
LAPORAN HASIL PENELITIAN
DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITISI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS
ANAK
HASIL PERNIKAHAN SIRRI
Penelitian Kompetitif Individual Mahasiswa
STAIN Jurai Siwo Metro Tahun 2012
PENELITI :
JOMIANTO MUZAKKI
NPM : 0841803
Program Studi :
Ahwalus Syakhshiyyah
Jurusan : Syari’ah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
1434 H / 2012 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puja dan Puji syukur kekhadirat Allah SWT, yang
telah melipahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya kepada peneliti yang dapat
menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian Individual Mahasiswa STAIN Jurai Siwo
Metro Tahun 2012 dengan Judul : Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri”.
Selain itu juga tak lupa peneliti ucapkan
terimakasih Kepada berbagai pihak yang memberikan kontribusi dan dukungan
selama proses penelitian ini dilaksanakan, secara khusus peneliti mengucapkan
terimakasih kepada:
- Menteri Agama Republik Indonesia
- Ketua STAIN Jurai Siwo Metro
- Kepala P3M STAIN Jurai Siwo Metro
- Ibu Dra. Siti Nurjanah M.Ag, dan Bapak Imam Mustofa, SHI, MSI Selaku Pembimbing dalam penyelesaian penelitian ini.
- Serta semua pihak yang telah membantu dan terlibat aktif dalam proses penyelesaiaan penelitian ini.
Selanjutnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian penelitian ini, peneliti memberikan apresiasi dan
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan bantuan yang telah
diberikan kepada peneliti senantiasa di ridhoi oleh Allah swt dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang sebaik-baiknya di sisih
Allah swt.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun bagi hasil
penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan agar menjadi bahan pertimbangan
dalm proses penelitian-penelitian yang selanjutnya, akhirnya semoga penelitian
ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang positif khususnya untuk
Mahasiswa di lingkungan STAIN Jurai Siwo.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Metro, 17 November 2012
Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................... ii
KATA
PENGANTAR...................................................................
iii
DAFTAR
ISI..................................................................................
iv
BAB. I
PENDAHULUAN.......................................................
A. Latar Belakang Masalah..................................................
1
B. Rumusan Masalah............................................................ 7
C. Tujuan Penelitian.............................................................
7
D. Manfaat Penelitian........................................................... 9
BAB. II KERANGKA TEORI....................................................
A. Kedudukan dan Kompetensi Mahkamah
Konstitusi.......10
B. Nikah Sirri di Indonesia................................................ 14
C. Sekilas Tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi........... 25
BAB.
III METODE PENELITIAN........................................
A. Jenis dan Sifat Penelitian............................................. 32
B. Sumber Data................................................................. 33
C. Teknik Pengumpul Data................................................ 33
D. Teknik Analisis Data..................................................... 34
E. Pendekatan................................................................... 34
BAB
IV PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN.
A. Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri............................... 36
B. Dampak Positif dan Negatif Serta Pro
Kontra terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010...................................................................................... 58
C. Respon Majelis Ulama Indonesia Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010....................................................... 66
BAB
V SIMPULAN DAN SARAN.........................................
A.
Simpulan........................................................................ 73
B. Saran............................................................................. 75
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI
ABSTRAK
Oleh:
JOMIANTO MUZAKKI
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral,
karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Mahkamah
Konstitusi membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu
dikeluarkannya putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait
kedudukan hukum bagi anak luar perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dengan nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan tanggal 27 Februari
2012 lahir karena adanya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, terutama Pasal 43 ayat (1).yaitu ‘Anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.Keputusan tersebut tentunya tidak serta merta
tentunya ada yang melatarbelakanginya sehingga berdampak pada hubungan
keperdataan dan perlindungan hukum terhadap anak hasil pernikahan sirri.
Tentunya penelitian ini secara umum bertujuan
untuk memberikan pemahaman menyeluruh kepada masyarakat terhadap status anak
hasil pernikahan sirri pasca putusan mahkamah konstitusi nomor
46/puu-viii/2010.
Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan informasi untuk pemberian pemahaman tentang status anak hasil
pernikahan sirri.
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library
research) untuk mendapatkan data terdapat empat kata kunci yang harus
diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan.
Makana pentingnya kewajiban administratif berupa
pencatatan perkawinan menurut Mahkamah Konstitusi, diwajibkanya pencatatan
perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan karena merupakan
kewajiban administratif.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah
Konstitusi membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu
dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait
kedudukan hukum bagi anak luar perkawinan. Putusan ini lantas mengundang pro
dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi,
LSM, MUI, bahkan masyarakat. putusan mahkaamah konstitusi mengenai pengakuan
anak di luar perkawinan mengejutkan. walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi
akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi
tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dengan nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan tanggal 27 Februari
2012 lahir karena adanya perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
yang menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang diajukan oleh: Hj. Aisyah Mochtar alias
Machica binti H. Mochtar Ibrahhim, tempat dan tanggal lahir, Ujung Pandang, 20
Maret 1970, Alamat, Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan
Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Dan anaknya
yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono.
Berdasarkan surat kuasa nomor
58/KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5 Agustus 2010, memberi kuasa kepada:[1]
1. Rusdian Matulatua
2. Oktryan Makta
3. Miftahul I.A.A
Yaitu Advokat pada Kantor
Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamatkan di Wisma Nugra Santana Jalan
Jendral Sudirman Kav 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Adanya permohonan yudisial
review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1)
undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang mana Meordiono
sebagai seorang suami yang beristri (mempunyai istri sebelumnya) menikah lagi
dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi
tidak dihadapan KUA/PPN kecamatan yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam
buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah.[2]
Dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad
Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, Pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan menyatakan bahwa:”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[3]
Kemudian pasal 43 ayat (1) UUP menetapkan bahwa: anak-anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.’[4]
Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya
oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut karena
perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya Iqbal tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.[5]
Dengan berlakunya pasal 2 ayat
(2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebuk maka Hj.
Aisyah Moktar dan Muhamad Iqbal Ramadhan yang mana hak-hak kostitusinya sebagai
warga negara Indonesia yang di jamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, karena setatus perkawinanya tidak
sah demikian juga terhadap anak yang dilahirkan menjadi tidak sah.[6]
Tentunya berakibat hilangnya
status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta setatus Muhammad
Iqbal Ramadhan sebagai anak Moerdiono.[7]
Dalam undang-undang no 1 tahun
1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.” dan ayat (2) nya menyatakan, “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.” dalam Pasal 43 undang-undang perkawinan
menyatakan,“ anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[8]
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dalam Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah”, dalam pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”,
dan juga Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
berlaku yang sama di hadapan hukum”.[9]
dari permohonan diatas mahkamah konstitusi republik Indonesia berpendapat
mengenai Pasal 2 ayat (2) Tahun 1974 yang mana tentag pencatatan perkawinan
dengan demikian mahkamah konstitusi menyimpulkan:
- Pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
- Pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menentukan sahnya perkawinan
adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan
calon suami/istri. diwajibkanya pencatatan perkawinan oleh negara melalui
peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.[10]
Makana pentingnya kewajiban
administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah
Konstitusi, dapat dilihat dari dua perspektif yaitu:
Pertama, dari perspektif negara, pencatatan
dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang
merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis yang diatur dan dituagkan dalam
perundang-undangan.
Sekiranya pencatatan yang
dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan menurut mahkamah konstitusi
tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan
dengan undang-undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kedua, pencatatan secara administratif yang
dilakukan oleh negara di maksudkan agar perkawinan,[11]
sebagai perbuatan hukum dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan,
yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di keudian hari
dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari
suatu perkawinan yang berangkutan dapat terselenggara dengan secara efektif dan
efesien.
Artinya, dengan demikian bukti
otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat
terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan waktu yang lama
dalam proses pembuktian baik waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih
banyak. seperti pembuktian mengenai asal usul anak dalam Pasal 55 UU Nomor 1
Tahun 1974 yang mengatur bila asal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan
akta otentik maka mengenai hal itu akan
ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. pembuktian yang demikian
pasti tidak lebih efektif dan efesien bila dibandingkan dengan adanya akta
otentik sebagai buktinya.[12] mahkamah konstitusi menyampaikan mengenai anak
yang dilahirkan diluar perkawinan yang diidentifikasikan dengan anak yang tidak
sah. Menurut mahkamah konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan
hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi
yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual
di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai
ibunya dan keluarga ibunya saja. adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika
hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak.
Tentunya akibat hukum dari
peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang didahului dengan hubungan
seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah hubungan hukum
yang didalamnya terdapat kewajiban secara bertimbal balik yang subjek hukumnya
adalah anak, ibu dan bapak.
Dengan demikian hubungan anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak
tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga dibuktikan adanya hubungan darah
antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Kemudian mahkamah
konstitusi bahwa Pasal 43 ayat (1) bertentangan dengan undang-undang dasar 1945[13].
Oleh karena itu mahkamah
konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu permohonannya
yudisial review ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau dengan alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk juga mempunyai hubungan darah
dengan ayahnya.’[14]
Putusan akhir oleh mahkamah konstitusi tersebut merupakan putusan final yang
berkaitan dengan uji materil undang-undang, yang dalam hal ini Pasal 43 ayat
(1) undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. oleh karna itu putusan Mahkamah
Konstitusi itu berlaku sebagai undang-undang sehingga subtansinya general,
tidak individual.
Putusan mahkamah konstitusi
nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga
negara Indonesia tentang hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya
beserta segala konsekuensinya, baik anak itu adalah anak yang dilahirkan oleh
seorang perempuan yang dihamili oleh seorang laki-laki tanpa ikatan perkawinan,
dan setelah anak itu lahir kedua orang perempuan dan laki-laki ini tidak pernah
mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan yang sah maupun setelah anak tersebut
lahir kemudian kedua orang tuanya laki-laki dan perempuan tersebut mengikatkan
diri dalam ikatan perkawinan yang sah atau disebut anak diluar perkawinan, atau
anak tersebut lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki
dalam ikatan perkawinan yang tidak memiliki kepastian dan tidak memiliki
kekuatan hukum, karena peristiwa perkawinannya tidak sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar hal tersebut di atas, penulis
hendak mencoba membedah kedudukan anak lahir di luar nikah pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika menggunakan
analisis hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Hj. Aisyah Mochtar
alias Machica, maka ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama,
persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu
bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua,
pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar
perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan
perspektif kasus posisi dari kasus Machica.
Ketiga, menyangkut kewenangan pengadilan agama.
bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat, di sini akan
menjurus pada persoalan yuridis materiil dan yuridis formil.
Bagaimana pengertian anak yang
lahir di luar perkawinan sebelum dan sesudah putusan mahkamah konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010,di sini akan tampak pergeseran makna. Perkawinan di Indonesia,
ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat.
Pencatatan perkawinan di
Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa
muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun
sesudahnya.
Berdasarkan kitab-kitab yang
dijadikan pedoman oleh departemen agama, peradilan agama, tidak terdapat ulama
yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik
sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap.
Akan tetapi, dalam
undang-undang perkawinan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan
perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang. dalam menyelesaikan perkara
dalam lingkungan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang
masalah, identifikasi dan pembatasan masalah tersebut diatas maka masalah dalam
penelitian ini dapat peneliti rumuskan sebagai berikut:
1. Apakah yang melatar belakangi putusan
mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap hubungan keperdataan dan
perlindungan anak hasil pernikahan
sirri?
2. Bagaimanakah dampak putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri?
C. Tujuan Penelitian
Berawal dari rumusan masalah
diatas, tentunya penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan
pemahaman menyeluruh kepada masyarakat terhadap setatus anak hasil pernikahan
sirri paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status
anak yang dilahirkan oleh perempuan dari perkawinan dibawah tangan/sirri.
Sementara secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
- memberikah pemahaman secara mendalam dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. terhadap setatus anak hasil pernikahan sirri.
- mengungkap dan mendeskripsikan yang melatar belakangi Putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap nasab/status anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri.
D. Manfaat
Penelitian
Sebagai upaya untuk memberikan
pemahaman terhadap dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010
terhadap status anak hasil pernikahan sirri, tentunya banyak sumber yang harus
dikaji dan diteliti melalui penelitian ilmiah kompetitif seperti ini.
Semoga dapat berguna untuk
memberi gambaran secara utuh dan kritis dalam memahami dan mengaktualisasikan
dampak putusan mahkamah konstitusi nomor
46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan sirri.
Selain itu juga temuan dari
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemberian
pemahaman terhadap status anak yang di lahirkan dari perkawinan sirri.
a. Manfaat Teoritis
Adapun diantara manfaat
teoritis dari penelitian ini yaitu
- Untuk pengetahuan dan memperdalam dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan sirri.
- Sebagai bahan kajian akademisi penelitian ini dapat memberikan pemahaman hukum terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri.
- Sebagai bahan masukan karya ilmiah dan penegakan hukum dalam menyikapi permasalahan status anak hasil pernikahan sirri setelah di keluarkannya putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010.
b. Manfaat Praktis
Adapun beberapa manfaat
praktis dampak putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan
sirri, sehingga diharapkan dari penelitian ini antara lain:
- Sebagai landasan penelitian lanjutan terhadap status anak hasil pernikahan sirri/dibawah tanggan paska putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010;
- Sebagai masukan bagi pengambilan kebijakan paska putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri di Indonesia;
- Sebagai kontribusi yaitu untuk mengembangkan teori maupun konsep keilmuan khususnya teori tentang dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri, serta sebagai kontribusi pemikiran terhadap masyarakat umum mengenai pernikahan sirri dan status anak yang dihasilkan dari pernikahan sirri tersebut.
[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010, h. 1-2.
[2] A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27
Pebruari 2012 (Badan Diskusi Hukum
hakim PTA Ambon dan PA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitraan pada
tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon ), h 1
[3] Nuansa Aulia, Undang –Undang Nomor 1
Tahun 1974, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009) h 80.
[4] Ibid h
93.
[5] A. Mukti Arto, Diskusi Hukum., Op.cit,
h. 2
[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012., Op.cit, h 4-5
[7] Ibid.,
h 6
[8] Departeman Agama Islam RI, Bimbingan
dan Konsultasi Haji,Undang-undang nomor 1 tahun 1974, (Jakarta: Depag,
2004), h 34,
[9] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Surabaya: Putra Bahari, 2009), h.19
[10] H. Chuzaimah, T.
Yanggo dan HS. Hafiz Anzhori, (ed) problemática Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. 29
[11] Abdul Djalil, Pengantar
Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, cet 3, 1996), h.6
[12] Putusan MK., Op.cit, h. 33-34
[13] Ibid.,
h. 35-36
[14] Ibid.,
BAB II
KERANGKA TEORI
A.
Kedudukan dan Kompetensi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi
kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002),
dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9
(sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung
dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah:[1]
(i)
Dewan
Perwakilan Rakyat,
(ii)
Dewan
Perwakilan Daerah,
(iii)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
(iv)
Badan
Pemeriksa Keuangan,
(v)
Presiden,
(vi)
Wakil
Presiden,
(vii)
Mahkamah
Agung,
(viii)
Mahkamah
Konstitusi, dan
(ix)
Komisi
Yudisial[2]
Di samping kesembilan lembaga tersebut,
terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam
UUD, yaitu
(a) Tentara Nasional Indonesia,
(b) Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(c) Pemerintah Daerah,
(d) Partai Politik[3]
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak
disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan
diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya
“Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena
ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum
yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan
lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.[4]
Dari uraian di atas, mahkamah konstitusi
dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan
mahkamah agung. mahkamah konstitusi dan mahkamah agung sama-sama merupakan
pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan
terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive)
dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). mahkamah ini
sama-sama berkedudukan hukum di jakarta sebagai ibukota negara republik
indonesia. hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan
berbeda sama sekali satu sama lain.[5]
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga
peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi
sebesar mahkamah agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya
bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan
peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha
negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.[6]
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi kehakiman, mahkamah konstitusi bersifat independen, baik
secara struktural maupun fungsional. untuk mendukung independensinya,
berdasarkan ketentuan undang-undang, mahkamah konstitusi juga mempunyai mata
anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. hanya saja, sesuai
dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan
tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi
kepegawaian mahkamah konstitusi tetap terikat kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. atas usul ketua mahkamah
konstitusi, sekretaris jenderal dan panitera tetap diangkat dan diberhentikan
dengan keputusan presiden. bahkan hakim konstitusi secara administratif
diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden.[7]
a. Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada
pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan
yang mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan
pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi
prinsip-prinsip baru dalam system ketatanegaraan, yaitu antara lain dengan
adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan.[8]
Karena itu, fungsi-fungsi judicial review
atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan
pemberhentian terhadap presiden dan / wakil preseiden dikaitkan dengan fungsi
mk. disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai
persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses
peradilan yang biasa, seperti sengketa pemilu dan tuntutan pembubaran suatu
partai politik. perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan
kebebasan para warganegara dalam dinamika system politik demokratis yang
dijamin oleh UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing:[9]
1. ( 3 ) orang oleh Mahkamah Agung.
2. ( 3 ) orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
3. ( 3 ) orang oleh Presiden.
Masa jabatan Konstitusi adalah 5 tahun,
dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Hakim
Konstitusi sekarang adalah :[10]
1. Moh. Mahfud MD
2. Achmad Sodiki
3. Harjono
4. Anwar Usman
5. M. Akil Mochtar
6. Maria Farida Indrati
7. Ahmad Fadlil Sumadi
8. Hamdan Zoelvon
9. Muhammad Alim
b. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.[11]
c. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, Sebagai
sebuah lembaga negara Mahkamah konstitusi diberikan kewenangan oleh konstitusi.
Kewenangan tersebut antara
lain:[12]
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik;
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
- Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]
B.
Nikah Sirri di Indonesia
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam bukunya Amin Syarifudin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia bahwa perkawinan atau pernikahan dalam
literatur fiqh dari bahasa arab disebut dengan dua kata yaitu, nikah dan
zawaj (kawin). Secara arti kata nikah berarti ”bergabung” atau ”hubungan
kelamin”.[14]
Pengertian pernikahan dalam kitab
Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 disebutkan bahwa ”perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan mmembentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhana yang Maha Esa.[15] Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, dalam bukunya perkawinan dalam bahasa arab al-wathi dan al-dammu wa
al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau an al-wath
wa al-aqd yang artinya bersetubuh, berkumpul dan akad.[16] beranjak dari makna etimologi ini para ulama mendefinisikan perkawinan.
Menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang
memeberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalal
seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada
faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[17]
Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang
menggunakan lafaz ikah yang bermakna tajwiz dengan mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.[18]
Selanjutnya al-Malibari mendefinisikan
perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahad) melakukan
persetubuhan.[19] Menurut Abu Zahrah, di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya
melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong menolong
serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[20]
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalan
suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara
seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga kekal, menyantuni, kasih
mengasihi, tentram dan bahagia.[21]
Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah
perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada
hubungan seksual.[22]
Sedangkan Ibrahim Hosein, mendefinisikan
perkawinan sebagai akad yang denganya menjadi halal hubungan kelamin antara
peria dan wanita secara tagas perkawinan sebagai hubungan seksual.[23]
Selanjutnya Tahir Mahmood, lebih lengkap
mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dan wanita masing-masing sebagai suami istri dalam rangka memperoleh
kabahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran ilahi.[24]
2. Pengertian Nikah Sirri
Menurut ulama kontemporer dari bukunya M.
Musthafa Luthfi, konsep nikah sirri berdasarkan ulama kontemporer dan sesuai
dengan kenyataan masa kini adalah jenis pernikahan :
a) Tidak tercatat secara resmi di badan yang
berwenang
b) Kesaksian para saksi yang dirahasiakan
(baik pernikahan tersebut dicatat secara resmi maupun tidak)
c) Pernikahan tanpa saksi
d) Pernikahan tanpa saksi dan wali.[25]
Sirrih secara bahasa berasal
dari bahasa arab yakni as-ssir yang yang berarti rahasia. Dengan demikian,
nikah sirri berasal dari bahasa arab yang juga dikenal dengan sebutan zawaj
as-sirri atau pernikahan secara rahasia. Umumnya kerahasian tersebut ditujukan
kepada istri pertamanya dan keluarganya. Namun adakalanya nikah sirri itu resmi
di catat dalam catatan pihak berwenang namun tidak diketahui oleh istri pertama
dan keluarganya.[26]
Pendeknya nikah sirri biasanya terjadi bagi kalangan pria yang ingin poligami[27]
namun tidak dapat memenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangn yang
berlaku.
Hal ini sebagai mana
dijelaskan oleh Prof Dr, Yusuf Ad-Duraiwisy sebagai berikut:”perkawinan urfi
(pernikahan tradisi/nikah dibawah tangan/sirri) adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memakai lafat lafzi
(dengan ucapan) mencangkup ijab dan qobul antara keduanya dalam satu majelis
dan dengan kesaksian para saksi, mahar dan wali, istilah Urfi itu sendiri
berasal dari kata Zawaj Urfi, (pernikahan tradisi), dan Urfi, (bersifat
tradisi), Al-Urfi, berdasarkan makna terminologi adalah, sesuatu perkara
yang sudah mapan di hati manusia melalui persaksian akal-akal (yang sehat), di
setujui oleh fitrah-fitrah manusia yang masih lurus dengan kerelaan dan
ditetapkan oleh syari’at.[28]
Dalam bukunya Dr.M Musthafa
Luthfi dan Mulyadi Luthfi, di sesuaikan dengan kontek masa kini nikah sirri (nikah
di bawah tangan),adalah: ”Jenis pernikahan yang tidak tercatat secara resmi
di badan pencatatan yang berwenang. sirri secara bahasa berasal dari bahasa arab yakni As-sirr
yang berarti rahasia, dikenal juga dengan sebutan Zawaj As-Sirri yaitu
pernikahan secara rahasia.[29]
Berdasarkan keterangan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa nikah sirri secara istilah adalah, pernikahan
yang syarat dan rukunnya terpenuhi, namun dilaksanakan secara rahasia dan
umumnya tanpa dicatat dalam pencatatan oleh badan yang berwenang di suatu
negara.
Sedangkan menurut M. Anshary
MK, nikah sirri artinya, nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah dibawah
tangan. bahwa dari pengamatan dilapangan bahwa nikah sirri dapat dibedakan
kepada dua jenis.
Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua/wali si perempuan.
dalam pernikahan bentuk pertama ini akad nikahnya hanya dihadiri oleh laki-laki
dan perempuan yang akan melangsungkan akad nikah, dua orang saksi, dan guru
atau ulama yang akan menikahkan tanpa mmemperoleh pendelegasian dari wali nikah
yang berhak. padahal guru atau ulama tersebut dalam pandangan hukum Islam tidak
berwenang menjadi wali nikah, karena ia tidak termasuk dalam prioritas wali
nikah.[30]
Kedua, nikah sirri yang kedua adalah, akad nikah
yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan
ketentuan hukum islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak
undang-undang perkawinan di Indonesia.[31]
Pernikahan ini dilakukan
biasanya tanpa ada pemberiatahuan secara resmi kepada pegawai pencatat nikah (PPN), pelaksanaan
pernikahan dengan cara ini adalah benar dan sah walaupun tidak tercatat secara
resmi. berdasarkan pendapat diatas, perkawinan dibawah tangan sah menurut hukum
Islam walau pun tidak tercatat secara resmi. selain kensekuensi keabsahan hukum
pernikahan di bawah tangan, ada akibat yang diterima manakala tidak dilakukan
di hadapan pegawai pencatat nikah (PPN) yaitu anak tidak mendapat hak secara
utuh selayaknya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dicatat menurut
undang-undang yang berlaku. ”adapaun pengakuan resmi (penulisan akad) dengan
arti resmi dikantor catatan sipil adalah
perkara yang diwajibkan oleh undang –undang, dengan diperolehnya kutipan akta
perkawinan itu perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang
mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.[32]
jelaslah juga bahwa kaliamat pernikahan urfi maksudnya lawanya
dari “resmi” artinya tidak diakui secara resmi. maka inti dari persoalan
disini adalah, apabila akad pernikahan urfi dilaksanakan walaupun,
mencukupi rukun dan syarat yang ditentukan dalam syariat, maka konsekuensinya
adalah bagaimana hubungan syariatnya seperti hubungan suami istri, nasab
keturunan anaknya, dan warisan, akan berjalan tanpa ada dokumen resmi, hanya
saja pengakuan resmi ini adalah perkara yang lazim untuk membuktikan perkawinan
tatkala melakukan pengaduan kehadapan hukum. dengan demikian perkawinan di
bawah tangan rentan adanya konflik dan ketidak harmonisan serta tidak ada
kemampuan untuk melakukan gugatan dari masing-masaing pihak (suami maupun
istri) manakala di antara mereka terdapat pengingkaran perkawinan.
Maka perkawinan ‘urfi
atau tidak dicatat secara resmi sah secara syari’at karena mencukupi rukun dan
syarat tatkala melakukan akad, akan tetapi tidak diakui secara resmi kalau ada
pertikaian di hadapan hukum dalam permasalahan perkawinan, dan tidak pula
diakui oleh pihak-pihak resmi lainya sebagai sandaran perkawinan, sehingga
setatus anak hasil perkawinan tersebut tidak mendapat perlakuan yang baik dari
segi pemeliharaan anak maupun perlindungan anak dalam kasus perolehan hak-hak
anak dalam keluarga.[33]
Sebagai mana pendapat Dr M Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi
yaitu:”pada perinsipnya anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, namun
ketika kedua orang tua akan melangsungkan perceraian, secara otomatis anak menjadi terlantar, karena kedua atau
salah satu dari kedua orang tuanya tidak bertanggung jawab, maka sang anak ketika akan menuntut orang tuanya bak lahir
maupun batinnya kepada pengadilan tertolak.[34]
dari segi hukum perdata tertolak, karena ketidak jelasan hukum, dan kadang
terjadi ketidak pastian hukum dari anak yang dihasilkan dari pernikahan dibawah
tangan tersebut. meskipun semuan proses pernikahan seperti rukun dan syaratnya
menurut hukum islam adalah syah dan hasil dari pernikahanya itu syah juga
menurut Islam.[35]
Permasalahan yang muncul
kemudian, ketika terjadi putus perkawinan antara kedua belah pihak baik itu
karena kematian, perceraian tuntutan kepengadila akan tertolak, maka secara
otomatis anak yang menjadi korban akibat dari putus perkawinan tersebut, sebab
secara hukum di Indonesia (hukum positif) tidak mendapat legitimasi /legalitas
hukum anak hasil perkawinan di bawah tangan tersebut atau sering disebut nikah
sirri.[36]
Namun berdasarkan keterangan
di atas penulis memilih batasa bahwa nikah sirri secara istilah adalah
pernikahan yang rukun dan syaratnya terpenuhi, namun dilakukan secara rahasia
dan umumnya tanpa dicatat dalam pencatatan badan yang berwenang di suatu
negara.
Dalam bukunya Yusuf ad-
Durawisy bahwa nikah sirri disebut dengan istilah Zawaj Urfi (Pernikahan
Tradisi) terdiri dari dua kata zawaj (Pernikahan) dan Urfi (secara
kultural).[37]
3. Nikah
Sirri Dan Konsekuensi Hukumnya
Apabila dicermati Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut bahwa almarhum Moerdiono selama hidupnya telah
melakukan pernikahan sirri dengan istri keduanya bernama Hj.Aisyah dan dari
istri keduanya itu dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan,
setelah Moerdiono meninggal dunia anak dari istri keduanya yaitu Hj. Aisyah
berkeinginan melegalisasikan statusnya sebagai bagian dari keluarga besar
almarhum Moerdiono[38],
Akan tetapi terjegal oleh
ketentuan perundang-undangan yaitu pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan KHI Pasal 100. yang berbunyi “ anak yang
dilahirkan dari luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan
ibunya dan keluarga ibunya.”
Yang menjadi persoalan dalam
konsekuensi pernikahan sirri/pernikahan dibawah
tanggan sebenarnya adalah bagaimana setatus hukum anak yang dilahirkan
dari poligama dibawah tangan/sirri.
Dalam pemecahan masalah
tentunya dapat diperhatikan dalam ketentuan tentang pembatalan perkawinan.
Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “barang
siapa karena perkawinannya masih terikat dari salah satu kedua belah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang
baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-Undang Tahun 1974, demikian pula ketentuan Pasal 71 Huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam[39]
Menyatakan “Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan
poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
Walaupun demikian ketatnya
aturan yang mengatur perkawinan poligami yang rata-rata dilakukan dengan proses
pernikahan sirri, akan tetapi izin pengadilan dan pencatatan pernikahan subtansinya
berkaitan dengan prosedur dan administrasi tentang Pernikahan.
Dengan pelanggaran terhadap
prosedur dan administrasi ini undang-undang tersebut tidak menyatakan berakibat
subtansi perkawinannya menjadi tidak sah atau menjadi anak di luar perkawinan.
Oleh karena itu pemecahan
masalah agar anak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian agar
mendapatkan status hukum dapat ditempung dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang menyatakan “bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak
ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat”.
Bukti-bukti dalam hal ini
tentunya dikembalikan juga kepada asas umum pembuktian sesuai dengan Pasal 284
Rbg dan 164 HIR[40]
Untuk membuktikan adanya
perkawinan yang sah ditambah dengan bukti lain berupa bukti hasil pemeriksaan
DNA untuk membuktikan bahwa anak tersebut benar-benar dilahirkan dari
suami-istri tersebut.
Solusi ini juga sebenarnya
mengandung konsekuensi apabila seorang anak dilahirkan dari perkawinan
sirri/dibawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan secara tegas,[41]
akan berakibat secara tersirat
pengadilan telah mengakui adanya perkawinan yang menurut undang-undang terdapat
halangan.[42]
4. Pernikahan Sirri Menurut Hukum Islam
Dalam islam perkawinan merupakan ikatan
yang suci dan harus sesuai dengan syari’ah[43]
sehingga perkawinan tersebut dapat di anggap sah menurut agama islam maupun
dalam hukum perundang-undangan di indonesia.
Selain sebagai penyaluran hasrat biologis,
pernikahan juga merupakan satu situasi dimana manusia dapat mencapai nilai
kemanusiaan tertinggi karena telah meletakkan hukum-hukum allah dalam pergaulan
manusia yaitu melakukan hubungan berbeda jenis lakilaki dan perempuan
berdasarkan hukum islam secara benar.
Allah swt menjelaskan dalam al-qur’an” Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An Nissa ayat 4).[44]
Ayat di atas menjelaskan bahwa telah
diciptakan manusia berpasang pasangan dan selanjutnya karena manusia dibekali
dengan naluri mencintai dan menyayangi sesamanya, maka islam memberian jalan
agar dapat manikmati anugrah nikmat allah yang besar itu dan diikat dengan
ikatan yang suci yaitu dengan jalan pernikahan.[45]
Selain menyalurkan hasrat keduanya dan
nalurinya yang fitrah itu, islam juga memberikan tuntunan kepada siapapun yang
siap menikah agar dapat melangsungkan perkawinan[46]
karena dengan perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan melindungi
kehormatan serta memberikan tempat yang benar dalam menyalurkan biologinya.
Sahnya perkawinan dalm islam apabila
terpenuhi hal-hal yang ditentukan menurut ajaran agama islam, yaitu
terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan . berdasarkan hal demikian maka
perkawinan dibawah tangan sah menurut hukum islam sebab terpenuhinya rukun dan
syarat pernikahan, meskipun tidak tercatat oleh pemerintah.
Namun menurut hukum positif di indonesia
perkawinan itu tidak sah, karena disamping telah terpenuhinya syarat dan rukun
pernikahan atau sesuai dengan ajaran islam juga harus tercatat pada catatan
sipil. Hal tersebut dapat dilihat dalam undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1-2 sebagai
berikut:
(1). Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu
(2).Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[47]
5. Status
Anak Hasil Pernikahan Sirri Menurut Hukum Perkawinan di Indonesia
Perlindungan anak dalam Islam mempunyai
posisi yang sangat mulia karena anka dalm islam adalah amanah yang harus dijaga
dan dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga ankak dapat tumbuh dan berkembang
menjadi manusia dewasa yang ssempurna sebagaimana fitrahnya. dalam Islam
perlindungan anak disebut dengan hadannah, yaitu sebagai mana pendapat zakaria
ahmad al-barri, hadannah artinya memelihara dan mendidik anak, menyediakan
makanan, pakaian dan menjaga kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur
seorang anak.[48]
Dengan demikian bahwa perlindungan
mencangkup perlindungan dari segi pemeliharaan , pendidikan, makanan, dan
kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak. sedangkan dalam
undang-undang perlindungan anak, hak anak disebutkan:
- anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
- perlindungan anank adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekeraan dan diskriminasi.[49]
Dalam isl;am anak yang diakui atau anak
yang sah adalah anka dari hasil perkawinan yang sah pula. Dan anak yang
dihasilakan dari hasil perkawinan tersebut mendapatkan hak untuk dididik dan
dirawat yaitu orang tua harus mmenjaga, memimpin dan mengatur segala hak
anak-anak yang belum dapt mennjaga dan mengatur dirinya.[50]
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa anak yang sah adalah anak
dari hasil perkawinan yang sah pula.[51]
Sedangkan anak dari hasil perkawinan dibawah tangan adalah anak atau keturunan
yang dihasilakn dari sebuah perkawinan dimana perkawinan itu tidak diakui oleh
negara, yaitu dengan tidak menghadirkan pembantu pagawai pencatat nikah, P3N )
dalam melangsungkan pernikahan, sehingga pernikahan dibawah tangan tidak tercatat
dengan baik.
Adapun yang dijelaskan oleh abdurrrahman
sebagai berikut:
Adapun anak yang lahir dari luar
pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 100, tidak dari keluarga bapaknya apabila mereka (laki-laki dan perempuan
yang berhubungan) tidak melangsungkan pernikahan.
Untuk asal usul seorang anak (pasal 100)
hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya ayat (1),[52]
bila akta kelahiran atau alat bukti laiannya yang tersebut dalam pasal (1)
tidak ada, maka pemgadilan agama dapat melakukan penetapan tentang asal usul
seorang anak setelah mengadakan memeriksaan dan meneliti berdasarkan
bukti-bukti yang sah.[53]
6. Penetapan Nasab Anak Hasil Perikahan Sirri di
Indonesia
Ikatan perkawinan adalah suatu
ikatan yang sangat kuat antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan. Kekuatan ikatan perkawinan tersebut yang terikat bukan saja hanya
lahiriyyahnya saja, melainkan juga terikat batiniyyahnya antara suami istri itu
dan antara suami istri dengan masing-masing orang tuanya.[54]
Akibat hukum adanya ikatan
pernikahan yang sah menurut hukum, melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bukan saja hanya kepada suami istri tersebut, melainkan juga dengan pihak lain
yaitu adanya hak-hak yang harus diterima terhadap anak-anak yang dilahirkannya.
Hak anak yang paling pertama
yang dilahirkan dari orang tuanya adalah; hak nasab bagi anak, hak mendapatkan
penyusuan, hak mendapatkan pengasuhan, hak memperoleh perwalian, hak menerima
biaya hidup, maupun hak kewarisan Dalam pembahasan tentang nasab anak terdapat
masa kehamilan anak dalam kandungan ibunya batas minimalnya 6 bulan setelah
masa pernikahan, apalagi pada masa sekarang sangatlah mudah dengan kecanggihan
teknologi termasuk dalam bidang ilmu kebidanan yang mempelajari ilmu tentang
embriologi dalam kandungan seorang ibu.[55]
C. Sekilas Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010
Bahwa pada tanggal 20 Desember
1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (Hj. Aisyah
Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki
bernama Drs Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Mochtar Ibrahim,
disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M.
Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat,
uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian
dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan
qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono. Lebih
jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi
dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam
tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kec. yang berwenang sehingga tidak
dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah.
dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki bernama
Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.[56]
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku." Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut menetapkan bahwa:
anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun
Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat
(2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
tersebut karena perkawinan HJ, Aisyah tidak diakui menurut hukum dan
anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono)
dan keluarga ayahnya. para pemohon yang berkedudukan sebagai
perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian
ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada intinya sebagai berikut;
- Bahwa menurut para pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;
- Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam undang-undang perkawinan. norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1 adalah sah dan sesuai konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ;
- Undang undang perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum. akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan tidak sah.[57]
- Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskrimintaif, karena itu menurut para pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[58]
Menurut putusan mahkam,ah konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, menyatakan, bahwa Pasal 43
ayat (1) undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan,
"anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[59]
Bertentangan dengan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun
1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya ; Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang menyatakan, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".[60]
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hokum mempunyai hubungan darah termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".[61]
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, yang mana putusan itu
bersifat abstrak, berdasarkan hal tersebut, menurut penulis bahwa
putusan mahkamah konstitusi tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan
sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan
tidak ada yang bertentangan dengan syari’ah. sehubungan dengan itu,
ketua mahkamah konstitusi Mahfud M.D, mengklarifikasi putusan tersebut dengan
menyatakan: bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar
perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri.[62]
Hubungan perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak bertentangan
dengan nasab, waris, dan wali nikah. hak yang dapat dituntut anak di
luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak
menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena
perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur
dalam Pasal 1365 KUH perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar
janji. intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali
nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan
prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih.[63]
Klarifikasi Mahfud M.D itu
sudah benar, karena putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
tanggal 17 februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica
yang telah menikah dengan Moerdiono sesuai undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan makamah konstitusi
tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah menikah dengan
Moerdiono kasus ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan
dalam kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika
kasus Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi
salah.[64]
Pencatatan secara
administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai
perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang di lakukan oleh yang bersangkutan,
yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dikemudia hari
dapat di buktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta yang otentik,
sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang
timbut dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat di selenggarakan dengan
efektifdan efesien. artinya dengan demikian bukti otentik perkawinan, hak-hak
yang timbul sebagai akibat perkwinan dapat terlindungi dan terlayani dengan
baik, karena tidak memerlukan proses pembukian yang memakan waktu yang lama,
uang, tenaga dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal
usil pada pasal 55 UU 1/1974 yang
mengatur bahwa bila asal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik
maka mengenai hal itu akan ditetrapka dengan putusan pengadilan yang berwenang.[65]
Menimbang bahwa pokok
permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah
mengenai makna hukum (legal meining) farsa yang dilahirkan diluar perkawinan.
untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dajawab pula
permasalahan permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin
seoranga perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa
baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan
terjadinya pembuahan.[66]
Oleh karena itu tidak tepat
dan tidak adil manakala hikum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu
kehamilan karena hubungan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jia hukum membebaskan laki-laki yang
melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan tersebut dari
tanggung jawab sebagai seorang ayah dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan
hak-hak anak tehadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya.[67]
Lebih lebih manakala
berdasarkan perkembangan teknologi yang ada, memungkinkan dapat dibuktikan
bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tersebut.[68]
Akibat hukum dari peritiwa
tersebut kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya
meliputi, ibu anak dan bapak.[69]
Berdasarkan uraian diatas,
hubungan antara anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak dengan semata-mata
karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembutian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinan, anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang
dirugikan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, padahal anak tersebut
tidk berdosa karena kelahirannya diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapat perlakuan yang tidak adil
dan stigma ditengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-hak yang
ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinanya masih di persengketakan.[70]
Menimbah bahwa uraian tersebut
diatas maka Pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga
ibunya’ harus dibaca,”anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau
bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga
ibunya’ tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknoligi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagia ayahnya, sehingga ayat tersebut berbunyi,
“,”anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau bukti lain yang
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya,”[71]
Demikian putusan dalam rapat
musyawarah hakim oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku
Ketua merangkap anggota, Acmad Sodikin, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad
Fadlil Sumardi, Anwar Usman, Hamzah Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim.[72]
[1]
Jimly Asshiddiqie, dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI,
Jakarta, 2002. h. 67
[2] Ibid.,
[3]Jimly,Asshiddiqie,
Op.cit, h. 68
[4] Ibid.,
[5] Ibid.,
5-6
[6] Ibid.,
[7]
Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h. 79
[8] Ibid.,
[9] Ibid,
h. 82
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,h.83
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14]
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009), h. 35-36
[15] Nuansa Aulia, Undang –Undang
Perkawinan., Op.cit, hal 1
[16]
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di
Indonesia studi kritis perkembangan hukum Islam dan fiqh uu no 1 tahun 1974
sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006), h. 38
[17] Ibid.,
h 39.
[18] Ibid.,
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid.,
h. 40
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid.,
h. 41
[25] M. Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi,
Nikah Sirrih, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010), h. 41-42
[26] Ibid
[27] M. Sujadi Dahlan, Fenomena
Nikah Sirri bagaimana kedudukannya menurut agama Islam, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1996), h. 24
[28] Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah
Sirri,Mut’ah dan Kontrak dalam timbangan Al-Qur’an dan Assunnah, (Yakarta:
Darul Haq, 2010), h. 105-107
[29] M.Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi, Nikah
Sirri., Op.cit, h. 41-43
[30] H. M. Anahary MK, Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 25-26
[31] Ibid
[33] Ibid.,
[34] M. Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi,
Nikah Sirri, Op.cit, h. 153
[35] Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Sirri,
Op.cit, h. 108
[36] Ibid.,
[37] Ibid.,
h. 105
[38]
A. Mukti Arto, Diskusi Hukum, Op.cit, h. 22-23
[39] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1999), h. 18
[40] R. Subekti, Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, (Jakarta: Pratnya Pramita, 1996), h. 34
[41] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
PT Intermasa, 2001), h. 27
[42] Ibid.,
[43] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 132
[44] Departemen agama RI, Diponogoro,
Op.cit, h. 245
[45] Abdul Jamali, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996), h. 28-29
[47] Depag, UU Perkawinan, Op.cit, h. 14
[48] Zakaria Ahmad al-Barri anak belum
dewasa dalam hukum islam, terjemah H. agus Salem, ( Jakarta: Pustaka Amani,
2002), h. 39
[49] Ibid.,
h. 16
[50] Undang-Undang Perlindungan Anak
no 23 tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 1
[51] Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasional,(Jakarta: Renika Cipta, 1994), h. 29
[52] Abdul Ghani Abdullah, Pengantar
Kompilasi Hukum Islam dan tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani
Pers, 1994), h. 15-16
[53] Abdurrahman, kompilasi hukum islam di
indonesia, (Jakarta: Akademia Persindo, 1992), h. 137
[54] Martian
Prodjohamidiyono, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan, (Surabaya:
Pradia Pramitha, 2004), h. 25
[55] A. Zuhdi, Muhdor, Memahami Hukum
Perkawinan, (Bandung: Al- Bayan, 1994), h. 25
[56] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h. 1
[57] Ibid.,
h. 5
[58] Ibid.,
h. 4-6
[59] Departemen Agama RI Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta:
Depag, 2004), h. 33-34
[60] Ibid
[61] Putusan MK, Op.cit, h. 35
[62]
Mahkamah Konstitusi, Sumber:hukumonline.com Sumber :http:// hukum Indonesia.com, diakses rabu 24 Oktober 2012.
[64] 23 Buah Simalakama Putusan MK
dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012, http;/www.klarifikasi
mk, dinduh rabu tanggal 24 oktober 2012
[65] Ibid.,
[66] Ibid.,
[67] Ibid.,
h.13
[68] Ibid.,
[69] Ibid.,
[70] Ibid.,
[71] Ibid.,
h.53
[72]
Putusan MK., Op.cit, h 35-37.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang
menjadikan data pustaka, jurnal-jurnal, buku-buku, undang-undang yang berkaitan
dengan penelitian dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
terhadap status anak hasil pernikahan sirri , sebagai sumber data utamanya yang
bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu ilmu pengetahuan.
Desain penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif,
yaitu sebuah penelitian yang berusaha mengungkap data secara alamiah,
penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel tunggal
melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lain,
variabel dapat di kelompokan menjadi variabel bebas (yang mempengaruhi) dan
variabel terikat (variabel terpengaruh). [1]
Metode penelitian pada dasarnya merupakan
cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan
yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. cara ilmiah berarti berarti
kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasoinal,
empiris, dan sistematis. rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan
dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia.
empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia,
sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang
digunakan.sistematis, proses yang dugunakan dalam penelitian ini menggunakan
langkah-langkah ketentuan yang bersifat logis.[2]
Sedangkan menurut Suharsini Arikunto, ada
tiga persyaratan penting dalam mengadakan kegiatan penelitian yaitu: sistematis,
dilakukan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks
hingga tercapai tujuan secara efektif dan efisien. Berencana, dilaksanakan
dengan adanya ungsur dipikirkan langkah-langkah pelaksanaannya. Mengikuti
konsep ilmiah, mengikuti cara-cara yang sudah ditentukan, yaitu prinsip
yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif, yaitu: ’’ingin menjawab pertanyaan melalui analisis
terhadap hubungan antar variabel”. sedangkan deskriftif kualilatif adalah:
”penelitian yang menentukan danmenafsirkan data yang berkenaan dengan fakta,
variabel dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan
apa adanya, bentuk yang diamati bisa berupa artikel-artikel buku, putusan
mahkamah konstitusi yang mengejala saat sekarang”. berdasarkan kutipan diatas
maka penelitian ini untuk mengetahui dampak putusan mahkamah konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.
B.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini” adalah,
sumber data sekunder[3]
,yaitu :”data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan”, yaitu diperoleh dengan
melakukan studi literatur dan studi dokumen. dalam penelitian ini, literatur
yang digunakan adalah buku, jurnal, artikel, majalah baik cetak maupun
elektroik, undang-undang nomor 1 tahun 1974, undang-undang dasar 1945,
kompilasi hukum islam dan perundang-undangn di indonesia, yang terkait dengan
penelitian ini khususnya tentang pernikahan sirri atau dampak putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.
C. Teknik
Pengumpulan Data
Dalam melakukan proses pengumpulan data,
peneliti akan menggunakan teknik dokumentasi dalam mengumpulkan data yaitu:
a. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk memperoleh
data sekunder, yakni dengan mengumpulkan dokumen-dokumen dan literatur
buku-buku, undang-undang, jurnal penelitian
yang semuanya memiliki relevansi
dengan penelitian ini, yaitu dampak putusan mahkamah konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.
D. Teknik Analisis Data
Data-data maupun
literatur buku-buku yang bersifat kualitatif (kurang terpola).[4]
setelah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi-analisis,
yaitu suatu metode dalam meneliti suatu obyek, situasi serta kondisi, dan
sistem pemikiran.[5] Tujuan
dari analisis ini adalah untuk memuat deskripsi, gambaran atau likisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki. analisis data digunakan dengan menggunakan
langkah-langkah diantaranya:
Pertama, pengumpulan data-data artikel, buku-buku,
undang-undang, putusan mahkamah konstitusi, maupun yang lainya yaitu kegiatan
untuk menemuan data menghimpun sumber-sumber informasi yang relevan dengan
penelitian dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.
Kedua, interprestasi data, yaitu tahap penyusunan
fakta dalam kerangka logis dan harmonis, sehingga menjadi kesatuan yang utuh.
Ketiga, penulisan, yaitu tahap ketiga dengan sistematis,
logis, dan konsisten. Secara teoritis analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah difahami, dan temuanya
dapat di informasikan kepada orang lain.[6]
E.
Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis ingin
mendeskripsikan tentang Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/puu-viii/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri, dalam pendekatan
ini penulis menggunakan pendekatan secara Yuridis normatif yaitu mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
mahkamah konstitusi nomor 46/puu-viii/2010 serta norma-norma hukum yang berlaku
di masyarakat.[7]
Selain itu juga pendekatan ini digunakan
untuk menjelaskan kalimat yang ada, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari
permasalahannya dengan menggunakan pendekatan berfikir deduktif.[8]
Pendekatan yang dapat di ambil antara
lain, pertama, studi deskriptif yaitu mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya mengenai factor-faktor yang merupakan pendukung terhadap
penelitian, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel yang sesuai dengan penelitian
ini. kedua, studi ekperimen, yaitu dengan sengaja mengusahakan timbulnya
variable-variabel (objek penelitian), dan selanjutnya di control
untuk di lihat pengaruhnya.[9]
[1] M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian
Agama Pndekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 35-36
[2] Sugiyono, Metode Penelitian
Kuantitatif-Kualitatif dan R & D, (Bandung: CV Alfabeta, 2002), h. 2
[3] Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian
Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 12
[4] Ibid.,
h. 7
[5] Ibid.,
h. 25
[6] Sugiyono, Metode Penelitian., Op.cit,
h. 243-244
[7] Zainudin Ali, Metodologi Penelitian
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 11
[8] Ibid.,
[9] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Reneka Cipta, 2002), h.
85-89
BAB IV
PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN
A.
Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terhadap
Status Anak Hasil Pernikahan Sirri
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia melalui Putusan Nomor. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 telah
melakukan terobosan hukum dengan memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang
menyatakan; “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya’[1]
dan dalam kompilasi hukum islam pasal 100
yang berbunyi ‘anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.[2]bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 28B Ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pasal 28B ayat
(2) berbunyi” setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”[3]
Dan dalam pasal 28D UUD 1945 berbunyi”setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.”[4]
Karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan dengan ayahnya, sehingga melalui
putusan mahkamah konstitusi Nomor. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan
tersebut berbunyi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.”[5]
Adapun Alasan hukum yang melatar belakangi (rechtfinding)
tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat
perlindungan hukum. Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang
mendorong adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
disengketakan.[6]
Keputusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dengan terobosan
hukumnya tersebut membuka titik terang hubungan antara anak yang didilahirkan
dari luar perkawinan dengan bapaknya. Hubungan darah antara anak dan ayah dalam
arti biologis bisa dikukuhkan berdasarkan proses hukum.
Membuka kemungkinan
hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus bertanggung jawab terhadap anak luar
nikah. Subjek hukum tersebut akan bertanggung jawab sebagai bapak biologis dan
bapak hukumnya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum, pengakuan
terhadap anak di luar perkawinan dapat dilakukan dengan suatu akta ontentik
bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan
perkawinan. (KUHP Perdata pasal 281).[7]
Selein itu juga menurut
penulis bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan
terhadap anak yang dilahirkan dari luar perkawin oleh ayah biologisnya
dilakukan dengan cara, Pengakuan oleh sang ayah biologis dan Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak nikah
sirri tersebut.
Sehingga keputusan
mahkamah konstitusi tersebut menguatkan
kedudukan ibu atas anak nikah sirri/luar kawin dalam memintakan pengakuan
terhadap ayah biologis dari hasil pernikahan sirri.
Jika terdapat kemungkinan yang
terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan sukarela maka anak hasil
pernikahan sirri tetap mendapatkan pengakuan perdata paska putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 jika mampu membuktikan secara hukum bahwa ia
adalah ayah biologisnya. Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya. Pada
saat itu juga akan timbul hubungan perdata dengan ayah biologis dan keluarganya
dengan anak luar kawin atau hasil pernikahan sirri yang diakui.
Adanya pengakuan akan
melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan Pasal 280 KUHPer yaitu
“Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata
antara anak itu dan bapak atau ibunya.”[8]
Namun selain berita untuk
pengakuan anak luar perkawinan. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan
mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tidak ada disebutkan mengenai akta
kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta
kelahiran anak luar perkawinan, berimplikasi status hukum dan pembuktian asal
usul anak luar perkawinan.
Perlindungan anak dalam Islam
mempunyai posisi yang sangat mulia karena anak dalm Islam adalah amanah yang
harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang menjadi manusia dewasa yang sempurna sebagaimana fitrahnya.
Dalam Islam perlindungan anak
disebut dengan hadannah, yaitu sebagai mana pendapat Zakaria Ahmad Al-Barri,
hadannah artinya memelihara dan mendidik anak, menyediakan makanan, pakaian dan
menjaga kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak.[9]
Dengan demikian bahwa
perlindungan mencakup perlindungan dari segi pemeliharaan, pendidikan, makanan,
dan kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak. sedangkan dalam
undang-undang perlindungan anak, hak anak disebutkan:[10]
- anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
- perlindungan anank adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekeraan dan diskriminasi.[11]
Dalam Islam anak yang diakui atau anak
yang sah adalah anak dari hasil perkawinan yang sah pula. Dan anak yang dihasilkan
dari hasil perkawinan tersebut mendapatkan hak untuk dididik dan dirawat yaitu
orang tua harus menjaga, memimpin dan mengatur segala hak anak-anak yang belum
dapat menjaga dan mengatur dirinya.[12]
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa anak yang sah adalah anak
dari hasil perkawinan yang sah pula.[13] Sedangkan anak dari hasil perkawinan
dibawah tangan adalah anak atau keturunan yang dihasilakn dari sebuah
perkawinan dimana perkawinan itu tidak diakui oleh negara, yaitu dengan tidak
menghadirkan pembantu Pagawai Pencatat Nikah, (P3N ) dalam melangsungkan
pernikahan, sehingga pernikahan dibawah tangan tidak tercatat dengan baik.[14]
Untuk asal usul seorang anak Pasal 100
yaitu “anak yang dilahirkan dari hasil hhubungan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya” hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya ayat (1),[15] bila akta kelahiran atau alat bukti
Laiannya yang tersebut dalam pasal (1) tidak ada, maka pengadilan agama dapat
melakukan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan
memeriksaan dan meneliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.[16]
Akta
kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal-usul anak
hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh
pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No.
1 tahun 1974 tahun perkawinan. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.”[17]
Akta
kelahiran anak hasil pernikahan sirri hanya tercantum nama ibunya hal ini jelas
karena pada saat pembuatan akta kelahiran anak masih sebagai anak luar kawin
yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya saja.
Dalam
akta kelahiran anak luar kawin akan terdapat redaksi dilahirkannya seorang anak
dengan nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal
kelahiran ibu. hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf
a Pp No. 37 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Uu No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.[18]
Anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan
darah (incest/sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini diatur
dalam Pasal 283 KUHPer. Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari
hubungan tanpa ikatan perkawinan yang berarti kedua tidak terikat perkawinan.
Anak
sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan sedarah sedangkan anak zina adalah
anak yang lahir dari hubungan salah satu atau keduanya memiliki ikatan
perkawinan lain, tanpa mengurangi ketentuan pasal 273 mengenai anak penodaan
darah.” Anak yang dilahirkan dari orang tua, yang tanpa memperoleh dispensasi
dari pemerintah tidak boleh kawin satu sama lainnya, tidak dapat disahkan
selain dengan cara mengakui anak itu dalam akte kelahiran.[19]
Dengan
demikian anak luar perkawinan dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan
dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang
kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi.
Anak luar perkawinan yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah
biologisnya Pasal 280 KUHPer.[20]
Hubungan
antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila
anak itu overspelig atau bloedsrhenning anak zinah. Ayah
biologis dan anak luar perkawinan hanya terjadi hubungan perdata jika ada
pengakuan yang diatur dalam Pasal 280 KUHPer. Tanpa pengakuan dari ayah
biologis dan/atau ibunya, pada dasarnya anak itu bukan anak siapa-siapa dan
tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.[21]
Hubungan
hukum orangtua dan anak yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah.
hubungan hukum anak luar perkawinan dengan ayah yang mengakuinya adalah
hubungan darah. hubungan darah dalam hal ini dipahami adalah pengakuan secara
yuridis tidak hanya sekedar pengakuan biologis saja.
Jika
berbicara soal kedudukan anak luar perkawinan di dalam hukum faktanya lebih
rendah dibanding dengan anak sah. Bagian waris yang diterima oleh anak luar
kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. untuk dapat menjadi seorang
ahli warisnya KUHPer telah menetapkan berdasarkan Pasal 832 KUHPer yang
menyatakan”menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan
suami atau istri yang hidup terlama.
Bila
keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua
harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang
yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.[22]
harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. terdapat juga
kemungkinan dengan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPer
yaitu” segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan
para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum
mengadakan ketetapan yang sah.[23]
Sedangkan
berdasarkan Pasal 836 KUHPer, ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris
meninggal dunia. Dengan disimpangi oleh Pasal 2 KUHPer yang menyebutkan bahwa
”anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.”[24]
Dalam
Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing-masing ahli waris
harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar perkawinan. kedudukan anak
pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar perkawinan yang diakui
secara sah maupun tidak.KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah
dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan
dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. maka anak luar perkawinan
adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.[25]
Pengakuan
terhadap anak luar perkawinan, haruslah dilakukan dengan sukarela yaitu
pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan
undang-undang. sesuai Pasal 281 KUHPer untuk dapat mengakui seorang anak luar
perkawinan, ”bapak atau ibunya dan/atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik
harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan
terhadap anak luar kawin tersebut”. Pengakuan dapat pula dilakukan pada saat
perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sesuai
Pasal 281 KUHPer.[26]
Dengan
adanya pengakuan ini akan berakibat anak luar kawin menjadi seorang anak sah.
Melalui akta otentik seperti akta notaris yang diatur dalam Pasal 281 ayat (1)
KUHPer dapat juga dilakukan untuk pengakuan anak luar kawin.[27]
Serta
cara pengakuan terakhir dapat dilakukan dengan pembuatan akta oleh pegawai
catatan sipil untuk melakukan pendaftaran kelahiran catatan sipil. Pengakuan
paksaan juga bisa dilakukan atas anak luar perkawinan.
Dilakukan
oleh anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan mengajukan gugatan terhadap
bapak atau ibunya kepada pengadilan negeri. Supaya anak luar kawin dalam arti
sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 287-289 KUHPer.[28] Dengan syarat anak luar kawin yang dapat diakui
adalah anak luar perkawinan/nikah sirri/dibawah tangan yang terlahir dari ibu
dan bapaknya yang tidak terikat perkawinan yang sah serta tidak tergolong anak
zina atau anak sumbang.[29]
Pernikahan adalah
satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum
kenegaraan maupun hukum agama. pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu
bervariasi bentuknya. mulai dari perkawinan lewat kantor urusan agama (KUA),
perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat,
yaitu kawin sirri. perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan
berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah
sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat
istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang
beragama Islam, kantor catatan sipil bagi non-Islam). Istilah sirri berasal
dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri, menurut arti
katanya, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
atau rahasia.[30] Kawin sirri tidak disaksikan orang banyak dan
tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. kawin itu dianggap sah
menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.[31]
Akibat lebih jauh
dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan ataupun
warisan dari ayahnya.[32]
Anak yang lahir di
luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya
mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan
kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak
alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap
mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum Islam. Perkawinan sirri tidak
dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan
si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi
wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan
anak perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis
kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang
bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai
wali.[33]
Selain nikah sirri
ada pula perkawinan secara biologis atau disebut zina. zina juga mengakibatkan
akibat hukum yaitu munculnya anak luar kawin. Nama penyanyi Machica Mochtar
mungkin akan dikenang sebagai orang yang membawa perubahan pada UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selama 38 tahun
berlaku, diwarnai suara pro dan kontra, UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan hampir nyaris tak
tersentuh. Sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010,
anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah sirri status hukumnya sama dengan
anak luar kawin hasil zina yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal
43 ayat (1) uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan).[34]
Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir dari kawin sirri dan juga zina,
secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. hal tersebut
antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.
Dalam akta kelahiran anak yang
lahir dari perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak
bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan
tanggal kelahiran ibu.[35]
Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara
hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari ayah
biologisnya. akan tetapi, kemudian mahkamah konstitusi melalui putusan mahkamah
konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU
perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum
dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.[36]
Anak luar perkawinan yang
diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang
diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 yaitu yang berbunyi, ”dengan
pengakuan anak di luar perkawinan terlahirlah hubungan perdata antara anak itu
dan kepada ibunya dan bapaknya.[37] Pasal 863 KUHPerdata.[38]
anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam
arti sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga)
kelompok, yaitu
- anak luar kawin
- anak zina
- anak sumbang,
Sesuai dengan penyebutan yang
diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 dan 283 KUHPerdata (tentang
anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai
dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.[39]
Pembagian seperti tersebut
dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain atau sendiri-sendiri atas status
anak-anak seperti tersebut di atas. sekalipun anak zina dan anak sumbang
sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi
kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat
diketahui anak luar perkawinan menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak
sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.[40]
Perbedaan antara anak luar
perkawinan dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang
menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya
(maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar
nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan
mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. anak zina adalah anak-anak yang
dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang
lain. adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan
ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi Pasal 30- 31
KUHPerdata.[41]
Dengan demikian anak luar
kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat
perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi,
anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya Pasal 280
KUHPerdata.
Kedudukan anak diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal
43. masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak
bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak
terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut.
Untuk mengetahui siapa ayah
dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya. [42]
Dengan pihak bapak, anak
tidaklah demikian. anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang
telah membenihkannya.[43]
Menurut kitab undang-undang
hukum perdata, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan. yang
dimaksudkan dengan “keturunan” disini adalah hubungan darah antara bapak, ibu
dan anak-anaknya. jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis.
anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang
pekawinan adalah anak-anak sah.[44]
Sedangkan anak-anak lainnya, yakni anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak
terikat dengan perkawinan, dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah
juga sering disebut anak anak alami atau jadi terhadap anak yang lahir di luar
nikah terdapat hubungan biologis hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan
biologis dengan ayahnya.[45]
Berdasarkan Pasal 272
KUHPerdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas
dan sempit. anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang
dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit,
artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang, anak luar kawin dalam arti
sempit ini yang dapat diakui. sedangkan dalam Islam anak luar kawin disebut
sebagai anak zina.
Anak zina adalah anak yang
lahir dari suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak
terikat dalam nikah yan sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah
dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain. Meskipun anak zina
itu mempunyai status hukum yang sama dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak
sah, namun perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya
dari awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak
li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh
suaminya. Anak zina itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang
menyebabkan ia lahir.[46]
Menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam Pasal 42 anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. sedangkan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, merupakan anak luar perkawinan dan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya Pasal 43
undang-undang perkawinan. artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan
ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan.[47]
Dalam undang-undang perkawinan
Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan
diatur dalam peraturan pemerintah. akan tetapi sampai saat ini peraturan
pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan pemerintah
No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut
tidak mengatur mengenai status anak tersebut.
Anak luar kawin tersebut tidak
dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik
secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. sehingga secara yuridis formal
ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis
anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung
secara manusiawi bukan secara hukum.[48]
Dengan adanya ketentuan dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974
dalam pasal 43 yang menyatakan bahwa anak luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan
di luar perkawinan tersebut.
Maka menurut penulis secara hukum anak tersebut berada dalam
asuhan dan pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara
dan mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu
dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak.
Undang-undang perkawinan tidak
mengenal anak luar kawin terhadap ibunya, oleh karena anak yang lahir di luar
perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya, asas mana didasarkan pada
asas yang terdapat dalam hukum adat.
Memang bagaimanapun juga
lahirnya anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu
yang melahirkannya. tidak mungkin anak lahir tanpa ibu. anak itu mempunyai
hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga dari ibunya itu,
tetapi tidak ada hubungan perdata dengan laki-laki yang membenihkannya.[49]
Pengaturan mengenai kedudukan
anak luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974
selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan hukum dan
cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. putusan
mahkamah knstitusi ini juga mencerminkan prinsip persamaan di hadapan hukum
(equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.[50]
1
Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Hasil Pernikahan Sirri
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/Puu-Viii/2010
Pasca putusan
mahkamah konstitusi anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, yaitu;
‘pernikahan yang sah menurut agama namun tidak tercatatkan dalam kantor urusan
agama atau negara yang berwenang di suatau negara.[51]
seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan mahkamah
konstitusi telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai
adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan
administratif negara.
Akan tetapi, dalam
prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan
kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan
sebagaimana mestinya.
Si anak dalam akta
kelahirannya tidak dicantumkan nama bapaknya sehingga muncul stigma negatif di
masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan
sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki, terutama,
seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hak-hak anak yang
lahir dalam perkawinan tersebut tidak di penuhi secara baik.[52]
Proses pengakuan
anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan “pengakuan
sukarela” dari laki laki yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap proses
pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa
maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari
si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan
pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan
perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif
menurut aturan administrasi negara.[53]
Putusan mahkamah
konstitusi ini berimbas juga pada anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina.
terhadap kelompok anak luar perkawinan ini maka pemberlakuan aturan hukum harus
dilakukan secara cermat, sesuai dengan konteks hukum yang berlaku. Menurut
analisis Penulis Bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut
semata-mata dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang tidak berdosa,
karena itu ayah biologisnya tidak bisa melepaskan diri dari tanggung
jawab keperdataan atas anak luar kawin. Karena itu nilai-nilai
perkawinan yang suci dan luhur harus di junjung tinggi sebab dengan melakukan
hubungan diluar nikah, ayah biologisnya tetap tidak bisa melepaskan
tanggung jawab keperdataannya atas anak yang dilahirkannya.
1
Status
Anak Yang Sah Dalam
Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pembahasan anak sah ditinjau dari
undang-undang dapat dilihat dari beberapa ketentuan, antara lain Pasal
28B ayat 1 undang-undang dasar tahun 1945 berbunyi: Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[54]
kata-kata melanjutkan keturunan adapun pengertian pasti terjemahan
konkritnya adalah anak. yakni kehadirannya melalui pertemuan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya
harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan
Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi,
“anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.”[55]
Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan
uji materiil oleh mahkamah konstitusi oleh karena itu keberadaannya
masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut
putusan mahkamah konstitusi memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa
anak yang lahir dari suatu kehamilan karena lembaga seksual di luar
perkawinan, hanya memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar
tetapi tidak dapat melepaskan diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan
Pasal 42 ayat 1 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974.[56]
Putusan putusan mahkamah konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan
pasal-pasal tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak
dapat dikatakan anak hasil perzinahan, karena anak hasil perzinahan
bertentangan dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu juga jika yang
dimaksudkan oleh undang-undang adalah “zina“ maka bahasannya jelas yaitu
zina, bukan luar perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1)
undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berbunyi “Seorang suami dapat
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan antara ovum dan
spermatozoa baik berdasarkan oleh isterinya, bilamana
ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
dari perzinaan tersebut. “ Pasal itu jelas membedakan antara zina dengan
luar perkawinan, Oleh karena itu menurut penulis tidak pada tempatnya
jika kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil
perzinahan, karena sesungguhnya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
tercatatkan sah menurut agama.[57]
1
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010
Terhadap Hubungan Keperdataan, Nafkah, Perwalian, Warisan, dan
Nasab Anak Hasil Pernikahan Sirri
a. Nafkah dan Perwalian
Pasca putusan mahkamah konstitusi nomor
46/ PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012 dapat diprediksi bahwa akan banyak
pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan agama, atau ke pengadilan negeri,
dalam kaitan dengan gugatan atau permohonan hak-hak keperdataan anak luar
kawin. terutama menyangkut masalah Itsbat Nikah (bagi yang telah kawin sirri),
nafkah anak, waris dan lain sebagainya, jumhur ulama dari kalangan mazhab
hanafi, syafi’i, hambali, memandang bahwa pernikahan sirri ini sah, namun di
makhruhkan.[58]
Berkaitan dengan nafkah/biaya penghidupan
anak, tidak diwujudkan dalam bentuk nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam,
melainkan dengan bentuk kewajiban berupa penghukuman (ta'zir) terhadap ayah
biologisnya untuk membayar sejumlah uang/harta guna keperluan biaya hidup anak
yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris
berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah
biologisnya. Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 53 berbunyi ”wanita yang
hamil di luar kawin dibolehkan melakukan perkawinan dengan lelaki yang
menghamilinya, dan bagi anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak
digolongkan sebagai anak zina/ anak di luar perkawinan, meski dilakukan hingga
melahirkannya seorang anak dilakukan sebelum perkawinan dilakukan.[59]
Dalam perspektif hukum perdata, yaitu akad
yang membolehkan terjadinya persetubuhan dengan seorang wanita atau melakukan wat’i dan berkumpul selama
wanita itu bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
persusuan.[60]
Anak yang lahir di luar kawin atau
dihasilkan dari hubungan antara seorang anak laki laki dan seorang perempuan
yang tidak terikat perkawinan, serta keduanya tidak terikat perkawinan pula
dengan siapapun dan tidak ada larangan bagi mereka untuk kawin, maka anak-anak
yang lahir dari hubungan tersebut dapat menjadi anak yang sah melalui pengakuan
dari Bapaknya (Pasal 280 KUHPerdata). Sedangkan pengakuan sukarela dapat
dilakukan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata. yaitu:[61]
Begitu pula halnya dengan kantor catatan
sipil yang akan banyak menerima dan menangani permohonan akta kelahiran,
termasuk instansi terkait seperti kantor kelurahan, maupun kantor urusan agama
dalam hal adminsitrasi perkawinan. Untuk itu, peran notaris dalam pembuatan
akta terkait harus mendapat penyesuaian. Mengingat putusan mahkamah konstitusi
dalam peraturan perundang-undangan di tingkat pelaksana. Menurut Penulis
Koridor yang harus menjadi pegangan dalam melihat konteks anak luar perkawinan
ini adalah, bagaiamana memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan hak
konstitusional anak dalam tumbuh-kembangnya menjadi manusia dewasa.
Karena bagaimanapun juga, anak adalah
harapan bangsa, baik-buruknya kualitas generasi penerus bergantung kepada,
bagaimana sebuah bangsa/negara memperlakukan anak-anaknya dan menjaga
lingkungannya dalam menggapai masa depan.[62]
Dengan hadirnya berita di Republika
tentang dikabulkannya permohonan uji materiil dari Aisyah Muhtar alias Macicha
Muhtar terhadap UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam website
Republika.co.id edisi 20 februari 2012, dari cuplikan berita itu disebutkan
anak yang lahir diluar nikah sepanjang secara ilmu pengetahuan, teknologi dan
sesuai alat bukti menurut hukum dapat dibenarkan maka dapat di kabulkan bahwa
anak dimaksud memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan ayah biologis dan
keluarga ayah biologis anak.[63]
Dampak putusan Mahkamah Konstitusi adalah erga
omnes yaitu: (mengikat untuk seluruh bangsa) sehingga wajar apa bila dari
putusan yang masih dinilai baru timbul gejolak dalam pemikiran bangsa,
mengingat di Indonesia terdapat beberapa Agama yang di akui secara konstitusi,
sedangkan dari masing-masing agama itu pula memiliki karakteristik dan doktrin
yang berlainan.[64]
Perjuangan Aisah Muhtar alias Macica
Muhtar dalam rangka melindungi kepentingan anaknya (buah cinta dari Moerdiono)
dalam materi judial review tersebut adalah mempermasalahkan pernikahan
sirrinya dengan Murdiono yang tidak tercatat di KUA karena ternyata nikah
sirrinya berupa poligami yang tidak melalui izin pengadilan agama bahkan sampai
memiliki anak bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Pemahaman selanjutnya menurut
pemohon karena pernikahan yang tidak tercatat itulah menganggap anaknya lahir
diluar nikah sebagaimana yang dimaksud pasal 43 ayat(1) UU no.1 tahun 1974
tentang perkawinan ”anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[65]
Memperhatikan pertimbangan dan putusan
mahkamah konstitusi tentang pencatatan adalah hal penting sehingga juga
diperlukan adanya tertib pencatatan itu. Dari putusan mahkamah konstitusi
halaman 33 tentang pencatatan adalah bukan merupakan faktor yang menentukan
syahnya perkawinan, pencatatan hanya merupakan kewajiban administratif
pencatatan, sehingga dapat ditarik pemahaman dari inti permohonan a quo adalah
hanya terbatas pada anak yang lahir dalam perkawinan syah menurut materiil
agama tetapi tidak dicatatkan. untuk pasal 43 ayat(1) menjadi dikabulkan dengan
penambahan kalimat: serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan /atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah,termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.[66]
Memperhatikan dari alur masalah,
pembuktian, dan beberapa pendapat yang dipermasalahkan adalah anak yang lahir
dari pernikahyan sirri bukan hasil perzinahan, sedangkan dalam kaidah
pemeriksaan perdata hakim terikat dengan dalil gugatan dan tidak boleh
menyimpang dan azas hukum (secundum allegata iudicare).[67]
Maka menurut Penulis maksud pasal 43 ayat
(1) yang sudah di tambahkan oleh mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
tersebut adalah harus difahami terhadap anak yang memang lahir dari perkawinan
sirri syah secara matiriil dengan dibuktikan melalui ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
Apabila pemahaman kita semua sama seperti itu
menurut penulis tidak akan bertabrakan dengan norma, kesusilaan, keadilan dan
kepatutan. adapun terhadap anak yang memang lahir dari hasil perzinahan secara
sosial ayah biologisnya tetap bertanggung jawab akan tetapi terhadap nasab
untuk kepentingan hukum apalagi menyangkut kepentingan agama seperti perwalian
maka sudah tidak bisa menjadi wali namun di gantikan dengan wali hakim, jika
pernikahannya tidak sah maka status walipun tidak sah.
Sedangkan Menurut mazhab syafi’i wali adalah
salah satu syarat untuk sahnya pernikahan, yang mana tidak ada wali maka sama
saja tidak ada pernikahan.[68]
b. Waris Dan Nasab Anak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari Tahun 2012 tidak membahas masalah
kewarisan dan nasab. Namun melalui putusan tersebut, mahkamah konstitusi telah
membuka jalan bagi timbulnya hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan.
Berkaitan dengan kewarisan, tidak bisa
diwujudkan dalam bentuk konsep waris dalam Islam, tapi dapat diwujudkan dalam
bentuk lain, misalnya dengan konsep wasiat wajibah. Begitu pula dengan
nafkah/biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam bentuk nafkah anak
sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban berupa
penghukuman (ta'zir) terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah
uang/harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa.
Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan
waris berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan
pada ayah biologisnya. dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 53 berbunyi
”wanita yang hamil di luar kawin dibolehkan melakukan perkawinan dengan lelaki
yang menghamilinya, dan bagi anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak
digolongkan sebagai anak zina/ anak di luar perkawinan, meski dilakukan hingga
melahirkannya seorang anak dilakukan sebelum perkawinan dilakukan.[69]
Dalam perspektif hukum perdata, yaitu akad
yang membolehkan terjadinya persetubuhan dengan seorang wanita atau melakukan wat’i dan berkumpul selama
wanita itu bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
persusuan.[70]
Anak yang lahir di luar kawin atau
dihasilkan dari hubungan antara seorang anak laki laki dan seorang perempuan
yang tidak terikat perkawinan, serta keduanya tidak terikat perkawinan pula dengan
siapapun dan tidak ada larangan bagi mereka untuk kawin, maka anak-anak yang
lahir dari hubungan tersebut dapat menjadi anak yang sah melalui pengakuan dari
Bapaknya (Pasal 280 KUHPerdata). pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara
yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata. yaitu:[71]
1) Kedua orang tua sang anak menghadap
pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin
tersebut, agar dalam akta kelahiran sang anak dapat dimuat nama kedua orang
tuanya;[72]
2) Pengakuan kedua orang tua tersebut juga
dapat dilakukan ketika perkawinan kedua orang tuanya berlangsung, untuk
kemudian dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat
(2) jo. Pasal 272 KUHPerdata;[73]
3) Pengakuan
kedua orang tua juga dapat dilakukan dalam akta otentik seperti akta notaris
sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata;
Dengan
sahnya kedudukan anak luar perkawinan dalam perspektif hukum perdata di atas,
maka menurut analisis Penulis anak yang semula tidak memiliki hak waris,
menjadi memiliki hak untuk mendapatkan waris dari orang tuanya.
Mengenai
masalah kewarisan di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur secara
spesifik mengenai hal tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU No.1
Tahun 1974 yang mengatakan: “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan
berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab
undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek), ordonansi perkawinan Indonesia
kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), peraturan
perkawinan campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh setelah diatur
dalam undang-undang ini, dinyatkan tidak berlaku”.[74] Ketentuan dalam KUHPerdata masih dapat diterapkan karena belum
ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya.[75]
Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia
memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari
ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. namun
pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan
tionghoa yang diatur dalam KUHPerdata. dalam KUHPerdata hak waris anak luar
kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli waris
anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin
tersebut. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut
harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya.[76]
Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari perhubungan
orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu dari mereka atau
kedua-duanya berada di dalam perkawinan dengan orang lain.
B. Dampak Positif Dan Negatif Serta Pro Kontra Status Anak Hasil Pernikahan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010
1. Dampak Positif
Dampak Positif Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi "anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, "anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".[77]
Apabila dianalisis, maka
logika hukumnya putusan mahkamah konstitusi ini menimbulkan konsekuensi adanya
hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan
kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk
nafkah, waris dan lain sebagainya.
Hal ini tentunya berlaku
apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar
anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai
ayah biologisnya tersebut.
Dalam hal ini terbuka
kesempatan bagi para anak diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan
lain sebagainya.
Dampak positif putusan
mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terbuka kesempatan bagi para anak
diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. dampak
negatifnya putusan putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai
melanggar ajaran Islam dan tatanan hukum Islam.
Hukum Islam menyatakan bahwa,
status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan
anak zina dan anak li’an.
2. Dampak Negatif
Dampak Negatifnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan
tatanan hukum islam. hukum Islam menyatakan bahwa, status anak diluar nikah
dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an,(suami nenuduh istri
berbuat zina) oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:[78]
a) Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya.
Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib
memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi
hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
b) Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya,
karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
c) Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak
diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan
sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak
biologisnya.[79]
Perbedaan perlindungan hukum antara anak
dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan
dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina
tidak memiliki hubungan keperdataan dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.[80]
Dampak negatif lainnya hadir dalam segi
teknis dengan adanya putusan mahkamah konstitusi ini, maka keadaan itu semua
berubah. diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah
berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. hal ini
berakibat pula adanya hubungan waris. Jadi, si anak berhak atas warisan ayahnya
tersebut. ini tentu saja merepotkan pembagian warisan yang dilakukan oleh
notaris. kondisi tersebut menimbulkan masalah apabila warisan sudah terlanjur
dibagikan kepada anak yang sah dari perkawinan. lalu tiba-tiba muncul anak luar
kawin yang mengklaim dan membawa bukti bahwa dia juga anak biologis dari
pewaris.
Selain itu berdampak kepada jual beli harta
warisan, misalnya berupa tanah. kekhawatiran lain misalnya suatu waktu dalam
pembuatan akta Jual Beli, tetapi tiba-tiba datang anak luar kawin yang menuntut
karena merasa mempunyai hak waris.[81]
Dampak negatif dengan adanya putusan
mahkamah konstitusi ini, maka keadaan itu semua berubah dan merepotkan
pembagian warisan yang dilakukan oleh notaris. sebaiknya mahkamah konstitusi
hanya mengabulkan permohonan pemberian status anak luar kawin dari pernikahan
siri bukan anak dari hasil zina. karena tentunya hal ini membawa dampak yang
bukan hanya teknis tetapi ideologis dan akidah umat islam.[82]
3. Pro Kontra
Mahkamah konstitusi dalam hal
ini telah melampaui permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan hubungan
keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi tidak dicatatkan di
KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina
dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Majelis Ulama Indonesia menilai
putusan mahkamah konstitusi ini sangat berlebihan, melampuai batas, dan
bersifat "over dosis" serta bertentangan dengan ajaran Islam dan
pasal 29 UUD 45.[83]
Menurut Makruf Amin, putusan
mahkamah konstitusi itu memiliki
konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali,
dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya
karenahal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Akibat nyata putusan makamah
konstitusi, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak
yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban
memperoleh nafkah dan terutama hak waris.
dengan demikian, sudah jelas
putusan mahkamah konstitusi ini telah menyebabkan lembaga perkawinan menjadi
kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara
anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah.
hal ini sangat menurunkan
derajad kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan, bahkan pada tingkat ekstrem
dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan karena orang
tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan
hukum anak.[84]
Perjuangan Machica dan tim pengacara
selama satu setengah tahun di Mahkamah Konstitusi membuahkan hasil. Mahkamah
Konstitusi seolah memberikan kado istimewa. rumusan dalam dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, dibatalkan. berdasarkan putusan mahkamah
konstitusi, anak luar kawin juga mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata
dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.[85]
Mahkamah Konstitusi ingin menegaskan bahwa
anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. “Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang
dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,”.[86]
Anak luar perkawinan, secara sederhana,
diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan
itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama
dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu
bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan
perkawinan lain. Artinya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina.
Pasal 44 ayat (2) undang undang perkawina nomor 1 tahun 1974 memberi wewenang
kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan
isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak.[87]
Bisa juga ibu dan ayahnya sama-sama masih
lajang, sehingga anak disebut anak luar nikah. berdasarkan undang-undang nomor
1 tahuin 1974 pasal 42, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.[88]
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang
perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. Pasal 53 KHI jika si pria menikahinya,[89]
maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUHPerdata juga menyebutkan
demikian. pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi
adanya hubungan perdata Pasal 280 KUH Perdata. Ibu dan/atau ayah dapat meminta
ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. namun dalam praktik, sering terjadi anak luar
kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya.
Inilah yang mendasari pandangan mahkamah
konstitusi bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA
(deoxyribonucleic acid), atau sistim pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk
memperjelas ayah biologis anak.[90]
Norma hukum ‘anak luar nikah hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada
akta kelahiran. pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang
melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur
pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya
dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) undang-undang perkawinan tahun 1974
menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang
otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.[91]
Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan
anak luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligus.
Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang melakukan
perkawinan sirri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin
mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina. “pokoknya, siapapun yang menggauli
perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan
anak yang dilahirkannya,”.[92]
Sebabnya komnas perempuan menyambut baik
putusan mahkamah konstitusi karena sejalan dengan konstitusi dan konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan UU No 7 Tahun 1984.
“Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak,”
demikian bunyi pernyataan resmi Komisi yang diterima hukumonline.[93]
Sepekan setelah putusan mahkamah
konstitusi dibacakan, komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah
artikel yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan
spektakuler’. ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa
rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin
Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat (1). Selain itu dalam penerapak
secara maksimal yaitu undang-undang no 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak,
undang-undang RI no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, undang-undang RI
nomor 23 tantang perlindungan anak, [94]
Sebaliknya, sebagian kalangan ulama Islam
melayangkan kritik. Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa
perkawinan orang tuanya dianggap sah. petugas KUA kemungkinan akan menolak
memberikan buku nikah orang tua anak luar kawin karena mereka tidak pernah
nikah secara resmi. “Alangkah baiknya putusan itu dikaji ulang,”[95]
Putusan mahkamah konstitusi juga dinilai
akan membuat repot pembagian waris. dalam praktik selama ini, tidak semua anak
luar kawin memperoleh waris. Jika anak luar kawin mempunyai hubungan perdata
dengan bapaknya maka si anak juga menjadi ahli waris terhadap ayah biologisnya.
Melenyapkan
perbedaan perlindungan hukum atas kedua kondisi itu akan menjadikan lembaga
perkawinan menjadi sesuatu yang tidak relevan, hal ini tidak dapat diterima
oleh agama Islam. bahkan yang lebih
mengkhawatirkan lagi jika dari hasil perbuatan zina itu terlahir anak perempuan
dan kelak ia akan menikah, bisa jadi, akibat keputusan mahkamah kostitusi ini
sang bapak (penzina) dapat menjadi wali nikah bagi anak hasil zinanya, yang
notabene hal ini bertentangan dengan syari’at Islam. dalam syariat Islam anak hasil
zina harus dinikahkan oleh wali hakim. jika tidak, pernikahan tersebut tidak
sah, namun menjadi sah dihadapan hukum negara akibat
putusan mahkamah konstitusi. Kesalahan fatal seperti ini adalah dampak dari
lahirnya putusan sembrono tersebut.[96]
Menanggapi
berbagai pandangan dari beberapa pihak atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan sebagaimana yang dimohonkan oleh Aisyah Mochtar alias Machicha
Mochtar, mahkamah konstitusi merasa perlu untuk memberikan beberapa penegasan
dan penjelasan terkait tiga hal. Menurut
wakil mahkamah konstitusi Ahmad Sodiki, putusan itu berdasar pada tiga hal:
Pertama, lanjut Sodiki, perspektif alamiah dan
konstitusionalitasnya. setiap kelahiran, secara alamiah pasti didahului oleh
adanya kehamilan seorang perempuan sebagai akibat terjadinya pembuahan
(pertemuan ovum dengan spermatozoa) melalui hubungan seksual dengan laki-laki
atau melalui rekayasa tekhnologi. “Laki-laki dan perempuan yang menyebabkan
terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab, karena dalam Pasal
28B ayat 2 UUD 1945, atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” terang Ahmad Sodiki
wakil ketua mahkamah konstitusi, dalam jumpa pers di gedung mahkamah
konstitusi, jalan medan merdeka barat No 6 Jakarta, Rabu (07/03).[97] Peraturan perundang-undangan merupakan
instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan di masyarakat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4,
yaitu kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara indonesia
dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam
pelaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, peerdamaian abadi
dan keadilan sosial.[98] dan Pasal 28I KUHPerdata.
Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya.
“tanggung jawab melekat kepada keduanya (laki-laki dan perempuan), bukan hanya
pada salah satunya.[99]
Setiap anak lahir
dalam keadaan suci dan tidak berdosa, ia lahir bukan atas dasar kehendaknya,
terlebih lagi untuk dilahirkan dalam keadaan yang demikian dilahirkan tanpa ada
ikatan pernikahan ibunya. merupakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
sosial manakala hukum memberikan stigma kepadanya sebagai anak tanpa bapak dan
anak tanpa ada yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh
kembang secara wajar dalam masyarakat melalui pendidikan.[100]
Kedua, makna hukum (legal meaning) putusan
mahkamah konstitusi membuka kemungkinan
hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak
dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum (judical) dengan menggunakan
pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi mutakhir dan hukum.
Dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di dalam
masyarakat. selain itu, Sodiki menjelaskan terkait adanya penafsiran bebarapa
orang yang mengatakan putusan mahkamah konstitusi sama halnya dengan melegalkan
perzinahan. menurutnya, putusan ini harus dipahami untuk memberikan
perlindungan terhadap anak dan perzinahan merupakan dua rezim hukum yang
berbeda. putusan ini bukan untuk melegalkan perzinahan, tetapi untuk memberikan
perlindungan keperdataan kepada anak.[101]
Ketiga, perspektif undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan. menurutnya, undang undang perkawinan memilki karakter
khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi, sehingga
terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara, namun dalam
pengertian materilnya merupakan hukum yang bersifat majemuk (plural), sehingga
normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada
Pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa norma sahnya perkawinan adalah munurut pasal 2 ayat
(1) yaitu ”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.[102]
C. Respon Majelis Ulama Indonesia Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/puu-viii/2010
Keputusan
mahkamah konstitusi nomor 46/puu-viii/2010 soal status anak di luar nikah
memicu perdebatan. Majelis
Ulama Indonesia menilai keputusan mahkamah konstitusi tersebut melampaui batas.
Alasannya, keputusan itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan pasal 29
UUD 1945. yaitu’negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa.[103]
Putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 itu telah melampaui permohonan yang sekedar
menghendaki pengakuan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi
tidak dicatatkan kepada KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas
anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.[104]
Sebulan setelah putusan mahkamah
konstitusi tersebut, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No 11
Tahun 2012. Fatwa ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal
yang tidak jelas dalam putusan mahkamah konstitusi.[105]
Menurut penulis
Majelis Ulama Indonesia mengingatkan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai
hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafqah dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya. tetapi majelis ulama Indonesia juga mengingatkan bahwa pemerintah
wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran.
Harapan putusan
mahkamah konstitusi mengenai anak luar perkawinan mungkin akan terus menuai
polemik. Apapun materi perdebatan tentang Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan meminta agar hakim-hakim peradilan
menggunakan putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam memutus perkara terkait hak anak pada
hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Komnas perempuan juga meminta
pemerintah mensosialisasikan Putusan Mahkamah Konstitusi lintas sektor karena
membawa implikasi yang sangat luas. Menanggapi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawian. Majelis
Ulama Indoneisa menilai putusan mahkamah konstitusi tersebut sangat berlebihan,
melampaui batas dan bersifat overdosis.
Menurut Majelis
Ulama Indonesia putusan mahkamah konstitusi ini berdampak konsekuensi yang luas
termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil
zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, yang dimaksud dalam
undang-undang perkawinan ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat
dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam hal perawinan dan dijadikan pedoman
hakim dalam lembaga peradilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara
perkawinan baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan
negara atau tidak.[106]
Menurut Majelis
Ulama Indonesia melalui Ma'ruf Amin, hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran
Islam. "akibat nyata Putusan Mahkamah Konstitusi, kedudukan anak hasil
zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan
yang sah, baik dari segi kewajiban dan perolehan nafkah, terutama hak
waris," cetus Ma'ruf. Sehingga
jelaslah putusan mahkamah konstitusi ini menjadikan lembaga perkawinan menjadi
kurang relevan. namun Ma'ruf menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap anak
hasil zina. "karena
memang hukumnya anak hasil zina itu beda dengan anak hasil perkawinan sah.
Kalau anak hasil perkawinan sah mempunyai hubungan dengan bapak dan ibunya.
tapi anak hasil zina hanya punya hubungan dengan ibunya. begitu hukum
agamanya," pungkas Majelis Ulama
Indonesia.[107]
Terkait masalah
Machica Mokhtar, Majelis Ulama Indonesia mengatakan, hukum kasusnya berbeda.
"karena anak Machica bukan hasil zina, melainkan pernikahan sirri atau di
bawah tangan. yang mana hal ini hukumnya dalam Islam disamakan dengan yang
nikah tercatat di kantor urusan agama, sedangkan untuk mengkordina masyarakat
demi terwujudnya ketertiban dan keterauran dalam sistem kehidupan, termasuk
dalam perkawinan yang diyakini tidak
luput dari berbagai ketidak teraturan dan pertikaian antara suami istri. Karena
itu keterlibatan penguasa/negara dalam mengatur perkawinan dalam bentuk
pencatatan merupakan suatu keharusan.[108]
Menurut Majelis
Ulama Indonesia Mahkaman Konstitusi membuat keputusan revolusioner pada Jumat
12 Februari 2012. mahkamah konstitusi menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974
tentang perkawinan diubah dan menjadi "anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya".[109]
Dengan putusan
ini, maka Majelis Ulama Indonesia Menilai bahwa anak hasil nikah siri atau pun
di luar nikah berhak mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti biaya hidup,
akte lahir hingga warisan. putusan mahkamah konstitusi tersebut telah menuai
kontroversi serta menimbulkan kegelisahan, kerisauan di kalangan umat Islam,
karena berkembang pendapat dan pemahaman masyarakat, bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut telah
mengubah syariat Islam, melanggar ajaran Islam, mengubah tatanan kehidupan umat
Islam dan mengacak-acak syariat Islam.[110]
Dalam sebuah jumpa
pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jl. Proklamasi No. 51, Menteng,
Jakarta Pusat, KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI) didampingi oleh Ustadz Amir Tambunan
(Sekum), DR.HM. Asrorun Ni’am Sholeh (Sekretaris Komisi Fatwa), dan Ichwan Sam
(Sekjen) menanggapi Putusan mahkamah konstitusi tersebut dan sekaligus
mengeluarkan fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan
perlakuan terhadapnya banyaknya pertanyaan dari masyarakat mengenai Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengacak-acak syariat Islam tersebut.[111]
Seperti diketahui, putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
menyatakan: Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyatakan: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”.[112]
Menurut Majelis
Ulama Indonesia, putusan mahkamah konstitusi tersebut menuai kontroversi serta
menimbulkan kegelisahan, kerisauan, bahkan keguncangan di kalangan umat Islam,
karena berkembang pendapat dan pemahaman masyarakat, bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut telah mengubah
syariat Islam, melanggar ajaran Islam, dan mengubah tatanan kehidupan umat
Islam yang selama ini berlaku.[113]
KH. Ma’ruf Amin
mengatakan, Majelis Ulama Indonesia punya tanggung jawab untuk mempertahankan
agama Islam dan melindungi umat Islam Indonesia. majelis ulama Indonesia
memandang penting untuk memberikan tanggapan terhadap putusan mahkamah
konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, sekaligus memberikan panduan tegas dan jelas
kepada umat Islam dengan mengembalikan tatanan kehidupan umat Islam seperti
sedia kala.
Majelis Ulama
Indonesia Menilai Putusan mahkamah konstitusi dinilai telah melampaui
permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak
dengan bapak hasil perkawinan, tapi tidak dicatatkan kepada kantor urususan
agama, menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan
zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Majelis Ulama
Indonesia memandang, putusan mahkamah konstitusi tersebut memiliki konsekwensi
yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah
antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal
demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. dalam fatwa majelis ulama
Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan
terhadapnya, menyatakan: “Anak
hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.”[114]
Akibat putusan
mahkamah konstitusi yang sembrono itu, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan
sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik
dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris. “jelaslah putusan mahkamah konstitusi ini telah
menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan, apalagi sekadar
pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil
perkawinan yang sah tersebut. Hal ini, kami nilai sangat menurunkan derajat
kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. bahkan pada tingkat ekstrim, dapat
muncul pendapat tidak dibutuhkan lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu
harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak,
namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terdapat
pengaturan yang tegas tentang kriteria anak.[115]
Selain itu, Majelis
Ulama Indonesia menilai, putusan mahkamah konstitusi telah membuka “kotak pandora” yang selama ini
kita jaga, yakni terbukanya peluang besar bagi berkembangnya pemikiran dan perilaku sebagian orang untuk
melakukan hubungan di luar perkawinan /perzinahan, tanpa perlu khawatir dengan
masa depan anak (terutama kekhawatiran dari pihak perempuan pasangan zina).
karena walau pun tidak dalam ikatan perkawinan/zina, toh anak hasil hubungan
zina tersebut tetap memiliki hak nafkah dan hak waris yang sama dengan anak
yang lahir dari perkawinan yang sah.
Putusan mahkamah
konstitusi tersebut telah mengganggu,
mengubah, bahkan merusak hukum waris Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan
Sunnah. terlebih putusan mahkamah konstitusi itu menyatakan, anak yang lahir
dari hasil hubungan zina akan mendapat waris dari lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya. “padahal hukum waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah secara tegas dan jelas menyebutkan kategori anak yang mendapat harta
waris, dan anak yang lahir dari hasil hubungan zina jelas tidak memperoleh hak
waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,” kata
KH. Ma’ruf Amin.[116]
Majelis ulama Indonesia menilai
mahkamah konstitusi telah keliru, seolah olah anak hasil hubungan zina tidak
mendapat perlindungan hukum.[117]
Yang benar,
menurut Majelis Ulama Indonesia, adalah anak dari hasil hubungan zina tersebut
memiliki perlindungan hukum, tetapi perlindungan hukum yang tidak sama dengan
anak dalam ikatan perkawinan, dimana yang satu hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan yang satunya lagi
dengan bapak dan ibunya. Dan itulah gunanya lembaga perkawinan.[118]
[1] Departemen agama RI, Undang-Undang
1974, Op.cit, hal 34
[2] Tim Redaksi Nuansa Aulia, KHI, Op.cit,
h. 31-32
[3] Undang –Undang 1945, Op.cit, h. 19
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h. 35
[6] Ibid .,
[7] Undang-Undang, Hukum Perdata,
Op.cit, h. 50
[8] Ibid.,
h. 51
[9] Zakaria Ahmad al-Barri Belum Dewasa
Dalam Hukum Islam, Terjemah H. Agus Salem (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), h. 39
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
h. 16
[12] Undang-Undang Perlindungan Anak
no 23 tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 1-3
[13] Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasional (Jakarta: Renika Cipta, 1994), h. 29
[14] Ibid.,
[15] Abdul Ghani
Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum
Islam (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), h. 15-16
[16] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:
Akademia Persindo, 1992), h. 137
[17] Nuansa Aulia, Undang-Undang 1974, Op.cit,
h. 96-97
[18] Undang-undang no 23 tahun 2006, Tentang
Admiinidtrasi Kependudukan.
[19] Kitab Perdata, Op.cit, h. 49-50
[20] Ibid .,
[21] Ibid .,
[22] Ibid
KUHPer., h. 155
[23] Ibid.,
h. 162
[24] Ibid.,
h. 1
[25] Ibid.,
h. 44-45
[26] Ibid., h.
50
[27] Ibid.,
[28] Ibid., h.
51
[29] Ibid .,
[30] Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam
Islam,(Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), h. 176
[31] Saidus Syahar, Undang-Undang
Perkawinan dan pelaksanaannya di tinjau dari segi hukum Islam, (Bandung:
Pustaka 1982), h. 22
[32]
Dampak Perkawinan Sirri/dibawah tangan terhadap anak, http:/www.lbh.apik.or.id,
diakses pada tanggal 22 okteber 2012.
[33] Ibid.,
[34] Departemen Aagama Islam dan
Bimbingan Haji, (Jakarta: Depag, 2004), h. 34
[35] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan.
[36] Undang-Undang
No 1 tahun 1974., Op.cit, h. 34
[37] Undag –Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 50
[39] Ibid.,
h. 48-52
[40] Ibid.,
h. 50-60
[41] Ibid.,
h. 35-36
[42] Nuansa Aulia Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, (Bandung: Nuansa Aulia, 2004), 92-93.
[43] Surini Ahlan Syarif dan Wahono
Darmabrata, Hukum Perkawinan Dan Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta:
Fakultas Hukum UI, 2004), h. 131
[44] Martiman Projohamidjo, Hukum Perkawinan
Indonesia, Cet II, (Jakarta:
Indonesia legal Center publishing, 2007), h. 53
[45] Ibid.,
h. 54
[46] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 148
[48] Ibid.,
[49] Surini , Darmabrata, Op.cit, h. 135
[50]
A. Mukti Arto. Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010, Tanggal 27 Februari, Tentang Pengubahan Pasal 43 Tentang
Hubungan Perdata Anak dengan ayah biologisnya, halaaman 2-3
[51]
Mulyadi Luthfi, Mustof Luthfi, Nikah Sirri Membahas tuntas definisi asal
usul hukum serta pendapat ulama shalaf dan khalaf, (Surakarta: Wacana
Ilmiah Press, 2010), h. 41
[52] Ibid.,
h. 41-45
[53]
H. Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
Analisis Yuridis dengan pendekatan usuliyah, (Jakarta: Kencana Prenada
Grup, 2010), h. 29-30
[54] Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Op.cit, h.18-19
[55] Departemen
Agama Bimbingan dan Konsultasi Haji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Op.cit, h. 34
[56] Ibid.,
[57]
Ibid .,
[58]
Yusuf ad- Duraiwisy, Nikah Sirri, Mut’ah dan Kontrak dalam Timbangan Al-
Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010), h. 125-128
[59] Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,
Op.cit, h. 16-17
[60] H. Amir Nurudin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh UU
No 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), h.
37-39
[61] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 49-50
[62] Kutipan Pidato Pembuka Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H,
Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Diskusi
Hukum Anak Luar Kawin yang diselenggarakan Pengurus INI-IPPAT Tangerang Raya, 12 Mei 2012, diakses rabu 24 oktober 2012.
[65] Putusan MK, Op.cit, h. 32-33
[66] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h.
34-35
[67] Yahya Harahap dalam Hukum Acara
Perdata, Op.cit, h. 57
[68] Muhammad Idrus Ramulyo, Hukum
Perkawinan Hukum Kewarisan Hukum Acara Peradilan Agama,danzakat menurut hukum
Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2004), h. 1-12
[69] Nuansa Aulia, KHI, Op.cit, h. 16-17
[70] Amir Nurudin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum
Perdata, Op.cit, h. 37-39
[71] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 49-50
[72] Ibid.,
[73] Undang-Undang, Hukum Perdata, Op.cit,
h. 50
[74] Departemen Agama Bimbingan
Masyarakat Islam dan Bimbingan Haji, (Jakarta: Depag,
2004), h. 46
[75] Undang-Undang KUHPer, BW, HIR, h. 160-161
[76] Ibid.,
[77]
Putusan MK ..., h. 35
[78]
Mahkamah Konstitusi, /mui-putusan-mk-sembrono-overdosis,html, diakses
pada hari senin tanggal 22 Oktober 2012.
[79] Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan
Ijtihat, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 292
[80] Ibid.,
[81] Ibid.
[82] Mahkamah Konstitusi,
http:/www.satumedia.info/2012/html, diakses pada hari
senin tanggal 22 Oktober 2012
[83] MUI, Putusan Mahkamah konstitusi
Sembrono, over dosis dan bertentangan dengan ajaran Islam, mui-putusan-mk-sembrono-overdosis,html,
diakses pada hari senin tanggal 22 Oktober 2012.
[84] Ibid.,
[85] Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010
[86] Ibid.,
[87] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Op.cit, h. 34
[88] Ibid.,
[89] Nuansa Aulia, KHI, Op.cit, h. 16-17
[90] Undang Undang Hukum Perdata KUHPerdata ,
Op.cit, h. 50-52
[91] Nuansa Aulia, KHI, Opcit, h. 96-97
[92] Mahfud dalam kolom di harian Sindo
Sumber : www.artikelhukum.info, Sumber : hukumonline.com Sumber:
http://hukum Indonesia.com, diakses rabu 24 Oktober 2012
[93] Ibid.,
[94] Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan
Tentang Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 1-92
[95] Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh
Barat, seperti dikutip Antara, diakses Rabu
24 Oktober 2012.
[96] Mahkamah
Konstitusi, http://rifqiramadhani.blogspot.com/mui-nilai-keputusan-mk-soal-status-anak.html, Diakses pada 26 Oktober
2012
[97] Ibid.,
[98] Undang-Undang Dasar Negara
Republic Indonesia Pembukaan alenia 4, (Surabaya:
Putra Bahari, Kabinet Indonesia bersatu Jilid II 2009-2014), h. 3
[99] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 50
[100] Pustaka Yustisia, Undang-Undang nomor
23 tahun 2002, tentang perlindungan anak, (Jakarta: Pustaka Yustisia,
2010), h. 68
[101] Mahkamah Konstitusi, http://www.lensaindonesia.com
/2012 /03 /07 /mk-putusan-mk-bukan-melegalkan-perzinahan.html, Diakses 26
Oktober 2012.
[102] Departemen Agama Islam dan Bimbingan
Haji, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Depag, 2004), h. 14-15
[103] Undang Undang Dasar Negara
Republic Indonesia , Op.cit, h.21-22
[104] Ketua MUI, KH Ma'ruf
Amin dalam Jumpa Pers di kantor MUI, Jalan Proklamasi no 51, Menteng,
Jakarta, Selasa (13/3/2012http://wanita-wanita-muslimah.blogspot.com/2012/03/re-bls-wanita-muslimah-fw-mui-nilai.html,
diakses 26 Oktober 2012
[105] Ibid.,
[106]
Amir Syarifudin, Hukum Pekrawinan, Op.cit, h. 20
[107] Majelis Ulama Indonesia, http://wanita-wanita-muslimah.
blogspot.com/2012/03/re-bls-wanita-muslimah-fw-mui-nilai.html, diakses 26
Oktober 2012
[108] H. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di
Indonesia masalah- masalah krusial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010),
h. 18
[109] Putusan MK, Op.cit, h. 35-36
[110] Majelis Ulama Indoneisa
wanita-wanita-muslimah.blogspot.com .html, diakses 26 Oktober 2012.
[111] Ibid.,
[112] Putusan MK , Op.cit, h. 36
[113] Majelis Ulama Indonesia, Op.cit
[114] Majelis
Ulama Indonesia, http://rifqiramadhani. blogspot. com/ 2012 /03/mui-nilai-keputusan-mk-soal-status-anak.html,
diakses pada 26 Oktober 2012
[115] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum
Terhadap Anak, dalam system peradilan pidana anak diindonesia, (Bandung:
Refika Aditama, 2010), h. 31
[117] Ibid.,
[118] Ibid.,
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro
pada tanggal 22 Februari 1988, anak kedua dari Pasangan Kamidi dan Nyami.
Pendidikan dasar penulis
ditempuh di SDN 1 Sukabumi Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan pada tahun
2000, Kemudian melanjutkan di SMP Beringin Ratu 1 Sukabumi Kecamatan Pakuan
Ratu Kabupaten Way Kanan, dan selesai pada tahun 2003, Sedangkan pendidikan
menengah atas pada Madrasah Alyah Darul A’mal Kota Metro selesai tahun 2006,
Kemudian melanjutkan pendidikan di STAIN Jurai Siwo Metro Jurusan Syari’ah di
mulai pada semester 1 TA. 2008/2009.
Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan STAIN Jurai Siwo Metro dalam wadah
Badan Eksekutif Makasiswa (BEM)
Selain itu juga penulis aktif
dalam organisasi exktra kampus dalam wadah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Metro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar