Minggu, 15 November 2015

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS ANAK. OLEH JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy.





LAPORAN HASIL PENELITIAN

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITISI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS ANAK
HASIL PERNIKAHAN SIRRI

Penelitian Kompetitif Individual Mahasiswa
STAIN Jurai Siwo Metro Tahun 2012


PENELITI :
JOMIANTO MUZAKKI
NPM : 0841803

Program Studi :  Ahwalus Syakhshiyyah
Jurusan : Syari’ah







SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
1434 H / 2012 M


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Puja dan Puji syukur kekhadirat Allah SWT, yang telah melipahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya kepada peneliti yang dapat menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian Individual Mahasiswa STAIN Jurai Siwo Metro Tahun 2012 dengan Judul : Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri”.
Selain itu juga tak lupa peneliti ucapkan terimakasih Kepada berbagai pihak yang memberikan kontribusi dan dukungan selama proses penelitian ini dilaksanakan, secara khusus peneliti mengucapkan terimakasih kepada:
  1. Menteri Agama Republik Indonesia
  2. Ketua STAIN Jurai Siwo Metro
  3. Kepala P3M STAIN Jurai Siwo Metro
  4. Ibu Dra. Siti Nurjanah M.Ag, dan Bapak Imam Mustofa,  SHI, MSI Selaku Pembimbing dalam penyelesaian penelitian ini.
  5. Serta semua pihak yang telah membantu dan terlibat aktif dalam proses penyelesaiaan penelitian ini.
Selanjutnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini, peneliti memberikan apresiasi dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan bantuan yang telah diberikan kepada peneliti senantiasa di ridhoi oleh Allah  swt dan bantuan yang telah diberikan  mendapat balasan yang sebaik-baiknya di sisih Allah swt.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun bagi hasil penyempurnaan penelitian ini sangat diharapkan agar menjadi bahan pertimbangan dalm proses penelitian-penelitian yang selanjutnya, akhirnya semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang positif khususnya untuk Mahasiswa di lingkungan STAIN Jurai Siwo.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Metro, 17 November 2012


Peneliti

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................   i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................. iv

BAB. I     PENDAHULUAN.......................................................   
A.    Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................ 7
C.     Tujuan Penelitian............................................................. 7
D.    Manfaat Penelitian........................................................... 9

BAB. II KERANGKA TEORI....................................................
A.    Kedudukan dan Kompetensi Mahkamah Konstitusi.......10
B.     Nikah Sirri di Indonesia................................................   14
C.     Sekilas Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi...........   25

BAB. III  METODE PENELITIAN........................................   
A.  Jenis  dan Sifat Penelitian.............................................   32
B.  Sumber Data.................................................................   33
C.  Teknik Pengumpul Data................................................   33
D.  Teknik Analisis Data.....................................................   34
E.   Pendekatan...................................................................   34


BAB IV PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN.
A.    Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri...............................   36
B.     Dampak Positif dan Negatif Serta Pro Kontra terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010......................................................................................   58
C.     Respon Majelis Ulama Indonesia Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.......................................................   66

BAB V SIMPULAN DAN SARAN.........................................
A. Simpulan........................................................................   73
B.  Saran.............................................................................   75

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP STATUS ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI

ABSTRAK
Oleh:
JOMIANTO MUZAKKI
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan tanggal 27 Februari 2012 lahir karena adanya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terutama Pasal 43 ayat (1).yaitu ‘Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Keputusan tersebut tentunya tidak serta merta tentunya ada yang melatarbelakanginya sehingga berdampak pada hubungan keperdataan dan perlindungan hukum terhadap anak hasil pernikahan sirri.
Tentunya penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh kepada masyarakat terhadap status anak hasil pernikahan sirri pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 46/puu-viii/2010.
Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemberian pemahaman tentang status anak hasil pernikahan sirri.
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research) untuk mendapatkan data terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan.
Makana pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan menurut Mahkamah Konstitusi, diwajibkanya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan karena merupakan kewajiban administratif.

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar perkawinan. Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. putusan mahkaamah konstitusi mengenai pengakuan anak di luar perkawinan mengejutkan. walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan nomor 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan tanggal 27 Februari 2012 lahir karena adanya perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, yang menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang diajukan oleh: Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahhim, tempat dan tanggal lahir, Ujung Pandang, 20 Maret 1970, Alamat, Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Dan anaknya yang bernama  Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.
Berdasarkan surat kuasa nomor 58/KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5 Agustus 2010, memberi kuasa kepada:[1]
1. Rusdian Matulatua
2. Oktryan Makta
3. Miftahul I.A.A
Yaitu Advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamatkan di Wisma Nugra Santana Jalan Jendral Sudirman Kav 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Adanya permohonan yudisial review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang mana Meordiono sebagai seorang suami yang beristri (mempunyai istri sebelumnya) menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak dihadapan KUA/PPN kecamatan yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah.[2] Dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono, Pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa:”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[3] Kemudian pasal 43 ayat (1) UUP menetapkan bahwa: anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.’[4] Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya Iqbal tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.[5]
Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebuk maka Hj. Aisyah Moktar dan Muhamad Iqbal Ramadhan yang mana hak-hak kostitusinya sebagai warga negara Indonesia yang di jamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, karena setatus perkawinanya tidak sah demikian juga terhadap anak yang dilahirkan menjadi tidak sah.[6]
Tentunya berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta setatus Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai anak Moerdiono.[7]
Dalam undang-undang no 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.”  dan ayat (2) nya menyatakan, “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”  dalam Pasal 43 undang-undang perkawinan menyatakan,“ anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[8]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, dalam pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”,  dan juga Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta berlaku yang sama di hadapan hukum”.[9] dari permohonan diatas mahkamah konstitusi republik Indonesia berpendapat mengenai Pasal 2 ayat (2) Tahun 1974 yang mana tentag pencatatan perkawinan dengan demikian mahkamah konstitusi menyimpulkan:
  1. Pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.
  2. Pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon suami/istri. diwajibkanya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif.[10]  Makana pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, dapat dilihat dari dua perspektif yaitu: 
Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur dan dituagkan dalam perundang-undangan.
Sekiranya pencatatan yang dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan menurut mahkamah konstitusi tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan undang-undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara di maksudkan agar perkawinan,[11] sebagai perbuatan hukum dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di keudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang berangkutan dapat terselenggara dengan secara efektif dan efesien.
Artinya, dengan demikian bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan waktu yang lama dalam proses pembuktian baik waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak. seperti pembuktian mengenai asal usul anak dalam Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bila asal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta  otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efesien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.[12]  mahkamah konstitusi menyampaikan mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang diidentifikasikan dengan anak yang tidak sah. Menurut mahkamah konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena  itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya dan keluarga ibunya saja. adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak.
Tentunya akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat kewajiban secara bertimbal balik yang subjek hukumnya adalah anak, ibu dan bapak.
Dengan demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak  tidak semata-mata  karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga dibuktikan adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Kemudian mahkamah konstitusi bahwa Pasal 43 ayat (1) bertentangan dengan undang-undang dasar 1945[13].
Oleh karena itu mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu permohonannya yudisial review ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau dengan alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk juga mempunyai hubungan darah dengan ayahnya.’[14] Putusan akhir oleh mahkamah konstitusi tersebut merupakan putusan final yang berkaitan dengan uji materil undang-undang, yang dalam hal ini Pasal 43 ayat (1) undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. oleh karna itu putusan Mahkamah Konstitusi itu berlaku sebagai undang-undang sehingga subtansinya general, tidak individual.
Putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tentang hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya beserta segala konsekuensinya, baik anak itu adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang dihamili oleh seorang laki-laki tanpa ikatan perkawinan, dan setelah anak itu lahir kedua orang perempuan dan laki-laki ini tidak pernah mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan yang sah maupun setelah anak tersebut lahir kemudian kedua orang tuanya laki-laki dan perempuan tersebut mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan yang sah atau disebut anak diluar perkawinan, atau anak tersebut lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki dalam ikatan perkawinan yang tidak memiliki kepastian dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena peristiwa perkawinannya tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar hal tersebut di atas, penulis hendak mencoba membedah kedudukan anak lahir di luar nikah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah disebut sebelumnya. Jika menggunakan analisis hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus Hj. Aisyah Mochtar alias Machica, maka ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang sah dalam perspektif bahasa, Undang-undang dan perspektif kasus posisi dari kasus Machica.
Ketiga, menyangkut kewenangan pengadilan agama. bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat, di sini akan menjurus pada persoalan yuridis materiil dan yuridis formil.
Bagaimana pengertian anak yang lahir di luar perkawinan sebelum dan sesudah putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010,di sini akan tampak pergeseran makna. Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat.
Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun sesudahnya.
Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh departemen agama, peradilan agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap.
Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang. dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan



B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah tersebut diatas maka masalah dalam penelitian ini dapat peneliti rumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah yang melatar belakangi putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap hubungan keperdataan dan perlindungan  anak hasil pernikahan sirri?
2.      Bagaimanakah dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri?

C. Tujuan Penelitian
Berawal dari rumusan masalah diatas, tentunya penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh kepada masyarakat terhadap setatus anak hasil pernikahan sirri paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak yang dilahirkan oleh perempuan dari perkawinan dibawah tangan/sirri. Sementara secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
  1. memberikah pemahaman secara mendalam dampak  putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. terhadap setatus anak hasil pernikahan sirri.
  2. mengungkap dan mendeskripsikan yang melatar belakangi Putusan mahkamah konstitusi nomor  46/PUU-VIII/2010 terhadap nasab/status anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri.

D.  Manfaat Penelitian
Sebagai upaya untuk memberikan pemahaman terhadap dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri, tentunya banyak sumber yang harus dikaji dan diteliti melalui penelitian ilmiah kompetitif seperti ini.
Semoga dapat berguna untuk memberi gambaran secara utuh dan kritis dalam memahami dan mengaktualisasikan dampak putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan sirri.
Selain itu juga temuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemberian pemahaman terhadap status anak yang di lahirkan dari perkawinan sirri.
    a.  Manfaat Teoritis
Adapun diantara manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu
  1. Untuk  pengetahuan dan memperdalam dampak putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan sirri.
  2. Sebagai bahan kajian akademisi penelitian ini dapat memberikan pemahaman hukum terhadap anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri.
  3. Sebagai bahan masukan karya ilmiah dan penegakan hukum dalam menyikapi permasalahan status anak hasil pernikahan sirri setelah di keluarkannya putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010.


   b. Manfaat Praktis
Adapun beberapa manfaat praktis dampak putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil penikahan sirri, sehingga diharapkan dari penelitian ini antara lain:
  1. Sebagai landasan penelitian lanjutan terhadap status anak hasil pernikahan sirri/dibawah tanggan  paska putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010;
  2. Sebagai masukan bagi pengambilan kebijakan paska putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010  terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri di Indonesia;
  3. Sebagai kontribusi yaitu untuk mengembangkan teori maupun konsep keilmuan khususnya teori tentang dampak putusan mahkamah  konstitusi nomor 46/UUP-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri, serta sebagai kontribusi pemikiran terhadap masyarakat umum mengenai pernikahan sirri dan status anak yang dihasilkan dari pernikahan sirri tersebut.




[1]  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010, h. 1-2.
[2] A. Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari  2012 (Badan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitraan pada tanggal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon ), h 1
[3] Nuansa Aulia, Undang –Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009) h 80.
[4] Ibid h 93.
[5] A. Mukti Arto, Diskusi Hukum., Op.cit, h. 2
[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 27 Pebruari 2012., Op.cit,  h 4-5 
[7] Ibid., h 6
[8] Departeman Agama Islam RI, Bimbingan dan Konsultasi Haji,Undang-undang nomor 1 tahun 1974, (Jakarta: Depag, 2004), h 34,
[9] Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Surabaya: Putra Bahari, 2009), h.19
[10] H. Chuzaimah, T. Yanggo dan HS. Hafiz Anzhori, (ed) problemática Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Firdaus,  1999), h. 29
[11] Abdul Djalil, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, cet 3, 1996), h.6
[12] Putusan MK., Op.cit, h. 33-34
[13]  Ibid., h. 35-36
[14] Ibid.,

BAB II
KERANGKA TEORI

A.  Kedudukan dan Kompetensi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah:[1]
(i)                 Dewan Perwakilan Rakyat,
(ii)               Dewan Perwakilan Daerah,
(iii)             Majelis Permusyawaratan Rakyat,
(iv)             Badan Pemeriksa Keuangan,
(v)               Presiden,
(vi)             Wakil Presiden,
(vii)           Mahkamah Agung,
(viii)         Mahkamah Konstitusi, dan
(ix)             Komisi Yudisial[2]
Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu
(a) Tentara Nasional Indonesia,
(b) Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(c) Pemerintah Daerah,
(d) Partai Politik[3]
Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.[4]
Dari uraian di atas, mahkamah konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan mahkamah agung. mahkamah konstitusi dan mahkamah agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di jakarta sebagai ibukota negara republik indonesia. hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain.[5]
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar mahkamah agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.[6]
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, mahkamah konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan undang-undang, mahkamah konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian mahkamah konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. atas usul ketua mahkamah konstitusi, sekretaris jenderal dan panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden. bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan keputusan presiden.[7]

a.   Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketatanegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan.[8]
Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap presiden dan / wakil preseiden dikaitkan dengan fungsi mk. disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa pemilu dan tuntutan pembubaran suatu partai politik. perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika system politik demokratis yang dijamin oleh UUD 1945.  Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing:[9]
1. ( 3 ) orang oleh Mahkamah Agung.
2. ( 3 ) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
3. ( 3 ) orang oleh Presiden.
Masa jabatan Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Hakim Konstitusi sekarang adalah :[10]
1. Moh. Mahfud MD
2. Achmad Sodiki
3. Harjono
4. Anwar Usman
5. M. Akil Mochtar
6. Maria Farida Indrati
7. Ahmad Fadlil Sumadi
8. Hamdan Zoelvon
9. Muhammad Alim
b.   Kedudukan  Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[11]
c.   Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, Sebagai sebuah lembaga negara Mahkamah konstitusi diberikan kewenangan oleh konstitusi. Kewenangan tersebut antara lain:[12]
  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  3. memutus pembubaran partai politik;
  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
  5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]

B.  Nikah Sirri di Indonesia
1.   Pengertian Pernikahan
Pernikahan dalam bukunya Amin Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia bahwa perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh dari bahasa arab disebut dengan dua kata yaitu, nikah dan zawaj (kawin). Secara arti kata nikah berarti ”bergabung” atau ”hubungan kelamin”.[14]
Pengertian pernikahan dalam kitab Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 disebutkan bahwa ”perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan mmembentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhana yang Maha Esa.[15] Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, dalam bukunya perkawinan dalam bahasa arab al-wathi dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau an al-wath wa al-aqd yang artinya bersetubuh, berkumpul dan akad.[16] beranjak dari makna etimologi ini para ulama mendefinisikan perkawinan.
Menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang memeberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja” artinya kehalalal seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[17]
Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz ikah yang bermakna tajwiz dengan mengambil manfaat untuk bersenang-senang.[18]
Selanjutnya al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahad) melakukan persetubuhan.[19] Menurut Abu Zahrah, di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.[20]
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalan suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan perempuan membentuk keluarga kekal, menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.[21]
Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual, menurutnya tidak ada nikah bila tidak ada hubungan seksual.[22]
Sedangkan Ibrahim Hosein, mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang denganya menjadi halal hubungan kelamin antara peria dan wanita secara tagas perkawinan sebagai hubungan seksual.[23]
Selanjutnya Tahir Mahmood, lebih lengkap mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing sebagai suami istri dalam rangka memperoleh kabahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran ilahi.[24]
2.   Pengertian Nikah Sirri
Menurut ulama kontemporer dari bukunya M. Musthafa Luthfi, konsep nikah sirri berdasarkan ulama kontemporer dan sesuai dengan kenyataan masa kini adalah jenis pernikahan :
a)      Tidak tercatat secara resmi di badan yang berwenang
b)      Kesaksian para saksi yang dirahasiakan (baik pernikahan tersebut dicatat secara resmi maupun tidak)
c)      Pernikahan tanpa saksi
d)     Pernikahan tanpa saksi dan wali.[25]
Sirrih secara bahasa berasal dari bahasa arab yakni as-ssir yang yang berarti rahasia. Dengan demikian, nikah sirri berasal dari bahasa arab yang juga dikenal dengan sebutan zawaj as-sirri atau pernikahan secara rahasia. Umumnya kerahasian tersebut ditujukan kepada istri pertamanya dan keluarganya. Namun adakalanya nikah sirri itu resmi di catat dalam catatan pihak berwenang namun tidak diketahui oleh istri pertama dan keluarganya.[26] Pendeknya nikah sirri biasanya terjadi bagi kalangan pria yang ingin poligami[27] namun tidak dapat memenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Hal ini sebagai mana dijelaskan oleh Prof Dr, Yusuf Ad-Duraiwisy sebagai berikut:”perkawinan urfi (pernikahan tradisi/nikah dibawah tangan/sirri) adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memakai lafat lafzi (dengan ucapan) mencangkup ijab dan qobul antara keduanya dalam satu majelis dan dengan kesaksian para saksi, mahar dan wali, istilah Urfi itu sendiri berasal dari kata Zawaj Urfi, (pernikahan tradisi), dan Urfi, (bersifat tradisi), Al-Urfi, berdasarkan makna terminologi adalah, sesuatu perkara yang sudah mapan di hati manusia melalui persaksian akal-akal (yang sehat), di setujui oleh fitrah-fitrah manusia yang masih lurus dengan kerelaan dan ditetapkan oleh syari’at.[28]
Dalam bukunya Dr.M Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi, di sesuaikan dengan kontek masa kini nikah sirri (nikah di bawah tangan),adalah: ”Jenis pernikahan yang tidak tercatat secara resmi di badan pencatatan yang berwenang. sirri secara  bahasa berasal dari bahasa arab yakni As-sirr yang berarti rahasia, dikenal juga dengan sebutan Zawaj As-Sirri yaitu pernikahan secara rahasia.[29]
Berdasarkan keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa nikah sirri secara istilah adalah, pernikahan yang syarat dan rukunnya terpenuhi, namun dilaksanakan secara rahasia dan umumnya tanpa dicatat dalam pencatatan oleh badan yang berwenang di suatu negara.
Sedangkan menurut M. Anshary MK, nikah sirri artinya, nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah dibawah tangan. bahwa dari pengamatan dilapangan bahwa nikah sirri dapat dibedakan kepada dua jenis.
Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa hadirnya orang tua/wali si perempuan. dalam pernikahan bentuk pertama ini akad nikahnya hanya dihadiri oleh laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan akad nikah, dua orang saksi, dan guru atau ulama yang akan menikahkan tanpa mmemperoleh pendelegasian dari wali nikah yang berhak. padahal guru atau ulama tersebut dalam pandangan hukum Islam tidak berwenang menjadi wali nikah, karena ia tidak termasuk dalam prioritas wali nikah.[30]
Kedua, nikah sirri yang kedua adalah, akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu perkawinan yang legal sesuai dengan ketentuan hukum islam, tetapi tidak dicatatkan sesuai dengan kehendak undang-undang perkawinan di Indonesia.[31]
Pernikahan ini dilakukan biasanya tanpa ada pemberiatahuan secara resmi kepada  pegawai pencatat nikah (PPN), pelaksanaan pernikahan dengan cara ini adalah benar dan sah walaupun tidak tercatat secara resmi. berdasarkan pendapat diatas, perkawinan dibawah tangan sah menurut hukum Islam walau pun tidak tercatat secara resmi. selain kensekuensi keabsahan hukum pernikahan di bawah tangan, ada akibat yang diterima manakala tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah (PPN) yaitu anak tidak mendapat hak secara utuh selayaknya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dicatat menurut undang-undang yang berlaku. ”adapaun pengakuan resmi (penulisan akad) dengan arti resmi dikantor catatan sipil  adalah perkara yang diwajibkan oleh undang –undang, dengan diperolehnya kutipan akta perkawinan itu perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.[32]  jelaslah juga bahwa kaliamat pernikahan urfi maksudnya lawanya dari “resmi” artinya tidak diakui secara resmi. maka inti dari persoalan disini adalah, apabila akad pernikahan urfi dilaksanakan walaupun, mencukupi rukun dan syarat yang ditentukan dalam syariat, maka konsekuensinya adalah bagaimana hubungan syariatnya seperti hubungan suami istri, nasab keturunan anaknya, dan warisan, akan berjalan tanpa ada dokumen resmi, hanya saja pengakuan resmi ini adalah perkara yang lazim untuk membuktikan perkawinan tatkala melakukan pengaduan kehadapan hukum. dengan demikian perkawinan di bawah tangan rentan adanya konflik dan ketidak harmonisan serta tidak ada kemampuan untuk melakukan gugatan dari masing-masaing pihak (suami maupun istri) manakala di antara mereka terdapat pengingkaran perkawinan.
Maka perkawinan ‘urfi atau tidak dicatat secara resmi sah secara syari’at karena mencukupi rukun dan syarat tatkala melakukan akad, akan tetapi tidak diakui secara resmi kalau ada pertikaian di hadapan hukum dalam permasalahan perkawinan, dan tidak pula diakui oleh pihak-pihak resmi lainya sebagai sandaran perkawinan, sehingga setatus anak hasil perkawinan tersebut tidak mendapat perlakuan yang baik dari segi pemeliharaan anak maupun perlindungan anak dalam kasus perolehan hak-hak anak dalam keluarga.[33]
Sebagai mana pendapat  Dr M Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfi yaitu:”pada perinsipnya anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, namun ketika kedua orang tua akan melangsungkan perceraian, secara otomatis  anak menjadi terlantar, karena kedua atau salah satu dari kedua orang tuanya tidak bertanggung jawab, maka sang anak  ketika akan menuntut orang tuanya bak lahir maupun batinnya kepada pengadilan tertolak.[34] dari segi hukum perdata tertolak, karena ketidak jelasan hukum, dan kadang terjadi ketidak pastian hukum dari anak yang dihasilkan dari pernikahan dibawah tangan tersebut. meskipun semuan proses pernikahan seperti rukun dan syaratnya menurut hukum islam adalah syah dan hasil dari pernikahanya itu syah juga menurut Islam.[35]
Permasalahan yang muncul kemudian, ketika terjadi putus perkawinan antara kedua belah pihak baik itu karena kematian, perceraian tuntutan kepengadila akan tertolak, maka secara otomatis anak yang menjadi korban akibat dari putus perkawinan tersebut, sebab secara hukum di Indonesia (hukum positif) tidak mendapat legitimasi /legalitas hukum anak hasil perkawinan di bawah tangan tersebut atau sering disebut nikah sirri.[36]
Namun berdasarkan keterangan di atas penulis memilih batasa bahwa nikah sirri secara istilah adalah pernikahan yang rukun dan syaratnya terpenuhi, namun dilakukan secara rahasia dan umumnya tanpa dicatat dalam pencatatan badan yang berwenang di suatu negara.
Dalam bukunya Yusuf ad- Durawisy bahwa nikah sirri disebut dengan istilah Zawaj Urfi (Pernikahan Tradisi) terdiri dari dua kata zawaj (Pernikahan) dan Urfi (secara kultural).[37]
3.   Nikah Sirri Dan Konsekuensi Hukumnya
Apabila dicermati Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bahwa almarhum Moerdiono selama hidupnya telah melakukan pernikahan sirri dengan istri keduanya bernama Hj.Aisyah dan dari istri keduanya itu dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan, setelah Moerdiono meninggal dunia anak dari istri keduanya yaitu Hj. Aisyah berkeinginan melegalisasikan statusnya sebagai bagian dari keluarga besar almarhum Moerdiono[38],
Akan tetapi terjegal oleh ketentuan perundang-undangan yaitu pada Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan KHI Pasal 100. yang berbunyi “ anak yang dilahirkan dari luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Yang menjadi persoalan dalam konsekuensi pernikahan sirri/pernikahan dibawah  tanggan sebenarnya adalah bagaimana setatus hukum anak yang dilahirkan dari poligama dibawah tangan/sirri.
Dalam pemecahan masalah tentunya dapat diperhatikan dalam ketentuan tentang pembatalan perkawinan. Pasal 24 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “barang siapa karena perkawinannya masih terikat dari salah satu kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang Tahun 1974, demikian pula ketentuan Pasal 71 Huruf (a) Kompilasi Hukum Islam[39] Menyatakan “Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
Walaupun demikian ketatnya aturan yang mengatur perkawinan poligami yang rata-rata dilakukan dengan proses pernikahan sirri, akan tetapi izin pengadilan dan pencatatan pernikahan subtansinya berkaitan dengan prosedur dan administrasi tentang Pernikahan.
Dengan pelanggaran terhadap prosedur dan administrasi ini undang-undang tersebut tidak menyatakan berakibat subtansi perkawinannya menjadi tidak sah atau menjadi anak di luar perkawinan.
Oleh karena itu pemecahan masalah agar anak yang dilahirkan dari perkawinan yang demikian agar mendapatkan status hukum dapat ditempung dengan ketentuan Pasal 55  ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat”.
Bukti-bukti dalam hal ini tentunya dikembalikan juga kepada asas umum pembuktian sesuai dengan Pasal 284 Rbg dan 164 HIR[40]
Untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah ditambah dengan bukti lain berupa bukti hasil pemeriksaan DNA untuk membuktikan bahwa anak tersebut benar-benar dilahirkan dari suami-istri tersebut.
Solusi ini juga sebenarnya mengandung konsekuensi apabila seorang anak dilahirkan dari perkawinan sirri/dibawah tangan tersebut, walaupun tidak dinyatakan secara tegas,[41]
akan berakibat secara tersirat pengadilan telah mengakui adanya perkawinan yang menurut undang-undang terdapat halangan.[42]
4.   Pernikahan Sirri Menurut Hukum Islam
Dalam islam perkawinan merupakan ikatan yang suci dan harus sesuai dengan syari’ah[43] sehingga perkawinan tersebut dapat di anggap sah menurut agama islam maupun dalam hukum perundang-undangan di indonesia.
Selain sebagai penyaluran hasrat biologis, pernikahan juga merupakan satu situasi dimana manusia dapat mencapai nilai kemanusiaan tertinggi karena telah meletakkan hukum-hukum allah dalam pergaulan manusia yaitu melakukan hubungan berbeda jenis lakilaki dan perempuan berdasarkan hukum islam secara benar.
Allah swt menjelaskan dalam al-qur’an” Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS An Nissa ayat 4).[44]
Ayat di atas menjelaskan bahwa telah diciptakan manusia berpasang pasangan dan selanjutnya karena manusia dibekali dengan naluri mencintai dan menyayangi sesamanya, maka islam memberian jalan agar dapat manikmati anugrah nikmat allah yang besar itu dan diikat dengan ikatan yang suci yaitu dengan jalan pernikahan.[45]
Selain menyalurkan hasrat keduanya dan nalurinya yang fitrah itu, islam juga memberikan tuntunan kepada siapapun yang siap menikah agar dapat melangsungkan perkawinan[46] karena dengan perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan melindungi kehormatan serta memberikan tempat yang benar dalam menyalurkan biologinya.
Sahnya perkawinan dalm islam apabila terpenuhi hal-hal yang ditentukan menurut ajaran agama islam, yaitu terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan . berdasarkan hal demikian maka perkawinan dibawah tangan sah menurut hukum islam sebab terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, meskipun tidak tercatat oleh pemerintah.
Namun menurut hukum positif di indonesia perkawinan itu tidak sah, karena disamping telah terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan atau sesuai dengan ajaran islam juga harus tercatat pada catatan sipil. Hal tersebut dapat dilihat dalam undang-undang perkawinan  no 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1-2 sebagai berikut:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu
(2).Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[47]
5. Status Anak Hasil Pernikahan Sirri Menurut Hukum  Perkawinan di Indonesia
Perlindungan anak dalam Islam mempunyai posisi yang sangat mulia karena anka dalm islam adalah amanah yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga ankak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang ssempurna sebagaimana fitrahnya. dalam Islam perlindungan anak disebut dengan hadannah, yaitu sebagai mana pendapat zakaria ahmad al-barri, hadannah artinya memelihara dan mendidik anak, menyediakan makanan, pakaian dan menjaga kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak.[48]
Dengan demikian bahwa perlindungan mencangkup perlindungan dari segi pemeliharaan , pendidikan, makanan, dan kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak. sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak, hak anak disebutkan:
  1. anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. perlindungan anank adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekeraan dan diskriminasi.[49]
Dalam isl;am anak yang diakui atau anak yang sah adalah anka dari hasil perkawinan yang sah pula. Dan anak yang dihasilakan dari hasil perkawinan tersebut mendapatkan hak untuk dididik dan dirawat yaitu orang tua harus mmenjaga, memimpin dan mengatur segala hak anak-anak yang belum dapt mennjaga dan mengatur dirinya.[50]
Dengan demikian dapat diambil  pengertian bahwa anak yang sah adalah anak dari hasil perkawinan yang sah pula.[51] Sedangkan anak dari hasil perkawinan dibawah tangan adalah anak atau keturunan yang dihasilakn dari sebuah perkawinan dimana perkawinan itu tidak diakui oleh negara, yaitu dengan tidak menghadirkan pembantu pagawai pencatat nikah, P3N ) dalam melangsungkan pernikahan, sehingga pernikahan dibawah tangan tidak tercatat dengan baik.
Adapun yang dijelaskan oleh abdurrrahman sebagai berikut:
Adapun anak yang lahir dari luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal 100, tidak dari keluarga bapaknya apabila mereka (laki-laki dan perempuan yang berhubungan) tidak melangsungkan pernikahan.
Untuk asal usul seorang anak (pasal 100) hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya ayat (1),[52] bila akta kelahiran atau alat bukti laiannya yang tersebut dalam pasal (1) tidak ada, maka pemgadilan agama dapat melakukan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan memeriksaan dan meneliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.[53]



6.   Penetapan Nasab Anak Hasil Perikahan Sirri di Indonesia
Ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Kekuatan ikatan perkawinan tersebut yang terikat bukan saja hanya lahiriyyahnya saja, melainkan juga terikat batiniyyahnya antara suami istri itu dan antara suami istri dengan masing-masing orang tuanya.[54]
Akibat hukum adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum, melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bukan saja hanya kepada suami istri tersebut, melainkan juga dengan pihak lain yaitu adanya hak-hak yang harus diterima terhadap anak-anak yang dilahirkannya.
Hak anak yang paling pertama yang dilahirkan dari orang tuanya adalah; hak nasab bagi anak, hak mendapatkan penyusuan, hak mendapatkan pengasuhan, hak memperoleh perwalian, hak menerima biaya hidup, maupun hak kewarisan Dalam pembahasan tentang nasab anak terdapat masa kehamilan anak dalam kandungan ibunya batas minimalnya 6 bulan setelah masa pernikahan, apalagi pada masa sekarang sangatlah mudah dengan kecanggihan teknologi termasuk dalam bidang ilmu kebidanan yang mempelajari ilmu tentang embriologi dalam kandungan seorang ibu.[55]

C.  Sekilas Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010
Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Mochtar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono. Lebih jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kec. yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.[56]
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut menetapkan bahwa: anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut karena perkawinan HJ, Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya. para pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada intinya sebagai berikut;
  1. Bahwa menurut para pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;
  2. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam undang-undang perkawinan. norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1 adalah sah dan sesuai konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ;
  3. Undang undang perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum. akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan tidak sah.[57]
  4. Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskrimintaif, karena itu menurut para pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.[58]
  Menurut putusan mahkam,ah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, menyatakan, bahwa Pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[59] Bertentangan dengan undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya ; Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya".[60] tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hokum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".[61]
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, yang mana putusan itu bersifat abstrak, berdasarkan hal tersebut, menurut penulis bahwa putusan mahkamah konstitusi tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari’ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan syari’ah. sehubungan dengan itu, ketua mahkamah konstitusi Mahfud M.D, mengklarifikasi putusan tersebut dengan menyatakan: bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah sirri.[62] Hubungan perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak bertentangan dengan nasab, waris, dan wali nikah. hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fikih, antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji. intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apa pun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai fikih.[63]
Klarifikasi Mahfud M.D itu sudah benar, karena putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012, memberikan putusan atas permohonan Machica yang telah menikah dengan Moerdiono sesuai undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1, jadi oleh karena putusan makamah konstitusi tersebut mengabulkan permohonan Machica yang sudah menikah dengan Moerdiono kasus ini adalah pernikahan yang tidak tercatat dan dapat diterapkan dalam kasus lain sepanjang kasus posisinya sama dengan kasus itu, jika kasus Machica diterapkan pada kasus perzinahan maka penerapannya menjadi salah.[64]
Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang di lakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dikemudia hari dapat di buktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta yang otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbut dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat di selenggarakan dengan efektifdan efesien. artinya dengan demikian bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkwinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak memerlukan proses pembukian yang memakan waktu yang lama, uang, tenaga dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal usil pada pasal 55 UU 1/1974  yang mengatur bahwa bila asal usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetrapka dengan putusan pengadilan yang berwenang.[65]
Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meining) farsa yang dilahirkan diluar perkawinan. untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dajawab pula permasalahan permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seoranga perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan  perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.[66]
Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil manakala hikum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Adalah tidak tepat  dan tidak adil pula  jia hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan tersebut dari tanggung jawab sebagai seorang ayah dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak tehadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya.[67]
Lebih lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada, memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tersebut.[68]
Akibat hukum dari peritiwa tersebut kelahiran karena kehamilan, yang didahului  dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi, ibu anak dan bapak.[69]
Berdasarkan uraian diatas, hubungan antara anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak dengan semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembutian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinan, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan, padahal anak tersebut tidk berdosa karena kelahirannya diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapat perlakuan yang tidak adil dan stigma ditengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinanya masih di persengketakan.[70]
Menimbah bahwa uraian tersebut diatas maka Pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya’ harus dibaca,”anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya’ tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknoligi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagia ayahnya, sehingga ayat tersebut berbunyi, “,”anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,”[71]
Demikian putusan dalam rapat musyawarah hakim oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap anggota, Acmad Sodikin, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumardi, Anwar Usman, Hamzah Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim.[72]



[1] Jimly Asshiddiqie, dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jakarta, 2002. h. 67
[2] Ibid.,
[3]Jimly,Asshiddiqie, Op.cit, h. 68
[4] Ibid.,
[5] Ibid., 5-6
[6] Ibid.,
[7] Jimly Asshiddiqie dalam Mahkamah Konstitusi: Ketentuan UUD, UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h. 79
[8] Ibid.,
[9] Ibid, h. 82
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,h.83
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 35-36
[15] Nuansa Aulia, Undang –Undang Perkawinan., Op.cit, hal 1
[16]  Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan hukum Islam dan fiqh uu no 1 tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006), h. 38
[17]  Ibid., h 39.
[18]  Ibid.,
[19]  Ibid
[20]  Ibid
[21]  Ibid., h. 40
[22]  Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid., h. 41
[25] M. Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi, Nikah Sirrih, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010), h. 41-42
[26] Ibid
[27] M. Sujadi Dahlan, Fenomena Nikah Sirri bagaimana kedudukannya menurut agama Islam, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 24
[28] Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Sirri,Mut’ah dan Kontrak dalam timbangan Al-Qur’an dan Assunnah, (Yakarta: Darul Haq, 2010), h. 105-107
[29] M.Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri., Op.cit, h. 41-43
[30] H. M. Anahary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 25-26
[31] Ibid
[32] Ibid., h. 20-21
[33] Ibid.,
[34] M. Musthafa Luthfi, Mulyadi Luthfi, Nikah Sirri, Op.cit, h. 153
[35] Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Sirri, Op.cit, h. 108
[36] Ibid.,
[37] Ibid., h. 105
[38] A. Mukti Arto, Diskusi Hukum, Op.cit, h. 22-23
[39] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1999), h. 18
[40] R. Subekti, Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pratnya Pramita, 1996), h. 34
[41] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2001), h. 27
[42] Ibid.,
[43] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 132
[44] Departemen agama RI, Diponogoro, Op.cit,  h. 245
[45] Abdul Jamali, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 28-29
[46] Sayid Sabbiq, Fiqih Sunnah 2,Al-Ma’arif, (Bandung: Al- Ma’arif, 1981), h. 275
[47] Depag, UU Perkawinan, Op.cit,  h. 14
[48] Zakaria Ahmad al-Barri anak belum dewasa dalam hukum islam, terjemah H. agus Salem, ( Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 39
[49] Ibid., h. 16
[50] Undang-Undang Perlindungan Anak no 23 tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 1
[51] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional,(Jakarta: Renika Cipta, 1994), h. 29
[52] Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dan tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1994), h. 15-16
[53] Abdurrahman, kompilasi hukum islam di indonesia, (Jakarta: Akademia Persindo, 1992), h. 137
[54] Martian Prodjohamidiyono, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan, (Surabaya: Pradia Pramitha, 2004), h. 25
[55] A. Zuhdi, Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al- Bayan, 1994), h. 25
[56] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h.  1
[57] Ibid., h. 5
[58] Ibid., h. 4-6
[59] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Depag, 2004), h. 33-34
[60] Ibid
[61] Putusan MK, Op.cit, h. 35
[62] Mahkamah Konstitusi, Sumber:hukumonline.com Sumber :http:// hukum  Indonesia.com, diakses rabu 24 Oktober 2012.
[63]  Mahkamah Konstitusi RI, www.artikelhukum.info, diakses Rabu 24 Oktober 2012.
[64] 23 Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012, http;/www.klarifikasi mk, dinduh rabu tanggal 24 oktober 2012
[65] Ibid.,
[66] Ibid.,
[67] Ibid., h.13
[68] Ibid.,
[69] Ibid.,
[70] Ibid.,
[71] Ibid., h.53
[72] Putusan MK., Op.cit, h 35-37.

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library  research), yaitu penelitian yang menjadikan data pustaka, jurnal-jurnal, buku-buku, undang-undang yang berkaitan dengan penelitian dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri , sebagai sumber data utamanya yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu ilmu pengetahuan.
Desain penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang berusaha mengungkap data secara alamiah, penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lain, variabel dapat di kelompokan menjadi variabel bebas (yang mempengaruhi) dan variabel terikat (variabel terpengaruh). [1]
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. cara ilmiah berarti berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasoinal, empiris, dan sistematis. rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan.sistematis, proses yang dugunakan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah ketentuan yang bersifat logis.[2]
Sedangkan menurut Suharsini Arikunto, ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan kegiatan penelitian yaitu: sistematis, dilakukan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks hingga tercapai tujuan secara efektif dan efisien. Berencana, dilaksanakan dengan adanya ungsur dipikirkan langkah-langkah pelaksanaannya. Mengikuti konsep ilmiah, mengikuti cara-cara yang sudah ditentukan, yaitu prinsip yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu: ’’ingin menjawab pertanyaan melalui analisis terhadap hubungan antar variabel”. sedangkan deskriftif kualilatif adalah: ”penelitian yang menentukan danmenafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, variabel dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya, bentuk yang diamati bisa berupa artikel-artikel buku, putusan mahkamah konstitusi yang mengejala saat sekarang”. berdasarkan kutipan diatas maka penelitian ini untuk mengetahui dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.

B.   Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini” adalah, sumber data sekunder[3] ,yaitu :”data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan”, yaitu diperoleh dengan melakukan studi literatur dan studi dokumen. dalam penelitian ini, literatur yang digunakan adalah buku, jurnal, artikel, majalah baik cetak maupun elektroik, undang-undang nomor 1 tahun 1974, undang-undang dasar 1945, kompilasi hukum islam dan perundang-undangn di indonesia, yang terkait dengan penelitian ini khususnya tentang pernikahan sirri atau dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.

C.  Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan proses pengumpulan data, peneliti akan menggunakan teknik dokumentasi dalam mengumpulkan data yaitu:
   a. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data sekunder, yakni dengan mengumpulkan dokumen-dokumen dan literatur buku-buku, undang-undang, jurnal penelitian  yang semuanya  memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri.


D. Teknik Analisis Data
Data-data maupun literatur buku-buku yang bersifat kualitatif (kurang terpola).[4] setelah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskripsi-analisis, yaitu suatu metode dalam meneliti suatu obyek, situasi serta kondisi, dan sistem pemikiran.[5] Tujuan dari analisis ini adalah untuk memuat deskripsi, gambaran atau likisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. analisis data digunakan dengan menggunakan langkah-langkah diantaranya:
Pertama, pengumpulan data-data artikel, buku-buku, undang-undang, putusan mahkamah konstitusi, maupun yang lainya yaitu kegiatan untuk menemuan data menghimpun sumber-sumber informasi yang relevan dengan penelitian dampak putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. 
Kedua, interprestasi data, yaitu tahap penyusunan fakta dalam kerangka logis dan harmonis, sehingga menjadi kesatuan yang utuh.
Ketiga, penulisan, yaitu tahap ketiga dengan sistematis, logis, dan konsisten. Secara teoritis analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah difahami, dan temuanya dapat di informasikan kepada orang lain.[6]

E.   Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis ingin mendeskripsikan tentang Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/puu-viii/2010 terhadap status anak hasil pernikahan sirri, dalam pendekatan ini penulis menggunakan pendekatan secara Yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan mahkamah konstitusi nomor 46/puu-viii/2010 serta norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat.[7]
Selain itu juga pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan kalimat yang ada, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari permasalahannya dengan menggunakan pendekatan berfikir deduktif.[8]
Pendekatan yang dapat di ambil antara lain, pertama, studi deskriptif yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai factor-faktor yang merupakan pendukung terhadap penelitian, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel yang sesuai dengan penelitian ini. kedua, studi ekperimen, yaitu dengan sengaja mengusahakan timbulnya variable-variabel (objek penelitian), dan selanjutnya di control untuk di lihat pengaruhnya.[9]




[1] M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama Pndekatan Teori dan Praktek, (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 35-36
[2] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif-Kualitatif dan R & D, (Bandung: CV Alfabeta, 2002), h. 2
[3] Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 12
[4]  Ibid., h. 7
[5]  Ibid., h. 25
[6] Sugiyono, Metode Penelitian., Op.cit, h. 243-244
[7] Zainudin Ali, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 11
[8] Ibid.,
[9] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Reneka Cipta, 2002), h. 85-89




BAB IV
PEMBAHASAN DAN TEMUAN PENELITIAN

A.          Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010 Terhadap Status Anak Hasil Pernikahan Sirri
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Putusan Nomor. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 telah melakukan terobosan hukum dengan memutus bahwa  Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan; “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya’[1] dan dalam kompilasi hukum islam pasal 100  yang berbunyi ‘anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.[2]bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28B Ayat (1) berbunyi “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pasal 28B ayat (2) berbunyi” setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”[3] Dan dalam pasal 28D UUD 1945 berbunyi”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”[4] Karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan dengan ayahnya, sehingga melalui putusan mahkamah konstitusi Nomor. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012  Seharusnya ketentuan dari UU Perkawinan tersebut berbunyi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.[5] Adapun Alasan hukum yang melatar belakangi (rechtfinding) tersebut untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.[6]
Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia  dengan terobosan hukumnya tersebut membuka titik terang hubungan antara anak yang didilahirkan dari luar perkawinan dengan bapaknya. Hubungan darah antara anak dan ayah dalam arti biologis bisa dikukuhkan berdasarkan proses hukum.
Membuka kemungkinan hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus bertanggung jawab terhadap anak luar nikah. Subjek hukum tersebut akan bertanggung jawab sebagai bapak biologis dan bapak hukumnya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum, pengakuan terhadap anak di luar perkawinan dapat dilakukan dengan suatu akta ontentik bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan. (KUHP Perdata pasal 281).[7]
Selein itu juga menurut penulis bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan terhadap anak yang dilahirkan dari luar perkawin oleh ayah biologisnya dilakukan dengan cara, Pengakuan oleh sang ayah biologis dan Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak nikah sirri tersebut.
Sehingga keputusan mahkamah konstitusi tersebut  menguatkan kedudukan ibu atas anak nikah sirri/luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari hasil pernikahan sirri.
Jika terdapat kemungkinan yang terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan sukarela maka anak hasil pernikahan sirri tetap mendapatkan pengakuan perdata paska putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 jika mampu membuktikan secara hukum bahwa ia adalah ayah biologisnya. Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya. Pada saat itu juga akan timbul hubungan perdata dengan ayah biologis dan keluarganya dengan anak luar kawin atau hasil pernikahan sirri yang diakui.
Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah dan anak sesuai dengan Pasal 280 KUHPer yaitu “Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.”[8]
Namun selain berita untuk pengakuan anak luar perkawinan. Perlu menjadi perhatian bahwa dalam putusan mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tidak ada disebutkan mengenai akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar perkawinan, berimplikasi status hukum dan pembuktian asal usul anak luar perkawinan.
Perlindungan anak dalam Islam mempunyai posisi yang sangat mulia karena anak dalm Islam adalah amanah yang harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sempurna sebagaimana fitrahnya.
Dalam Islam perlindungan anak disebut dengan hadannah, yaitu sebagai mana pendapat Zakaria Ahmad Al-Barri, hadannah artinya memelihara dan mendidik anak, menyediakan makanan, pakaian dan menjaga kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak.[9]
Dengan demikian bahwa perlindungan mencakup perlindungan dari segi pemeliharaan, pendidikan, makanan, dan kebersihan anak pada masa-masa pemulaan umur seorang anak. sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak, hak anak disebutkan:[10]
  1. anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. perlindungan anank adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekeraan dan diskriminasi.[11]
Dalam Islam anak yang diakui atau anak yang sah adalah anak dari hasil perkawinan yang sah pula. Dan anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan tersebut mendapatkan hak untuk dididik dan dirawat yaitu orang tua harus menjaga, memimpin dan mengatur segala hak anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya.[12]
Dengan demikian dapat diambil  pengertian bahwa anak yang sah adalah anak dari hasil perkawinan yang sah pula.[13] Sedangkan anak dari hasil perkawinan dibawah tangan adalah anak atau keturunan yang dihasilakn dari sebuah perkawinan dimana perkawinan itu tidak diakui oleh negara, yaitu dengan tidak menghadirkan pembantu Pagawai Pencatat Nikah, (P3N ) dalam melangsungkan pernikahan, sehingga pernikahan dibawah tangan tidak tercatat dengan baik.[14]
Untuk asal usul seorang anak Pasal 100 yaitu “anak yang dilahirkan dari hasil hhubungan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya” hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainya ayat (1),[15] bila akta kelahiran atau alat bukti Laiannya yang tersebut dalam pasal (1) tidak ada, maka pengadilan agama dapat melakukan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan memeriksaan dan meneliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.[16]
Akta kelahiran yang memiliki dasar hukum yang kuat dalam pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tahun perkawinan. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.”[17]
Akta kelahiran anak hasil pernikahan sirri hanya tercantum nama ibunya hal ini jelas karena pada saat pembuatan akta kelahiran anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Dalam akta kelahiran anak luar kawin akan terdapat redaksi dilahirkannya seorang anak dengan nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu. hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a Pp No. 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Uu No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.[18]
Anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest/sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPer. Anak luar kawin adalah anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan perkawinan yang berarti kedua tidak terikat perkawinan.
Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan sedarah sedangkan anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan salah satu atau keduanya memiliki ikatan perkawinan lain, tanpa mengurangi ketentuan pasal 273 mengenai anak penodaan darah.” Anak yang dilahirkan dari orang tua, yang tanpa memperoleh dispensasi dari pemerintah tidak boleh kawin satu sama lainnya, tidak dapat disahkan selain dengan cara mengakui anak itu dalam akte kelahiran.[19]
Dengan demikian anak luar perkawinan dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Anak luar perkawinan yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayah biologisnya Pasal 280 KUHPer.[20]
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu overspelig atau bloedsrhenning anak zinah. Ayah biologis dan anak luar perkawinan hanya terjadi hubungan perdata jika ada pengakuan yang diatur dalam Pasal 280 KUHPer. Tanpa pengakuan dari ayah biologis dan/atau ibunya, pada dasarnya anak itu bukan anak siapa-siapa dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.[21]
Hubungan hukum orangtua dan anak yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah. hubungan hukum anak luar perkawinan dengan ayah yang mengakuinya adalah hubungan darah. hubungan darah dalam hal ini dipahami adalah pengakuan secara yuridis tidak hanya sekedar pengakuan biologis saja.
Jika berbicara soal kedudukan anak luar perkawinan di dalam hukum faktanya lebih rendah dibanding dengan anak sah. Bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. untuk dapat menjadi seorang ahli warisnya KUHPer telah menetapkan berdasarkan Pasal 832 KUHPer yang menyatakan”menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama.
Bila keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.[22] harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. terdapat juga kemungkinan dengan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPer yaitu” segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.[23]
Sedangkan berdasarkan Pasal 836 KUHPer, ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Dengan disimpangi oleh Pasal 2 KUHPer yang menyebutkan bahwa ”anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.”[24]
Dalam Pasal 832 KUHPer disebutkan dengan jelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari hubungan darah baik sah maupun luar perkawinan. kedudukan anak pewaris sebagai ahli waris dikenal sebagai anak luar perkawinan yang diakui secara sah maupun tidak.KUHPer memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah dalam Pasal 250 KUHPer bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan/atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. maka anak luar perkawinan adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.[25]
Pengakuan terhadap anak luar perkawinan, haruslah dilakukan dengan sukarela yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang. sesuai Pasal 281 KUHPer untuk dapat mengakui seorang anak luar perkawinan, ”bapak atau ibunya dan/atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut”. Pengakuan dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sesuai Pasal 281 KUHPer.[26]
Dengan adanya pengakuan ini akan berakibat anak luar kawin menjadi seorang anak sah. Melalui akta otentik seperti akta notaris yang diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPer dapat juga dilakukan untuk pengakuan anak luar kawin.[27]
Serta cara pengakuan terakhir dapat dilakukan dengan pembuatan akta oleh pegawai catatan sipil untuk melakukan pendaftaran kelahiran catatan sipil. Pengakuan paksaan juga bisa dilakukan atas anak luar perkawinan.
Dilakukan oleh anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada pengadilan negeri. Supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 287-289 KUHPer.[28] Dengan syarat anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar perkawinan/nikah sirri/dibawah tangan yang terlahir dari ibu dan bapaknya yang tidak terikat perkawinan yang sah serta tidak tergolong anak zina atau anak sumbang.[29]
Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama. pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu bervariasi bentuknya. mulai dari perkawinan lewat kantor urusan agama (KUA), perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat, yaitu kawin sirri. perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, kantor catatan sipil bagi non-Islam). Istilah sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin siri, menurut arti katanya, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.[30]  Kawin sirri tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. kawin itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.[31]
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan ataupun warisan dari ayahnya.[32]
Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum Islam. Perkawinan sirri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.[33]
Selain nikah sirri ada pula perkawinan secara biologis atau disebut zina. zina juga mengakibatkan akibat hukum yaitu munculnya anak luar kawin. Nama penyanyi Machica Mochtar mungkin akan dikenang sebagai orang yang membawa perubahan pada UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selama 38 tahun berlaku, diwarnai suara pro dan kontra, UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan hampir nyaris tak tersentuh. Sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil nikah sirri status hukumnya sama dengan anak luar kawin hasil zina yakni hanya punya hubungan hukum dengan ibunya (lihat Pasal 43 ayat (1) uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan).[34]  Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir dari kawin sirri dan juga zina, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak.
Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu.[35] Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya. akan tetapi, kemudian mahkamah konstitusi melalui putusan mahkamah konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.[36]
Anak luar perkawinan yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 yaitu yang berbunyi, ”dengan pengakuan anak di luar perkawinan terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan kepada ibunya dan bapaknya.[37] Pasal 863 KUHPerdata.[38] anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu
  1. anak luar kawin
  2. anak zina
  3. anak sumbang,
Sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 dan 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.[39]
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain atau sendiri-sendiri atas status anak-anak seperti tersebut di atas. sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar perkawinan menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.[40]
Perbedaan antara anak luar perkawinan dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi Pasal 30- 31 KUHPerdata.[41]
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya Pasal 280 KUHPerdata.
Kedudukan anak diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut.
Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. [42]
Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian. anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya.[43]
Menurut kitab undang-undang hukum perdata, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan. yang dimaksudkan dengan “keturunan” disini adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang pekawinan adalah anak-anak sah.[44] Sedangkan anak-anak lainnya, yakni anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan, dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah juga sering disebut anak anak alami atau jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.[45]
Berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas dan sempit. anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang, anak luar kawin dalam arti sempit ini yang dapat diakui. sedangkan dalam Islam anak luar kawin disebut sebagai anak zina.
Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yan sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh suaminya. Anak zina itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir.[46] 
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam Pasal 42 anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merupakan anak luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya Pasal 43 undang-undang perkawinan. artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan.[47]
Dalam undang-undang perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. akan tetapi sampai saat ini peraturan pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak tersebut.
Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum.[48]  Dengan adanya ketentuan dalam undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 43 yang menyatakan bahwa anak luar perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut.
Maka menurut penulis  secara hukum anak tersebut berada dalam asuhan dan pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara dan mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak.
Undang-undang perkawinan tidak mengenal anak luar kawin terhadap ibunya, oleh karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya, asas mana didasarkan pada asas yang terdapat dalam hukum adat.
Memang bagaimanapun juga lahirnya anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. tidak mungkin anak lahir tanpa ibu. anak itu mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga dari ibunya itu, tetapi tidak ada hubungan perdata dengan laki-laki yang membenihkannya.[49]
Pengaturan mengenai kedudukan anak luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 selama ini dianggap tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan hukum dan cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. putusan mahkamah knstitusi ini juga mencerminkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.[50]
1        Perlindungan Hukum Terhadap Anak Hasil Pernikahan Sirri  Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor 46/Puu-Viii/2010
Pasca putusan mahkamah konstitusi anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, yaitu; ‘pernikahan yang sah menurut agama namun tidak tercatatkan dalam kantor urusan agama atau negara yang berwenang di suatau negara.[51] seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan mahkamah konstitusi telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan administratif negara.
Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya.
Si anak dalam akta kelahirannya tidak dicantumkan nama bapaknya sehingga muncul stigma negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat bahwa perkawinan sirri merupakan praktek poligami terselubung. Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya perkawinan tersebut sehingga hak-hak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut tidak di penuhi secara baik.[52]
Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan dengan “pengakuan sukarela” dari laki laki yang menjadi ayahnya. Akan tetapi, terhadap proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif menurut aturan administrasi negara.[53]
Putusan mahkamah konstitusi ini berimbas juga pada anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina. terhadap kelompok anak luar perkawinan ini maka pemberlakuan aturan hukum harus dilakukan secara cermat, sesuai dengan konteks hukum yang berlaku. Menurut analisis Penulis Bahwa  putusan mahkamah konstitusi tersebut semata-mata  dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang tidak berdosa, karena itu ayah biologisnya tidak  bisa melepaskan diri dari  tanggung jawab keperdataan atas anak luar kawin.  Karena itu  nilai-nilai perkawinan yang suci dan luhur harus di junjung tinggi sebab dengan melakukan hubungan diluar nikah,  ayah biologisnya  tetap tidak bisa melepaskan tanggung jawab keperdataannya atas anak yang dilahirkannya.
1        Status Anak Yang Sah Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pembahasan anak sah ditinjau dari undang-undang dapat dilihat dari beberapa ketentuan, antara lain Pasal 28B ayat 1 undang-undang dasar tahun 1945 berbunyi: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.[54] kata-kata melanjutkan keturunan adapun pengertian pasti terjemahan konkritnya adalah anak. yakni kehadirannya melalui pertemuan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”[55]
Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh mahkamah konstitusi oleh karena itu keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut putusan mahkamah konstitusi memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena lembaga seksual di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar tetapi tidak dapat melepaskan diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974.[56]
Putusan putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat dikatakan anak hasil perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu juga jika yang dimaksudkan oleh undang-undang adalah “zina“ maka bahasannya jelas yaitu zina, bukan luar perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu berbunyi “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan antara ovum dan spermatozoa baik berdasarkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. “ Pasal itu jelas membedakan antara zina dengan luar perkawinan, Oleh karena itu menurut penulis tidak pada tempatnya jika kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil perzinahan, karena sesungguhnya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatatkan sah menurut agama.[57]
1        Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010  Terhadap Hubungan Keperdataan, Nafkah, Perwalian, Warisan, dan Nasab  Anak Hasil Pernikahan Sirri
a. Nafkah dan Perwalian
Pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 46/ PUU-VIII/2010 tanggal 17 februari 2012 dapat diprediksi bahwa akan banyak pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan agama, atau ke pengadilan negeri, dalam kaitan dengan gugatan atau permohonan hak-hak keperdataan anak luar kawin. terutama menyangkut masalah Itsbat Nikah (bagi yang telah kawin sirri), nafkah anak, waris dan lain sebagainya, jumhur ulama dari kalangan mazhab hanafi, syafi’i, hambali, memandang bahwa pernikahan sirri ini sah, namun di makhruhkan.[58]
Berkaitan dengan nafkah/biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam bentuk nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban berupa penghukuman (ta'zir) terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa. Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 53 berbunyi ”wanita yang hamil di luar kawin dibolehkan melakukan perkawinan dengan lelaki yang menghamilinya, dan bagi anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai anak zina/ anak di luar perkawinan, meski dilakukan hingga melahirkannya seorang anak dilakukan sebelum perkawinan dilakukan.[59]
Dalam perspektif hukum perdata, yaitu akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan dengan seorang wanita  atau melakukan wat’i dan berkumpul selama wanita itu bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan.[60]
Anak yang lahir di luar kawin atau dihasilkan dari hubungan antara seorang anak laki laki dan seorang perempuan yang tidak terikat perkawinan, serta keduanya tidak terikat perkawinan pula dengan siapapun dan tidak ada larangan bagi mereka untuk kawin, maka anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut dapat menjadi anak yang sah melalui pengakuan dari Bapaknya (Pasal 280 KUHPerdata). Sedangkan pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata. yaitu:[61]
Begitu pula halnya dengan kantor catatan sipil yang akan banyak menerima dan menangani permohonan akta kelahiran, termasuk instansi terkait seperti kantor kelurahan, maupun kantor urusan agama dalam hal adminsitrasi perkawinan. Untuk itu, peran notaris dalam pembuatan akta terkait harus mendapat penyesuaian. Mengingat putusan mahkamah konstitusi dalam peraturan perundang-undangan di tingkat pelaksana. Menurut Penulis Koridor yang harus menjadi pegangan dalam melihat konteks anak luar perkawinan ini adalah, bagaiamana memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan hak konstitusional anak dalam tumbuh-kembangnya menjadi manusia dewasa.
Karena bagaimanapun juga, anak adalah harapan bangsa, baik-buruknya kualitas generasi penerus bergantung kepada, bagaimana sebuah bangsa/negara memperlakukan anak-anaknya dan menjaga lingkungannya dalam menggapai masa depan.[62]
Dengan hadirnya berita di Republika tentang dikabulkannya permohonan uji materiil dari Aisyah Muhtar alias Macicha Muhtar terhadap UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam website Republika.co.id edisi 20 februari 2012, dari cuplikan berita itu disebutkan anak yang lahir diluar nikah sepanjang secara ilmu pengetahuan, teknologi dan sesuai alat bukti menurut hukum dapat dibenarkan maka dapat di kabulkan bahwa anak dimaksud memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan ayah biologis dan keluarga ayah biologis anak.[63]
Dampak putusan Mahkamah Konstitusi adalah erga omnes yaitu: (mengikat untuk seluruh bangsa) sehingga wajar apa bila dari putusan yang masih dinilai baru timbul gejolak dalam pemikiran bangsa, mengingat di Indonesia terdapat beberapa Agama yang di akui secara konstitusi, sedangkan dari masing-masing agama itu pula memiliki karakteristik dan doktrin yang berlainan.[64]
Perjuangan Aisah Muhtar alias Macica Muhtar dalam rangka melindungi kepentingan anaknya (buah cinta dari Moerdiono) dalam materi judial review tersebut adalah mempermasalahkan pernikahan sirrinya dengan Murdiono yang tidak tercatat di KUA karena ternyata nikah sirrinya berupa poligami yang tidak melalui izin pengadilan agama bahkan sampai memiliki anak bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Pemahaman selanjutnya menurut pemohon karena pernikahan yang tidak tercatat itulah menganggap anaknya lahir diluar nikah sebagaimana yang dimaksud pasal 43 ayat(1) UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan ”anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[65]
Memperhatikan pertimbangan dan putusan mahkamah konstitusi tentang pencatatan adalah hal penting sehingga juga diperlukan adanya tertib pencatatan itu. Dari putusan mahkamah konstitusi halaman 33 tentang pencatatan adalah bukan merupakan faktor yang menentukan syahnya perkawinan, pencatatan hanya merupakan kewajiban administratif pencatatan, sehingga dapat ditarik pemahaman dari inti permohonan a quo adalah hanya terbatas pada anak yang lahir dalam perkawinan syah menurut materiil agama tetapi tidak dicatatkan. untuk pasal 43 ayat(1) menjadi dikabulkan dengan penambahan kalimat: serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan /atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.[66]
Memperhatikan dari alur masalah, pembuktian, dan beberapa pendapat yang dipermasalahkan adalah anak yang lahir dari pernikahyan sirri bukan hasil perzinahan, sedangkan dalam kaidah pemeriksaan perdata hakim terikat dengan dalil gugatan dan tidak boleh menyimpang dan azas hukum (secundum allegata iudicare).[67]
Maka menurut Penulis maksud pasal 43 ayat (1) yang sudah di tambahkan oleh mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut adalah harus difahami terhadap anak yang memang lahir dari perkawinan sirri syah secara matiriil dengan dibuktikan melalui ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.
Apabila pemahaman kita semua sama seperti itu menurut penulis tidak akan bertabrakan dengan norma, kesusilaan, keadilan dan kepatutan. adapun terhadap anak yang memang lahir dari hasil perzinahan secara sosial ayah biologisnya tetap bertanggung jawab akan tetapi terhadap nasab untuk kepentingan hukum apalagi menyangkut kepentingan agama seperti perwalian maka sudah tidak bisa menjadi wali namun di gantikan dengan wali hakim, jika pernikahannya tidak sah maka status walipun tidak sah.
 Sedangkan Menurut mazhab syafi’i wali adalah salah satu syarat untuk sahnya pernikahan, yang mana tidak ada wali maka sama saja tidak ada pernikahan.[68]

b.      Waris Dan Nasab Anak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari Tahun 2012 tidak membahas masalah kewarisan dan nasab. Namun melalui putusan tersebut, mahkamah konstitusi telah membuka jalan bagi timbulnya hak-hak anak yang lahir di luar perkawinan.
Berkaitan dengan kewarisan, tidak bisa diwujudkan dalam bentuk konsep waris dalam Islam, tapi dapat diwujudkan dalam bentuk lain, misalnya dengan konsep wasiat wajibah. Begitu pula dengan nafkah/biaya penghidupan anak, tidak diwujudkan dalam bentuk nafkah anak sebagaimana konsep hukum Islam, melainkan dengan bentuk kewajiban berupa penghukuman (ta'zir) terhadap ayah biologisnya untuk membayar sejumlah uang/harta guna keperluan biaya hidup anak yang bersangkutan sampai dewasa.
Sebab ketentuan tentang nafkah anak dan waris berkaitan dengan nasab, padahal anak luar kawin tidak bisa dinasabkan pada ayah biologisnya. dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 53 berbunyi ”wanita yang hamil di luar kawin dibolehkan melakukan perkawinan dengan lelaki yang menghamilinya, dan bagi anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai anak zina/ anak di luar perkawinan, meski dilakukan hingga melahirkannya seorang anak dilakukan sebelum perkawinan dilakukan.[69]
Dalam perspektif hukum perdata, yaitu akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan dengan seorang wanita  atau melakukan wat’i dan berkumpul selama wanita itu bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau persusuan.[70]
Anak yang lahir di luar kawin atau dihasilkan dari hubungan antara seorang anak laki laki dan seorang perempuan yang tidak terikat perkawinan, serta keduanya tidak terikat perkawinan pula dengan siapapun dan tidak ada larangan bagi mereka untuk kawin, maka anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut dapat menjadi anak yang sah melalui pengakuan dari Bapaknya (Pasal 280 KUHPerdata). pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata. yaitu:[71]
1)      Kedua orang tua sang anak menghadap pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut, agar dalam akta kelahiran sang anak dapat dimuat nama kedua orang tuanya;[72]
2)      Pengakuan kedua orang tua tersebut juga dapat dilakukan ketika perkawinan kedua orang tuanya berlangsung, untuk kemudian dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) jo. Pasal 272 KUHPerdata;[73]
3)      Pengakuan kedua orang tua juga dapat dilakukan dalam akta otentik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata;
Dengan sahnya kedudukan anak luar perkawinan dalam perspektif hukum perdata di atas, maka menurut analisis Penulis anak yang semula tidak memiliki hak waris, menjadi memiliki hak untuk mendapatkan waris dari orang tuanya.
Mengenai masalah kewarisan di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 yang mengatakan: “untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek), ordonansi perkawinan Indonesia kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), peraturan perkawinan campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh setelah diatur dalam undang-undang ini, dinyatkan tidak berlaku”.[74] Ketentuan dalam KUHPerdata masih dapat diterapkan karena belum ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya.[75]
Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. namun pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan tionghoa yang diatur dalam KUHPerdata. dalam KUHPerdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli waris anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya.[76]
Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu dari mereka atau kedua-duanya berada di dalam perkawinan dengan orang lain.

B.     Dampak Positif Dan Negatif Serta Pro Kontra Status Anak Hasil Pernikahan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Viii/2010

1. Dampak Positif

 Dampak Positif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".[77]
Apabila dianalisis, maka logika hukumnya putusan mahkamah konstitusi ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar nikah dengan bapak biologisnya; adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya.
Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut.
Dalam hal ini terbuka kesempatan bagi para anak diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya.
Dampak positif putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terbuka kesempatan bagi para anak diluar nikah untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. dampak negatifnya putusan putusan mahkamah konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan hukum Islam.
Hukum Islam menyatakan bahwa, status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian.
2. Dampak Negatif
Dampak Negatifnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan hukum islam. hukum Islam menyatakan bahwa, status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian,(suami nenuduh istri berbuat zina) oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:[78]
a)      Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
b)      Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
c)      Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.[79]
Perbedaan perlindungan hukum antara anak dari hasil hubungan zina dengan anak dalam ikatan perkawinan, telah diterangkan dalam beberapa hadits shahih yang menentukan bahwa anak hasil hubungan zina tidak memiliki hubungan keperdataan dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.[80]
Dampak negatif lainnya hadir dalam segi teknis dengan adanya putusan mahkamah konstitusi ini, maka keadaan itu semua berubah. diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya. hal ini berakibat pula adanya hubungan waris. Jadi, si anak berhak atas warisan ayahnya tersebut. ini tentu saja merepotkan pembagian warisan yang dilakukan oleh notaris. kondisi tersebut menimbulkan masalah apabila warisan sudah terlanjur dibagikan kepada anak yang sah dari perkawinan. lalu tiba-tiba muncul anak luar kawin yang mengklaim dan membawa bukti bahwa dia juga anak biologis dari pewaris.
Selain itu berdampak kepada jual beli harta warisan, misalnya berupa tanah. kekhawatiran lain misalnya suatu waktu dalam pembuatan akta Jual Beli, tetapi tiba-tiba datang anak luar kawin yang menuntut karena merasa mempunyai hak waris.[81]
Dampak negatif dengan adanya putusan mahkamah konstitusi ini, maka keadaan itu semua berubah dan merepotkan pembagian warisan yang dilakukan oleh notaris. sebaiknya mahkamah konstitusi hanya mengabulkan permohonan pemberian status anak luar kawin dari pernikahan siri bukan anak dari hasil zina. karena tentunya hal ini membawa dampak yang bukan hanya teknis tetapi ideologis dan akidah umat islam.[82]
3. Pro Kontra
Mahkamah konstitusi dalam hal ini telah melampaui permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi tidak dicatatkan di KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Majelis Ulama Indonesia menilai putusan mahkamah konstitusi ini sangat berlebihan, melampuai batas, dan bersifat "over dosis" serta bertentangan dengan ajaran Islam dan pasal 29 UUD 45.[83] 
Menurut Makruf Amin, putusan mahkamah konstitusi  itu memiliki konsekuensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya karenahal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Akibat nyata putusan makamah konstitusi, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris.
dengan demikian, sudah jelas putusan mahkamah konstitusi ini telah menyebabkan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan apalagi sekedar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah.
hal ini sangat menurunkan derajad kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan, bahkan pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak.[84]
Perjuangan Machica dan tim pengacara selama satu setengah tahun di Mahkamah Konstitusi membuahkan hasil. Mahkamah Konstitusi seolah memberikan kado istimewa. rumusan dalam dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dibatalkan. berdasarkan putusan mahkamah konstitusi, anak luar kawin juga mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.[85]
Mahkamah Konstitusi ingin menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. “Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,”.[86]
Anak luar perkawinan, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain. Artinya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina. Pasal 44 ayat (2) undang undang perkawina nomor 1 tahun 1974 memberi wewenang kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak.[87]
Bisa juga ibu dan ayahnya sama-sama masih lajang, sehingga anak disebut anak luar nikah. berdasarkan undang-undang nomor 1 tahuin 1974 pasal 42, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.[88]
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal 53 KHI jika si pria menikahinya,[89] maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUHPerdata juga menyebutkan demikian. pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata Pasal 280 KUH Perdata. Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut.  namun dalam praktik, sering terjadi anak luar kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya.
Inilah yang mendasari pandangan mahkamah konstitusi bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA (deoxyribonucleic acid), atau sistim pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk memperjelas ayah biologis anak.[90]
Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) undang-undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.[91]
Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan anak luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligus. Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang melakukan perkawinan sirri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina. “pokoknya, siapapun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya,”.[92]
Sebabnya komnas perempuan menyambut baik putusan mahkamah konstitusi karena sejalan dengan konstitusi dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan UU No 7 Tahun 1984. “Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak,” demikian bunyi pernyataan resmi Komisi yang diterima hukumonline.[93]
Sepekan setelah putusan mahkamah konstitusi dibacakan, komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah artikel yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan spektakuler’. ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat (1). Selain itu dalam penerapak secara maksimal yaitu undang-undang no 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, undang-undang RI no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, undang-undang RI nomor 23 tantang perlindungan anak, [94]
Sebaliknya, sebagian kalangan ulama Islam melayangkan kritik. Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa perkawinan orang tuanya dianggap sah. petugas KUA kemungkinan akan menolak memberikan buku nikah orang tua anak luar kawin karena mereka tidak pernah nikah secara resmi. “Alangkah baiknya putusan itu dikaji ulang,”[95]
Putusan mahkamah konstitusi juga dinilai akan membuat repot pembagian waris. dalam praktik selama ini, tidak semua anak luar kawin memperoleh waris. Jika anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya maka si anak juga menjadi ahli waris terhadap ayah biologisnya.
Melenyapkan perbedaan perlindungan hukum atas kedua kondisi itu akan menjadikan lembaga perkawinan menjadi sesuatu yang tidak relevan, hal ini tidak dapat diterima oleh agama Islam. bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi jika dari hasil perbuatan zina itu terlahir anak perempuan dan kelak ia akan menikah, bisa jadi, akibat keputusan mahkamah kostitusi ini sang bapak (penzina) dapat menjadi wali nikah bagi anak hasil zinanya, yang notabene hal ini bertentangan dengan syari’at Islam. dalam syariat Islam anak hasil zina harus dinikahkan oleh wali hakim. jika tidak, pernikahan tersebut tidak sah, namun menjadi sah dihadapan hukum negara akibat putusan mahkamah konstitusi. Kesalahan fatal seperti ini adalah dampak dari lahirnya putusan sembrono tersebut.[96]
Menanggapi berbagai pandangan dari beberapa pihak atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana yang dimohonkan oleh Aisyah Mochtar alias Machicha Mochtar, mahkamah konstitusi merasa perlu untuk memberikan beberapa penegasan dan penjelasan terkait tiga hal.  Menurut wakil mahkamah konstitusi Ahmad Sodiki, putusan itu berdasar pada tiga hal:
Pertama, lanjut Sodiki, perspektif alamiah dan konstitusionalitasnya. setiap kelahiran, secara alamiah pasti didahului oleh adanya kehamilan seorang perempuan sebagai akibat terjadinya pembuahan (pertemuan ovum dengan spermatozoa) melalui hubungan seksual dengan laki-laki atau melalui rekayasa tekhnologi. “Laki-laki dan perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggung jawab, karena dalam Pasal 28B ayat 2 UUD 1945, atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” terang Ahmad Sodiki wakil ketua mahkamah konstitusi, dalam jumpa pers di gedung mahkamah konstitusi, jalan medan merdeka barat No 6 Jakarta, Rabu (07/03).[97] Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di masyarakat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yaitu kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara indonesia dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam pelaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, peerdamaian abadi dan keadilan sosial.[98] dan Pasal 28I KUHPerdata.
Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. “tanggung jawab melekat kepada keduanya (laki-laki dan perempuan), bukan hanya pada salah satunya.[99]
Setiap anak lahir dalam keadaan suci dan tidak berdosa, ia lahir bukan atas dasar kehendaknya, terlebih lagi untuk dilahirkan dalam keadaan yang demikian dilahirkan tanpa ada ikatan pernikahan ibunya. merupakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan sosial manakala hukum memberikan stigma kepadanya sebagai anak tanpa bapak dan anak tanpa ada yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh kembang secara wajar dalam masyarakat melalui pendidikan.[100]
Kedua, makna hukum (legal meaning) putusan mahkamah konstitusi  membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum (judical) dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi mutakhir dan hukum. Dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di dalam masyarakat. selain itu, Sodiki menjelaskan terkait adanya penafsiran bebarapa orang yang mengatakan putusan mahkamah konstitusi sama halnya dengan melegalkan perzinahan. menurutnya, putusan ini harus dipahami untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan perzinahan merupakan dua rezim hukum yang berbeda. putusan ini bukan untuk melegalkan perzinahan, tetapi untuk memberikan perlindungan keperdataan kepada anak.[101]
Ketiga, perspektif undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. menurutnya, undang undang perkawinan memilki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi, sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara, namun dalam pengertian materilnya merupakan hukum yang bersifat majemuk (plural), sehingga normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada Pasal 2 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa norma sahnya perkawinan adalah munurut pasal 2 ayat (1) yaitu ”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[102]

C.          Respon Majelis Ulama Indonesia Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/puu-viii/2010

Keputusan mahkamah konstitusi nomor 46/puu-viii/2010 soal status anak di luar nikah memicu perdebatan. Majelis Ulama Indonesia menilai keputusan mahkamah konstitusi tersebut melampaui batas. Alasannya, keputusan itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan pasal 29 UUD 1945. yaitu’negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa.[103]  
Putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 itu telah melampaui permohonan yang sekedar menghendaki pengakuan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan tapi tidak dicatatkan kepada KUA menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.[104]
Sebulan setelah putusan mahkamah konstitusi tersebut, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No 11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal yang tidak jelas dalam putusan mahkamah konstitusi.[105]
Menurut penulis Majelis Ulama Indonesia mengingatkan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. tetapi majelis ulama Indonesia juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran.
Harapan putusan mahkamah konstitusi mengenai anak luar perkawinan mungkin akan terus menuai polemik.  Apapun materi perdebatan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komnas Perempuan meminta agar hakim-hakim peradilan menggunakan putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010  dalam memutus perkara terkait hak anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Komnas perempuan juga meminta pemerintah mensosialisasikan Putusan Mahkamah Konstitusi lintas sektor karena membawa implikasi yang sangat luas. Menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawian. Majelis Ulama Indoneisa menilai putusan mahkamah konstitusi tersebut sangat berlebihan, melampaui batas dan bersifat overdosis.
Menurut Majelis Ulama Indonesia putusan mahkamah konstitusi ini berdampak konsekuensi yang luas termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, yang dimaksud dalam undang-undang perkawinan ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam hal perawinan dan dijadikan pedoman hakim dalam lembaga peradilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.[106] 
Menurut Majelis Ulama Indonesia melalui Ma'ruf Amin, hal ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. "akibat nyata Putusan Mahkamah Konstitusi, kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban dan perolehan nafkah, terutama hak waris," cetus Ma'ruf. Sehingga jelaslah putusan mahkamah konstitusi ini menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan. namun Ma'ruf menegaskan, tidak ada diskriminasi terhadap anak hasil zina. "karena memang hukumnya anak hasil zina itu beda dengan anak hasil perkawinan sah. Kalau anak hasil perkawinan sah mempunyai hubungan dengan bapak dan ibunya. tapi anak hasil zina hanya punya hubungan dengan ibunya. begitu hukum agamanya," pungkas  Majelis Ulama Indonesia.[107]
Terkait masalah Machica Mokhtar, Majelis Ulama Indonesia mengatakan, hukum kasusnya berbeda. "karena anak Machica bukan hasil zina, melainkan pernikahan sirri atau di bawah tangan. yang mana hal ini hukumnya dalam Islam disamakan dengan yang nikah tercatat di kantor urusan agama, sedangkan untuk mengkordina masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keterauran dalam sistem kehidupan, termasuk dalam perkawinan yang diyakini  tidak luput dari berbagai ketidak teraturan dan pertikaian antara suami istri. Karena itu keterlibatan penguasa/negara dalam mengatur perkawinan dalam bentuk pencatatan merupakan suatu keharusan.[108]
Menurut Majelis Ulama Indonesia Mahkaman Konstitusi membuat keputusan revolusioner pada Jumat 12 Februari 2012. mahkamah konstitusi menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang perkawinan diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".[109]
Dengan putusan ini, maka Majelis Ulama Indonesia Menilai bahwa anak hasil nikah siri atau pun di luar nikah berhak mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti biaya hidup, akte lahir hingga warisan. putusan mahkamah konstitusi tersebut telah menuai kontroversi serta menimbulkan kegelisahan, kerisauan di kalangan umat Islam, karena berkembang pendapat dan pemahaman masyarakat, bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut telah mengubah syariat Islam, melanggar ajaran Islam, mengubah tatanan kehidupan umat Islam dan mengacak-acak syariat Islam.[110]
Dalam sebuah jumpa pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat, KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI) didampingi oleh Ustadz Amir Tambunan (Sekum), DR.HM. Asrorun Ni’am Sholeh (Sekretaris Komisi Fatwa), dan Ichwan Sam (Sekjen) menanggapi Putusan mahkamah konstitusi tersebut dan sekaligus mengeluarkan fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya banyaknya pertanyaan dari masyarakat mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengacak-acak syariat Islam tersebut.[111] Seperti diketahui, putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan: Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[112]
Menurut Majelis Ulama Indonesia, putusan mahkamah konstitusi tersebut menuai kontroversi serta menimbulkan kegelisahan, kerisauan, bahkan keguncangan di kalangan umat Islam, karena berkembang pendapat dan pemahaman masyarakat, bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut telah mengubah syariat Islam, melanggar ajaran Islam, dan mengubah tatanan kehidupan umat Islam yang selama ini berlaku.[113]
KH. Ma’ruf Amin mengatakan, Majelis Ulama Indonesia punya tanggung jawab untuk mempertahankan agama Islam dan melindungi umat Islam Indonesia. majelis ulama Indonesia memandang penting untuk memberikan tanggapan terhadap putusan mahkamah konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, sekaligus memberikan panduan tegas dan jelas kepada umat Islam dengan mengembalikan tatanan kehidupan umat Islam seperti sedia kala.
Majelis Ulama Indonesia Menilai Putusan mahkamah konstitusi dinilai telah melampaui permohonan yang sekadar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil perkawinan, tapi tidak dicatatkan kepada kantor urususan agama, menjadi meluas mengenai hubungan keperdataan atas anak hasil hubungan zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Majelis Ulama Indonesia memandang, putusan mahkamah konstitusi tersebut memiliki konsekwensi yang sangat luas, termasuk mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, dimana hal demikian tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. dalam fatwa majelis ulama Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya, menyatakan: “Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.”[114]
Akibat putusan mahkamah konstitusi yang sembrono itu, kini kedudukan anak hasil zina dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah dan terutama hak waris. “jelaslah putusan mahkamah konstitusi ini telah menjadikan lembaga perkawinan menjadi kurang relevan, apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini, kami nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. bahkan pada tingkat ekstrim, dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak, namun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak.[115]
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia menilai, putusan mahkamah konstitusi telah membuka “kotak pandora” yang selama ini kita jaga, yakni terbukanya peluang besar bagi berkembangnya pemikiran dan perilaku sebagian orang untuk melakukan hubungan di luar perkawinan /perzinahan, tanpa perlu khawatir dengan masa depan anak (terutama kekhawatiran dari pihak perempuan pasangan zina). karena walau pun tidak dalam ikatan perkawinan/zina, toh anak hasil hubungan zina tersebut tetap memiliki hak nafkah dan hak waris yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah.
Putusan mahkamah konstitusi tersebut telah mengganggu, mengubah, bahkan merusak hukum waris Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. terlebih putusan mahkamah konstitusi itu menyatakan, anak yang lahir dari hasil hubungan zina akan mendapat waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. “padahal hukum waris Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah secara tegas dan jelas menyebutkan kategori anak yang mendapat harta waris, dan anak yang lahir dari hasil hubungan zina jelas tidak memperoleh hak waris dari lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,” kata KH. Ma’ruf Amin.[116] Majelis ulama Indonesia menilai mahkamah konstitusi telah keliru, seolah olah anak hasil hubungan zina tidak mendapat perlindungan hukum.[117]
Yang benar, menurut Majelis Ulama Indonesia, adalah anak dari hasil hubungan zina tersebut memiliki perlindungan hukum, tetapi perlindungan hukum yang tidak sama dengan anak dalam ikatan perkawinan, dimana yang satu hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sedangkan yang satunya lagi dengan bapak dan ibunya. Dan itulah gunanya lembaga perkawinan.[118]



[1] Departemen agama RI, Undang-Undang 1974, Op.cit,  hal 34
[2] Tim Redaksi Nuansa Aulia, KHI, Op.cit, h. 31-32
[3] Undang –Undang 1945, Op.cit, h. 19
[4] Ibid .,
[5] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit,  h. 35
[6] Ibid .,
[7] Undang-Undang, Hukum Perdata, Op.cit,  h. 50
[8] Ibid., h. 51
[9] Zakaria Ahmad al-Barri Belum Dewasa Dalam Hukum Islam, Terjemah H. Agus Salem (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),  h. 39
[10] Ibid.,
[11] Ibid., h. 16
[12] Undang-Undang Perlindungan Anak no 23 tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),  h. 1-3
[13] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Renika Cipta, 1994),  h. 29
[14] Ibid.,
[15] Abdul Ghani Abdullah,  Pengantar Kompilasi Hukum Islam  (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 15-16
[16] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademia Persindo, 1992), h. 137
[17] Nuansa Aulia, Undang-Undang 1974, Op.cit,  h. 96-97
[18] Undang-undang no 23 tahun 2006, Tentang Admiinidtrasi Kependudukan.
[19] Kitab Perdata, Op.cit,  h. 49-50
[20] Ibid .,
[21] Ibid .,
[22] Ibid KUHPer., h. 155
[23] Ibid., h. 162
[24] Ibid., h. 1
[25] Ibid., h. 44-45
[26] Ibid., h. 50
[27] Ibid.,
[28] Ibid., h. 51
[29] Ibid .,
[30] Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), h. 176
[31] Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya di tinjau dari segi hukum Islam, (Bandung: Pustaka  1982), h. 22
[32] Dampak Perkawinan Sirri/dibawah tangan terhadap anak, http:/www.lbh.apik.or.id, diakses pada tanggal 22 okteber 2012.
[33] Ibid.,
[34] Departemen Aagama Islam dan Bimbingan Haji, (Jakarta: Depag, 2004), h. 34
[35] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
[36] Undang-Undang No 1 tahun 1974., Op.cit,  h. 34
[37] Undag –Undang Hukum Perdata, Op.cit,  h. 50
[38] Ibid., h. 160-161.
[39] Ibid., h. 48-52
[40] Ibid., h. 50-60
[41] Ibid., h. 35-36
[42] Nuansa Aulia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Bandung: Nuansa Aulia, 2004), 92-93.
[43] Surini Ahlan Syarif dan Wahono Darmabrata, Hukum Perkawinan Dan Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2004), h. 131
[44] Martiman Projohamidjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet II,  (Jakarta: Indonesia legal Center publishing, 2007), h. 53
[45] Ibid., h. 54
[46] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 148
[47] Ibid h., 149
[48] Ibid.,
[49] Surini , Darmabrata, Op.cit,  h. 135
[50] A. Mukti Arto. Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 27 Februari, Tentang Pengubahan Pasal 43 Tentang Hubungan Perdata Anak dengan ayah biologisnya, halaaman 2-3
[51] Mulyadi Luthfi, Mustof Luthfi, Nikah Sirri Membahas tuntas definisi asal usul hukum serta pendapat ulama shalaf dan khalaf, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010), h. 41
[52] Ibid., h. 41-45
[53] H. Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yuridis dengan pendekatan usuliyah, (Jakarta: Kencana Prenada Grup, 2010), h. 29-30
[54] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Op.cit,  h.18-19
[55] Departemen Agama Bimbingan dan Konsultasi Haji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Op.cit, h. 34
[56] Ibid.,
[57] Ibid .,
[58] Yusuf ad- Duraiwisy, Nikah Sirri, Mut’ah dan Kontrak dalam Timbangan Al- Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010), h. 125-128
[59] Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Op.cit, h. 16-17
[60] H. Amir Nurudin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), h. 37-39
[61] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 49-50
[62] Kutipan Pidato Pembuka Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H, Hakim Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam Diskusi Hukum Anak Luar Kawin yang diselenggarakan Pengurus INI-IPPAT Tangerang Raya, 12 Mei 2012, diakses rabu 24 oktober 2012.
[63] Mahkamah Konstitusi, Website Republika.co.id edisi 20 februari 2012, diakses 26 oktober 201,2
[64] Ibid.,
[65] Putusan MK, Op.cit,  h. 32-33
[66] Putusan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, h. 34-35
[67] Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata, Op.cit, h. 57
[68] Muhammad Idrus Ramulyo, Hukum Perkawinan Hukum Kewarisan Hukum Acara Peradilan Agama,danzakat menurut hukum Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2004), h. 1-12
[69] Nuansa Aulia, KHI, Op.cit,  h. 16-17
[70] Amir Nurudin dan Azhar Akmal Tarigan, Hukum Perdata, Op.cit, h. 37-39
[71] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 49-50
[72] Ibid.,
[73] Undang-Undang, Hukum Perdata, Op.cit, h. 50
[74] Departemen Agama Bimbingan Masyarakat Islam dan Bimbingan Haji, (Jakarta: Depag, 2004), h. 46
[75] Undang-Undang KUHPer, BW, HIR, h. 160-161
[76] Ibid.,
[77] Putusan MK ..., h. 35
[78] Mahkamah Konstitusi, /mui-putusan-mk-sembrono-overdosis,html, diakses pada hari senin tanggal 22 Oktober 2012.
[79] Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihat, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 292
[80] Ibid.,
[81] Ibid.
[82] Mahkamah Konstitusi, http:/www.satumedia.info/2012/html, diakses pada hari senin tanggal 22 Oktober 2012
[83] MUI, Putusan Mahkamah konstitusi Sembrono, over dosis dan bertentangan dengan ajaran Islam, mui-putusan-mk-sembrono-overdosis,html, diakses pada hari senin tanggal 22 Oktober 2012.
[84] Ibid.,
[85] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
[86] Ibid.,
[87] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Op.cit,  h. 34
[88] Ibid.,
[89] Nuansa Aulia, KHI, Op.cit,  h. 16-17
[90] Undang Undang Hukum Perdata KUHPerdata , Op.cit, h. 50-52
[91] Nuansa Aulia, KHI, Opcit,  h. 96-97
[92] Mahfud dalam kolom di harian Sindo Sumber :  www.artikelhukum.info, Sumber : hukumonline.com Sumber: http://hukum Indonesia.com, diakses rabu 24 Oktober 2012
[93] Ibid.,
[94] Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan Tentang Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 1-92
[95] Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh Barat, seperti dikutip Antara, diakses Rabu 24 Oktober 2012.
[97] Ibid.,
[98] Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Pembukaan alenia 4, (Surabaya: Putra Bahari, Kabinet Indonesia bersatu Jilid II 2009-2014), h. 3
[99] Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, h. 50
[100] Pustaka Yustisia, Undang-Undang nomor 23 tahun 2002, tentang perlindungan anak, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2010), h. 68
[101] Mahkamah Konstitusi, http://www.lensaindonesia.com /2012 /03 /07 /mk-putusan-mk-bukan-melegalkan-perzinahan.html, Diakses 26 Oktober 2012.
[102] Departemen Agama Islam dan Bimbingan Haji, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Depag, 2004), h. 14-15
[103] Undang Undang Dasar Negara Republic Indonesia , Op.cit, h.21-22
[104] Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin dalam Jumpa Pers di kantor MUI, Jalan Proklamasi no 51, Menteng, Jakarta, Selasa (13/3/2012http://wanita-wanita-muslimah.blogspot.com/2012/03/re-bls-wanita-muslimah-fw-mui-nilai.html, diakses 26 Oktober 2012
[105] Ibid.,
[106] Amir Syarifudin, Hukum Pekrawinan, Op.cit, h. 20
[107] Majelis Ulama Indonesia, http://wanita-wanita-muslimah. blogspot.com/2012/03/re-bls-wanita-muslimah-fw-mui-nilai.html, diakses 26 Oktober 2012
[108] H. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia masalah- masalah krusial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 18
[109] Putusan MK, Op.cit,  h. 35-36
[110] Majelis Ulama Indoneisa wanita-wanita-muslimah.blogspot.com .html, diakses 26 Oktober 2012.
[111] Ibid.,
[112] Putusan MK , Op.cit, h. 36
[113] Majelis Ulama Indonesia, Op.cit
[114] Majelis Ulama Indonesia, http://rifqiramadhani. blogspot. com/ 2012 /03/mui-nilai-keputusan-mk-soal-status-anak.html, diakses pada 26 Oktober 2012
[115] Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, dalam system peradilan pidana anak diindonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 31
[116] Ibid.,
[117] Ibid.,
[118] Ibid.,




RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 22 Februari 1988, anak kedua dari Pasangan Kamidi dan Nyami.
Pendidikan dasar penulis ditempuh di SDN 1 Sukabumi Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan pada tahun 2000, Kemudian melanjutkan di SMP Beringin Ratu 1 Sukabumi Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan, dan selesai pada tahun 2003, Sedangkan pendidikan menengah atas pada Madrasah Alyah Darul A’mal Kota Metro selesai tahun 2006, Kemudian melanjutkan pendidikan di STAIN Jurai Siwo Metro Jurusan Syari’ah di mulai pada semester 1 TA. 2008/2009.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan STAIN Jurai Siwo Metro dalam wadah Badan Eksekutif Makasiswa (BEM)
Selain itu juga penulis aktif dalam organisasi exktra kampus dalam wadah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota Metro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar