Rabu, 18 November 2015

JOMIANTO MUZAKKI, MAZHAB USHUL FIQIH SYAFI'I MAKALAH



MAKALAH MAZHAB USHUL FIQIH SYAFI'I OLEH: JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy           


 Mazhab Ushul Fiqih Syafi’i

           
            Mazhab ini dinisbatkan kepada tokohnya yang bernama Imam al-Syafi’i. Nama lengkapnya ialah Abu Abdilah Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibn Usman Ibn as-Syafi’i, dan lebih populer dikenal dengan nama as-Syafi’i. As-Syafi’i dilihat dari asal usul keturunannya berasal dari suku Quraisy. Beliau dilahirkan di Gazah, suatu negeri yang termasuk wilayah Palestina pada tahun 150 H, dan wafat pada tahun 204 H di Mesir.
            Diceritakan bahwa ketika Syafi’i lahir adalah bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah , yang merupakan tokoh pembangunan mazhab Hanafi. Ibunya berasal dari kabilah Azad, bukan Quraisy. As-Syafi’i sejak kecil telah menjadi yatim, dan kemudian ibunya membawanya ke kota Makkah.
            Di kota Makkah ini, merupakan awal perkenalan Syafi’i dengan ilmu belajar. Atas usaha dan dorongan ibunya, Syafi’i belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Dengan ketekunan dan kecerdasan otaknya, Syafi’i dalam usia yang masih relatif muda telah hafal al-Qur’an.
            Karena kecerdasan dan kecemerlangan otaknya, Syafi’i mampu menguasai berbagai cabang ilmu agama, baik yang berkaitan dengan al-Qur’an, Hadist, Fiqh maupun bahasa Arab dan sastranya.
            Atas dasar kemampuan yang luar biasa itu pula, maka salah satu seorang gurunya yang bernama Muslim Ibn Khalid al-Zanji, mengizinkan dan menganjurkan Syafi’i untuk menjadi Mufti kota Makkah, yang ketika itu beliau berusia dua puluh tahun.
            Sejak ini, memang Syafi’i telah mulai mengeluarkan pandangan-pandangan tentang hukum Islam, kendati ketika ini teori-teori tentang pemikiran hukum sedang berkembang dengan pesatnya. Perkembangan pemikiran hukum ini, karena dilatarbelakangi oleh suasana kebebasan berfikir dan  ijtihad (hurriyat al-ijtihad ) di kalangan ulama atau fuqaha, sehingga tidak jarang melahirkan pertentangan dan perbedaan antara suatu teori dengan teori hukum yang lainnya. Setidak-tidaknya, ketika ini terdapat dua contoh pemikiran hukum, yaitu ahlu al-ra’yu dan ahlu al-hadist.
            Kedua corak pemikiran hukum ini, berlangsung semakin intens dan melahirkan berbagai bidang produk hukum yang seolah-olah sulit dipertemukan, karena masing-masing berpijak pada sistem dan teori yang mereka kembangkan. Kelompok pertama, yaitu ahlu al-ra’yu, diwakili oleh mazhab Hanafi di Kuffah-Irak yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, sedangkan kelompok kedua diwakili oleh mazhab Maliki di Madinah yang dibangun oleh Imam Malik.
            Syafi’i pergi ke Yaman dan sempat menjadi pegawai pemerintah ketika itu. Di samping itu, beliau juga mengadakan perjalanan ke Irak dan berjumpa dengan sejumlah ulama, sahabat dan murid Imam Abu Hanifah seperti Muhammad Ibn al-Hasan al-Syaibani. Syafi’I membaca dan menelaah berbagai kitab karangan ulama Irak dan membandingkannya dengan cara dan pola pemikiran ulama Hijaz.
            Dalam kondisi seperti ini, Syafi’i berhadapan dengan dua pola pemikiran fiqh, yaitu Irak dan Madinah serta Hijaz. Percampuran dua pola pemikiran fiqh ini – Irak dan Madinah – pula nanti yang melahirkan corak baru dalam pemikiran hukum yang ditokohi oleh Syafi’I. pemikiran baru dalam bidang fiqh ini adalah perpaduan antara fiqh Irak yang bercorak rasioanal dan fiqh Madinah dan Hijaz yang bercorak tekstual.
            Menurut catatan Hasbi Ash Shidiqi, bahwa Syafi’i selama menetap di Makkah menyibukkan diri untuk menelaah hukum Islam. Syafi’i berusaha mempelajari berbagai bentuk karakteristik nash al-Qur’an , baik segi dalalahnya, nasikh, mansukh maupun hal-hal yang berkaitan dengan lafazh nash. Begitu pula dengan al-Sunnah dan kedudukannya serta hubungannya dengan al-Qur’an. Syafi’i berusaha pula untuk mengetahui martabat  dan kekuatan al-Sunnah baik yang berhubungan dengan shahih atau tidaknya maupun persyaratan-persyaratan yang dimiliki oleh al-Sunnah  yang dapat dijadikan hujjah. Di samping ini, Syafi’I  juga menggariskan bagaimana melakukan istinbat hukum jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an  dan al-Sunnah.
            Sebagai disebutkan oleh Hasan Abu Thalib, bahwa corak pemikiran fiqh dan teori ushul yang dikembangkan oleh Syafi’i adalah mengambil jalan tengah antara ahlu al-ra’yu dan ahlu al-hadist (annahu ja’a mu’tadilan bain ahli al-ra’yi wa ahli al-hadist). Dengan kata lain, prinsip-prinsip pemikiran hukum yang digariskan oleh Syafi’i  bersifat moderat (tawassuth) antara ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hadist. Meskipun Syafi’i mempunyai cara tersendiri dalam sistem pemikiran hukum, tetapi beliau tidak mau menyalahkan sesuatu pendapat tanpa ada suatu alasan atau pedoman yang kuat.
            Era Syafi’i , memang merupakan era berkembangnya pemikiran fuqaha secara luas dan beragam. Tidak heran, bahwa beliau mempunyai wawasan yang luas dan analisa yang tajam terhadap berbagai masalah hukum. Ia mengerti letak kelemahan dan kekuatan, luas sempitnya pandangan masing-masing mazhab yang ada.  
            Oleh karena itu, Syafi’i mulai mengelaborasi teori-teori hukum dalam halaqah (jamaah pengajian) yang beliau pimpin baik di Makkah, Irak (Bagdad) maupun di Mesir. Melalui pengajian yang beliau pimpin, maka tersiar dan berkembanglah pendapat dan prinsip atau teori-teori hukum yang dikeluarkannya.
            Dalam hal prinsip-prinsip untuk melakukan istinbat hukum, sebagai dijelaskan oleh Hasan Abu Thalib, Syafi’i menetapkan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, al-kitab, kedua al-sunnah, ketiga al-ijma’, keempat al-qiyas dan kelima al-istishab. Dalam hal Sunnah Syafi’I menggunakan khabar ahad apabila rawinya tsiqat (kuat dan terpercaya) dan tidak mensyaratkan harus mansyur sebagaimana halnya Malik. Syafi’I tidak menggunakan al-Istihsan sebagaimana halnya Abu Hanifah. Bahkan, beliau mengingkari al-istihsan sebagai dalil hukum dan dengan tegas mengatakan (Barang siapa yang berpegang dan menggunakan al-istihsan maka ia telah membuat hukum). 
            Ketika ini, pandangan Syafi’i telah tersiar ke berbagai kota Islam dengan paradigma tersendiri yang berbeda dari pendahulunya. Pandangan dan pemikiran Syafi’i tersebar dan berkembang di beberapa kawasan kota Islam seperti Makkah, Irak (Bagdad), Mesir, Persia, Yaman dan bahkan sampai ke Indonesia.
            Karya beliau dalam bidang ushul fiqh adalah kitab al-Risalah. Kemudian, selain kitab al-risalah, Syafi’i juga menyusun kitab fiqh yang dikenal dengan nama al-Umm. Kitab ini berisi berbagai pandangan tentang fiqh yang menekankan praktek ajaran Islam. Kitab ini ditulis Syafi’i ketika di Mesir. Syafi’i pergi ke Mesir pada tahun 199 H, dan menetap di kota ini sampai beliau wafat pada tahun 204 H. Berdasarkan riwayat, ketika berada di Mesir ini Imam Syafi’i mencapai puncak kesempurnaannya dan banyak melahirkan pandangan-pandangan baru dalam bidang fiqh. Selama di Mesir, di samping menulis kitab al-Umm, beliau juga menulis kitab yang dikenal dengan nama al-Imlak dan al-Amali.
            Berbagai pandangan baru Syafi’i muncul di Mesir. Sehingga dalam fiqh Syafi’i ditemukan dua Qaul (pendapat) yaitu Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Qaul al-Qadim (pendapat yang lama) adalah pendapat-pendapat beliau selama di Mesir, yaitu ketika masih di Makkah dan Bagdad. Sementara Qaul al-Jadid (pendapat baru) adalah pendangan-pandangan yang lahir setelah Syafi’i bermukim di Mesir. Perubahan pendapat ini seperti  disebutkan Ali al-Sayis, disebabkan karena Syafi’i berhadapan dengan adat dan tradisi masyarakat yang berbeda dengan apa yang ia lihat dan rasakan ketika berada di Makkah, Hijaz dan Irak (Bagdad). Dengan perbedaan ini, maka Syafi’i merubah pendapatnya dalam beberapa masalah yang tidak cocok dengan lingkungan masyarakat Mesir.
            Sebagai seorang ulama yang mempunyai kedalaman dan keluasan ilmu pada masanya Syafi’i banyak punya pengikut dan murid-murid baik di Makkah, Irak maupun Mesir. Di antara murid-murid Syafi’i yang terkenal adalah Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H) dari Makkah yang kemudian turut serta bersama Syafi’i ke Mesir. Kemudian murid Syafi’i yang lain adalah Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad (w. 237 H), Abu Bakar Muhammad ibn Idris, Abdul Wahid dan Musa Ibn Jarad. Selanjutnya murid-murid beliau di Bagdad adalah Abu Ali al-Hasan al-Za’farani (w. 260 H) dan murid yang satu ini banyak menukil pendapat Syafi’i dan paling terkenal di Bagdad. Di samping itu murid beliau yang terkenal juga adalah Abu Ali al-Husin al-Karabisi (256 H), Abu Saur al-Kalibi (w.240 H), dan Ahmad ibn Hambal yang nantinya mengembangkan mazhab tersendiri.
            Adapun murid-murid Syafi’i di Mesir adalah Harmalah ibn Yahya (w. 266 H) yang cukup besar jasanya meriwayatkan kitab-kitab Syafi’i, dan Abu Ya’kub Yusuf ibn Yahya al-Buaiti seorang yang sangat dihargai dan disayangi Syafi’i serta ditunjuk oleh beliau sebagai penggantinya. Al-Buaiti wafat pada tahun 231 H, dalam penjara karena tidak mau menyatakan al-Qur’an itu baharu.
            Kemudian selain yang disebutkan di atas, sejumlah murid Syafi’i yang lain adalah Abu Ismail ibn Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan Muhammad ibn Abdullah, Ibn Abdul Hakam (w. 268 H), al-Rabi’ ibn Sulaiman ibn Daud al-Izi (w. 256 H). Diceritakan al-Muzani banyak mempunyai kitab Syafi’i dan menulis kitab al-Mabsut dan al-Mukhtasar Min ‘Ilm al-Syafi’i.[1]  

           


[1] Drs. Romli SA, M.Ag. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999. hal:25-32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar