sempurnakan dirinya melalui perkembangan”.
Ide absolut yang menjadi gantungan segala sesuatu dipahami
oleh Hegel secara teleologis, yakni bahwa ia adalah tujuan tunggal yang
mewujudkan dan mengatur dirinya sendiri dari segala sesuatu. Bahwa segala
sesuat hanya merupakan manifestasi dari ide absolut ini berarti bahwa segala
sesuatu bergerak dan meng-ada untuk tujuan tunggal tersebut. Ada tiga hal yang mendasari tesis Hegel ini.
Yang pertama adalah monisme yang menyatakan bahwa semesta tidak terdiri dari
substansi yang beragam dan jamak, alih-alih, ia menyatakan bahwa semesta hanya
terdiri dari substansi tunggal. Bagi Hegel, hal-hal yang bersifat fisik dan
mental hanyalah penampakan dari substansi universal yang tunggal.
Monisme Hegel tidak berarti bahwa realitas adalah ke-satu-an
yang murni; ketunggalan yang tidak terbedakan tanpa perbedaan dalam dirinya
sendiri. Idealisme absolute, bagi Hegel, haruslah mampu menjelaskan kenyataan
keragaman benda-benda.[6]
Hal kedua yang mendasari tesis Hegel adalah organisisme yang
menyatakan bahwa realitas adalah keseluruhan yang hidup (living whole) or
terbentuk dalam satu proses hidup tunggal. Menurutnya, proses ini mengalami
tiga tahap: kesatuan yang belum sempurna (yang melahirkan identitas),
diferensiasi (yang menimbulkan perbedaan), dan kesatuan dari kedua tahapan
(yang mewujud dalam identitas dalam perbedaan).
Ide tentang organisime ini menyiratkan perkembangan dalam
idealisme absolut Hegel berarti yang idea mengaktualisasi diri. Konsep
perkembangan yang secara umum dipahami dalam konteks ruang dan waktu,
direkonseptualisasi oleh Hegel dengan terma logika yang didasarkan pada konsep
negasi. Negasi digunakan untuk mengkonseptualisasi mekanisme perkembangan.
Kerangka negasi ini yang kemudian menjadi konsep kunci yang
digunakan Hegel untuk menjelaskan realitas sebagai keseluruhan yang berkembang
(developing whole).
Hal ketiga adalah rasionalisme yang menyatakan bahwa proses
hidup ini memiliki tujuan atau sesuai dengan idea yang dipahami bukan sebagai
sesuatu yang bersifat mental atau subjektif manusiawi. Hegel memahami idea
sebagai arketip yang memanifestasikan dirinya dalam yang subjektif dan objektif;
mental dan material.
Dalam karya besarnya, The Encyclopedia of the Philosophical
Sciences, Hegel membagi sistem filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika,
filsafat alam, dan filsafat roh. Dalam logika bukan dalam pengertian
tradisional dia menjelaskan struktur kategorial idea yang mendasari segala yang
ada. Dua bagian yang lain merupakan
penjelasan dari struktur konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam
dan roh; dimana keduanya adalah area manifestasi idea.
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya
tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode dialektika.
Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas pengetahuan hanya
pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan pengetahuan rasional
murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan pada
pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi
dasar semua pengalaman.[7]Metode
dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal
sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik
karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak
bersumber dari masing-masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara
berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan
bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain.
Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata
konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam
kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam
kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk
mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa
mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang
mengikatnya.
Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang
mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang
tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana
segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel,
keseluruhan mendahului bagian-bagiannya.
Dalam kaitannya dengan agama, Hegel meyakini bahwa filsafat
adalah pemahaman rasional terhadap keimanan keagamaan.[8]
Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh filsafat
dipahami pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau pemikiran
sistematis. Konsep Hegel tentang yang absolut dalam batas tertentu setara
dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional. Bahkan Hegel sering merujuk
pada yang absolut dengan kata Tuhan. Beberapa segi konsep Hegel juga mendukung
konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti konsep teleologinya yang
merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama Kristen.
Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin
trinitas, yang baginya sang bapa merepresentasikan momen kesatuan, sang anak
momen perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan dalam perbedaan. Tapi dalam
beberapa hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama Kristen.
Misalnya, dia menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah.
Baginya, yang absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud
hanya di dalam dan melalui keduanya.
3.
KRITIK HEGAL
Hegel sering disebut sebagai filosof yang paling sulit
dipahami diantara para tokoh filsafat Barat yang lain. Dalam pandangan Hassan
Hanafi diantara ”jasa-jasa” Hegel yang dapat digunakan untuk studi keislaman
diantaranya adalah studi kritis kitab suci, agama sebagai ilmu humaniora, dan
pandangan historisitas agama dengan penekanan terhadap unsur kemanusiaan
alih-alih ketuhanan.
Saran ini tentunya harus dibaca secara kritis karena tidak
semua unsur hegelian dapat diterima dalam studi keislaman. Misalnya, apa yang
diakui oleh Karl Marx sebagai sumbagan terbesar Hegel, yakni pemahamannya
tentang karakter pemikiran manusia yang terkondisikan secara historis,[28]
tidak dapat serta merta diterapkan dalam studi-studi keislaman maupun untuk
memahami Islam secara umum.
Hal ini, secara umum, merupakan tipikal pemikiran Barat yang
ditandai dengan penekanan terhadap proses kesejarahan yang mengakibatkan
relativisasi nilai. Hal ini terlihat misalnya dalam ”penyelewengan” yang
dilakukan Karl Marx. Alih-alih menjadikan spirit sebagai sentral dialektikanya,
sebagaimana konsep yang digagas Hegel, Mark memilih menjadikan materi sebagai
faktor utama dalam dialektikanya, yang kemudian dikenal dengan materialisme
dialektik yang menjadi dasar materialisme historis yang dibangunnya.[9]
Dengan demikian, secara umum, filsafat Barat, pasca
Pencerahan, dimana Hegel adalah salah satunya, ditandai dengan pemusatan
terhadap faktor manusia, dalam aspek rasionalitas maupun intuitif yang dipahami
dalam konteks Barat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hegel dengan sistem filsafat yang dibangunnya berpengaruh
pada dunia Barat, bukan dalam bentuknya yang ’murni’, tapi justru unsur-unsur
idealisnya dihapus dengan tetap memertahankan konsep dialektika yang
ditawarkannya. Dalam pemikiran kontemporer, Hegel dikaji dalam tiga wilayah
kajian. Pertama, yang memahami Hegel dalam konteks filsafat pemikiran dan
epistemologi.
Model kajian pertama ini tidak terlalu berpengaruh dalam
konteks filsafat pemikiran secara umum. Bentuk kedua kajian Hegel adalah kajian
estetika yang, seperti dalam ranah epistemologi, tidak mendominasi wacana
estetika secara umum. Dataran ketiga dimana Hegel dikaji adalah teori etika,
sosial dan politik. Dalam bidang ini, pengaruh Hegel terasa lebih kuat
dibanding dua wilayah kajian pertama.[10]
Usaha Hegel untuk melepaskan diri dari ”kungkungan” Kant dan
merehabilitasi metafisika rasional dengan absolutismenya ternyata gagal
menemukan pengaruhnya di wilayah filsafat dan pemikiran dengan peralihan ke
zaman pasca modern yang dikenal dengan anti sentralitasnya. Alih-alih,
pemikirannya dalam bidang politik berpengaruh dalam tatanan politik di Eropa
seabad kemudian.
Hegel dapat menerima adanya penggolongan menjadi idealisme
subjektif dan idealisme objektif. Dari sini ia mengemukakan filsafatnya
tesis-antitesis, dan ia mendirikan alur pemikirannya semdiri yang disebutnya
idealisme absolute sebagai sintesis tertinggi dibandingkan dengan idealisme
subjektif (tesis) dan idealisme objektif (antitesis). Sejak Hegel mengemukakan
idealisme absolute banyak filosofis yang menekankan pemikirannya pada yang
absolute. Diantara tokoh idealisme absolute adalah Bradley, T.H Green, Bernard
Bosanquest, dan Josiah Roice
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,
K, Ringkasan
Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975
Lily Tjahjadi, Simon Petrus, Pr, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius,
Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. 7, 1996
Tafsir Ach, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2003
Informasi biografis tentang Hegel berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel.
Lily Tjahjadi, Simon Petrus, Pr, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius,
Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. 7, 1996
Tafsir Ach, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2003
Informasi biografis tentang Hegel berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel.
[1] http://imampamungkas.blogspot.com. idealisme-j.html,
[2] http://imampamungkas.blogspot.com/2010/12/idealisme-j.html,
di unduh 24 april 2011. pukul 09.00 wib.
[3]Informasi biografis tentang Hegel
berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel.
[4]Informasi biografis tentang Hegel
berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel.
[5] Disini penulis memilih menggunakan
kata idea, alih-alih ide, sebagai terjemahan kata idea untuk mempermudah
pembedaan antara ide dalam konsep filosof pra-Hegel dan idea dalam konsep
Hegel.
[6] Bertens,
K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1975
[10]Informasi biografis tentang Hegel
berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar