MAKALAH MAZHAB USHUL FIQIH SYAFI'I OLEH: JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy
Mazhab Ushul Fiqih Syafi’i
Mazhab ini dinisbatkan kepada
tokohnya yang bernama Imam al-Syafi’i. Nama lengkapnya ialah Abu Abdilah Muhammad
Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Usman Ibn as-Syafi’i, dan lebih populer dikenal dengan
nama as-Syafi’i. As-Syafi’i dilihat dari asal usul keturunannya berasal dari
suku Quraisy. Beliau dilahirkan di Gazah, suatu negeri yang termasuk wilayah
Palestina pada tahun 150 H, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir.
Diceritakan bahwa ketika Syafi’i
lahir adalah bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah , yang merupakan tokoh
pembangunan mazhab Hanafi. Ibunya berasal dari kabilah Azad, bukan Quraisy. As-Syafi’i
sejak kecil telah menjadi yatim, dan kemudian ibunya membawanya ke kota Makkah.
Di kota Makkah ini, merupakan awal perkenalan Syafi’i
dengan ilmu belajar. Atas usaha dan dorongan ibunya, Syafi’i belajar membaca
dan menghafal al-Qur’an. Dengan ketekunan dan kecerdasan otaknya, Syafi’i dalam
usia yang masih relatif muda telah hafal al-Qur’an.
Karena kecerdasan dan kecemerlangan
otaknya, Syafi’i mampu menguasai berbagai cabang ilmu agama, baik yang
berkaitan dengan al-Qur’an, Hadist, Fiqh
maupun bahasa Arab dan sastranya.
Atas dasar kemampuan yang luar biasa
itu pula, maka salah satu seorang gurunya yang bernama Muslim Ibn Khalid al-Zanji,
mengizinkan dan menganjurkan Syafi’i untuk menjadi Mufti kota Makkah, yang
ketika itu beliau berusia dua puluh tahun.
Sejak ini, memang Syafi’i telah
mulai mengeluarkan pandangan-pandangan tentang hukum Islam, kendati ketika ini
teori-teori tentang pemikiran hukum sedang berkembang dengan pesatnya.
Perkembangan pemikiran hukum ini, karena dilatarbelakangi oleh suasana
kebebasan berfikir dan ijtihad (hurriyat al-ijtihad ) di kalangan ulama
atau fuqaha, sehingga tidak jarang melahirkan pertentangan dan perbedaan antara
suatu teori dengan teori hukum yang lainnya. Setidak-tidaknya, ketika ini
terdapat dua contoh pemikiran hukum, yaitu ahlu
al-ra’yu dan ahlu al-hadist.
Kedua corak pemikiran hukum ini,
berlangsung semakin intens dan melahirkan berbagai bidang produk hukum yang
seolah-olah sulit dipertemukan, karena masing-masing berpijak pada sistem dan
teori yang mereka kembangkan. Kelompok pertama, yaitu ahlu al-ra’yu, diwakili oleh mazhab Hanafi di Kuffah-Irak yang
dibangun oleh Imam Abu Hanifah, sedangkan kelompok kedua diwakili oleh mazhab
Maliki di Madinah yang dibangun oleh Imam Malik.
Syafi’i pergi ke Yaman dan sempat
menjadi pegawai pemerintah ketika itu. Di samping itu, beliau juga mengadakan
perjalanan ke Irak dan berjumpa dengan sejumlah ulama, sahabat dan murid Imam
Abu Hanifah seperti Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani. Syafi’I membaca dan
menelaah berbagai kitab karangan ulama Irak dan membandingkannya dengan cara
dan pola pemikiran ulama Hijaz.
Dalam kondisi seperti ini, Syafi’i
berhadapan dengan dua pola pemikiran fiqh, yaitu Irak dan Madinah serta Hijaz.
Percampuran dua pola pemikiran fiqh ini – Irak dan Madinah – pula nanti yang
melahirkan corak baru dalam pemikiran hukum yang ditokohi oleh Syafi’I.
pemikiran baru dalam bidang fiqh ini adalah perpaduan antara fiqh Irak yang
bercorak rasioanal dan fiqh Madinah dan Hijaz yang bercorak tekstual.
Menurut catatan Hasbi Ash Shidiqi,
bahwa Syafi’i selama menetap di Makkah menyibukkan diri untuk menelaah hukum
Islam. Syafi’i berusaha mempelajari berbagai bentuk karakteristik nash
al-Qur’an , baik segi dalalahnya, nasikh,
mansukh maupun hal-hal yang berkaitan dengan lafazh nash. Begitu pula dengan al-Sunnah
dan kedudukannya serta hubungannya dengan al-Qur’an. Syafi’i berusaha pula untuk mengetahui martabat dan kekuatan al-Sunnah baik yang berhubungan
dengan shahih atau tidaknya maupun persyaratan-persyaratan yang dimiliki oleh al-Sunnah yang dapat dijadikan hujjah. Di samping ini,
Syafi’I juga menggariskan bagaimana
melakukan istinbat hukum jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebagai disebutkan oleh Hasan Abu
Thalib, bahwa corak pemikiran fiqh dan teori ushul yang dikembangkan oleh
Syafi’i adalah mengambil jalan tengah antara ahlu al-ra’yu dan ahlu al-hadist (annahu ja’a mu’tadilan bain ahli al-ra’yi wa
ahli al-hadist). Dengan kata lain, prinsip-prinsip pemikiran hukum yang
digariskan oleh Syafi’i bersifat moderat
(tawassuth) antara ahlu al-ra’yi dan
ahlu al-hadist. Meskipun Syafi’i mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemikiran
hukum, tetapi beliau tidak mau menyalahkan sesuatu pendapat tanpa ada suatu
alasan atau pedoman yang kuat.
Era Syafi’i , memang merupakan era
berkembangnya pemikiran fuqaha secara luas dan beragam. Tidak heran, bahwa
beliau mempunyai wawasan yang luas dan analisa yang tajam terhadap berbagai
masalah hukum. Ia mengerti letak kelemahan dan kekuatan, luas sempitnya
pandangan masing-masing mazhab yang ada.
Oleh karena itu, Syafi’i mulai
mengelaborasi teori-teori hukum dalam halaqah
(jamaah pengajian) yang beliau pimpin baik di Makkah, Irak (Bagdad)
maupun di Mesir. Melalui pengajian yang beliau pimpin, maka tersiar dan
berkembanglah pendapat dan prinsip atau teori-teori hukum yang dikeluarkannya.
Dalam hal prinsip-prinsip untuk
melakukan istinbat hukum, sebagai dijelaskan oleh Hasan Abu Thalib, Syafi’i
menetapkan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, al-kitab, kedua al-sunnah, ketiga
al-ijma’, keempat al-qiyas dan kelima al-istishab. Dalam hal Sunnah Syafi’I menggunakan khabar ahad apabila rawinya tsiqat (kuat dan terpercaya) dan tidak
mensyaratkan harus mansyur
sebagaimana halnya Malik. Syafi’I tidak menggunakan al-Istihsan sebagaimana halnya Abu Hanifah. Bahkan, beliau mengingkari
al-istihsan sebagai dalil hukum dan
dengan tegas mengatakan (Barang siapa yang berpegang dan menggunakan al-istihsan maka ia telah membuat
hukum).
Ketika ini, pandangan Syafi’i telah
tersiar ke berbagai kota
Islam dengan paradigma tersendiri yang berbeda dari pendahulunya. Pandangan dan
pemikiran Syafi’i tersebar dan berkembang di beberapa kawasan kota
Islam seperti Makkah, Irak (Bagdad), Mesir, Persia, Yaman dan bahkan sampai ke Indonesia.
Karya beliau dalam bidang ushul fiqh
adalah kitab al-Risalah. Kemudian,
selain kitab al-risalah, Syafi’i juga
menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama al-Umm. Kitab ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh yang
menekankan praktek ajaran Islam. Kitab ini ditulis Syafi’i ketika di Mesir.
Syafi’i pergi ke Mesir pada tahun 199 H, dan menetap di kota ini sampai beliau wafat pada tahun 204
H. Berdasarkan riwayat, ketika berada di Mesir ini Imam Syafi’i mencapai puncak
kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang
fiqh. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang dikenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali.
Berbagai pandangan baru Syafi’i
muncul di Mesir. Sehingga dalam fiqh Syafi’i ditemukan dua Qaul (pendapat) yaitu Qaul
al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul al-Qadim (pendapat yang lama)
adalah pendapat-pendapat beliau selama di Mesir, yaitu ketika masih di Makkah
dan Bagdad. Sementara Qaul al-Jadid (pendapat baru) adalah pendangan-pandangan yang lahir
setelah Syafi’i bermukim di Mesir. Perubahan pendapat ini seperti disebutkan Ali al-Sayis, disebabkan karena
Syafi’i berhadapan dengan adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa
yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Irak (Bagdad). Dengan perbedaan ini, maka Syafi’i merubah
pendapatnya dalam beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat
Mesir.
Sebagai seorang ulama yang mempunyai
kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya Syafi’i banyak punya pengikut dan
murid-murid baik di Makkah, Irak maupun Mesir. Di antara murid-murid Syafi’i
yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H) dari Makkah yang kemudian
turut serta bersama Syafi’i ke Mesir. Kemudian murid Syafi’i yang lain adalah
Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad (w. 237 H), Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul
Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya murid-murid beliau di Bagdad
adalah Abu Ali al-Hasan al-Za’farani (w. 260 H) dan murid yang satu ini banyak
menukil pendapat Syafi’i dan paling terkenal di Bagdad. Di samping itu murid
beliau yang terkenal juga adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (256 H), Abu Saur
al-Kalibi (w.240 H), dan Ahmad ibn Hambal yang nantinya mengembangkan mazhab
tersendiri.
Adapun murid-murid Syafi’i di Mesir
adalah Harmalah ibn Yahya (w. 266 H) yang cukup besar jasanya meriwayatkan
kitab-kitab Syafi’i, dan Abu Ya’kub Yusuf ibn Yahya al-Buaiti seorang yang sangat
dihargai dan disayangi Syafi’i serta ditunjuk oleh beliau sebagai penggantinya.
Al-Buaiti wafat pada tahun 231 H, dalam penjara karena tidak mau menyatakan
al-Qur’an itu baharu.
Kemudian selain yang disebutkan di
atas, sejumlah murid Syafi’i yang lain adalah Abu Ismail ibn Yahya al-Muzani
(w. 264 H), dan Muhammad ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakam (w. 268 H), al-Rabi’ ibn
Sulaiman ibn Daud al-Izi (w. 256 H). Diceritakan al-Muzani banyak mempunyai
kitab Syafi’i dan menulis kitab al-Mabsut
dan al-Mukhtasar Min ‘Ilm al-Syafi’i.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar