MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM OLEH; JOMI ANTO MUZAKKI
A.
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DENGAN ILMU
hubungan
antara ilmu pengetahuan, filsafat,dan agama
Ditinjau
dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani,
“philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya
kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu
kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).[1]
Lebih
lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan
alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17
tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu
ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung
pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam
perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri
telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon
ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan
demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat
benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas
dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak
F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir
bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual
maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul
menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat
hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas
antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk
mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu
bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh
karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini
senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan
batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu
Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung
dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih
lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau
ilmu merupakan “a higher
level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu
terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung
oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa
filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia
sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi
antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman
(dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap
bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga
memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan
filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22),
–dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan
filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil
merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah
sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan
tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah
gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan
yang dapat diandalkan.
Untuk
melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada
perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan
dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu
|
Filsafat
|
|
|
B. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
PENGETAHUAN
Untuk
memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian
filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu,[2]
·
Robert
Ackerman “philosophy
of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by
comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not
a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat
ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas
bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
·
Lewis
White Beck “Philosophy
of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries
to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat
ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
·
A.
Cornelius Benjamin “That
philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science,
especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in
the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan
filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya
dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
·
Michael
V. Berry “The
study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan
tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara
percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
·
May
Brodbeck “Philosophy
of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description,
and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis
dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Peter
Caws “Philosophy of
science is a part of philosophy, which attempts to do for science what
philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does
two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the
universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it
examines critically everything that may be offered as a ground for belief or
action, including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian
filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan
pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu
pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya
·
sebagai landasan-landasan bagi keyakinan
dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk
teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan
kesalahan
·
Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of
science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of
representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and
then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal
logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu
cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang
terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan,
pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan,
pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal,
metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan
pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang
ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata
lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
·
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana
ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
·
Bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa
yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah
kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
·
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan
aksiologis).[3]
C.
Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat
ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi
filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara
keseluruhan, yakni :
- Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
- Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
- Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
- Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
- Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.[4]
Sedangkan
Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin
ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya
dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai
confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara
hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan
berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
D. Substansi Filsafat Ilmu
Telaah
tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat
bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2)
kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1. Fakta Atau Kenyataan
Fakta
atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya.
- Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
- Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
- Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
- Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
- Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di
sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan
fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang
merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta
ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang
dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta
ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan
teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2. Teori Kebenaran (truth)
Sesungguhnya,
terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik
(Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori
kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan,
Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik.[5]
a.
Kebenaran koherensi
Kebenaran
koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan
sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut,
baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan
sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran
korespondensi
Berfikir
benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan
dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan
atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta
dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran
performatif
Ketika
pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan
apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang
filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila
memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran
pragmatik
Yang
benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki
kegunaan praktis.
e.Kebenaran
proposisi
Proposisi
adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari
yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh
bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar
adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain
yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya,
melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran
struktural paradigmatik
Sesungguhnya
kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran
korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan
lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih
menyeluruh.
3. KONFIRMASI
Fungsi
ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan
asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah
bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat
penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik
dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. LOGIKA INFERENSI
Logika
inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika,yangmenguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi
antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral,
tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general
sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan
ideografik.
Post-positivistik
dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara
fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng
Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan
struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di
lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan
kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika
terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
E. HAKIKAT ILMU
Apakah
ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain dari
suatu pengetahuan, baik natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta
tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad Tafsir
(1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai bukti
empiris. Sementara itu, Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu
secara lebih rinci (ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa :
“
Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya
berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti
observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang
tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian
ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas.
Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang
merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita
sebut ilmu pengetahuan.”
Di
lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu menandakan
seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang sama dan
saling keterkaitan secara logis.
Dari
beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada prinsipnya
ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan
pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam
kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan
teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian
ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain)
Syarat-Syarat
Ilmu :
Suatu
pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi
persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1.
ilmu mensyaratkan adanya obyek yang
diteliti, baik yang berhubungan dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia
(Biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus
(1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik terdapat pembedaan antara obyek
material dan obyek formal. Obyek formal merupakan obyek konkret yang disimak
ilmu. Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap
ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek
material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
2.
ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu,
yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal
dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, (1983:43)
mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran
terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena
ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari
fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang
fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian
sistematis. Almack (1939) mengatakan bahwa metode ilmiah adalah
cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan
penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah
adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesutu interrelasi.
Selanjutnya pada bag
3.
ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu,
yang di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal
dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, (1983:43)
mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran
terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena
ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari
fakta-fakta, maka metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang
fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian
sistematis. Almack (1939) mengatakan bahwa metode ilmiah adalah
cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan
penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah
adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesutu interrelasi.
Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir mengemukakan beberapa kriteria metode
ilmiah dalam perspektif penelitian kuantitatif, diantaranya: (a) berdasarkan
fakta, (b) bebas dari prasangka, (c) menggunakan prinsip-prinsip analisa, (d)
menggunakan hipotesa, (e) menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan teknik
kuantifikasi. Belakangan ini berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan
kualitatif. Nasution (1996:9-12) mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah dalam
penelitian kualitatif, diantaranya : (a) sumber data ialah situasi yang wajar
atau natural setting,
(b) peneliti sebagai instrumen penelitian, (c) sangat deskriptif, (d)
mementingkan proses maupun produk, (e) mencari makna, (f) mengutamakan data
langsung, (g) triangulasi, (h) menonjolkan rincian kontekstual, (h) subyek yang
diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti, (i) mengutama- kan
perspektif emic, (j) verifikasi, (k) sampling yang purposif, (l) menggunakan audit trail,
(m)partisipatipatif tanpa mengganggu, (n) mengadakan analisis sejak awal
penelitian, (o) disain penelitian tampil dalam proses penelitian.
4. Pokok
permasalahan(subject
matter atau focus
of interest). ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan
dikaji. Mengenai focus of
interest ini Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan
Pendidikan Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa ketika masalah-masalah itu diangkat
dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah masalah yang sederhana tidak menjadi
sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah
menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang
rumit (complicated).
Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia
menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view),
sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi [6]
5. Karakteristik Ilmu
Di
samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau
sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan beberapa
ciri umum ilmu, yaitu : (1) hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik
bersama, (2) Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan,
dan (3) obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat
senada diajukan oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki
sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif [7](Uyoh
Sadulloh,1994:44).
Sementara,
dari apa yang dikemukakan oleh Lorens Bagus (1996:307-308) tentang pengertian
ilmu dapat didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak
kontradiksi dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan
ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat.
Artinya, usaha untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui
pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan dan
keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi dengan
tingkat siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat memberikan daya prediksi
atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal
Sementara
itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
(1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak
berdasarkan pada emosional subyektif, (2) koheren; pernyataan/susunan ilmu
tidak kontradiksi dengan kenyataan; (3) reliable; produk dan cara-cara
memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan
(reabilitas) tinggi, (4) valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan
melalui alat ukur dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara
internal maupun eksternal, (5) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam
ilmu dapat berlaku umum, (6) akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan
(akurasi) yang tinggi, dan (7) dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan
daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
F. PENALARAN
Kalau
binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau jawa yang
dilestarikan, melainkan manusia jawa. Upaya pelestarian dipimpin oleh seekor
professor Harimau ( Andi Hakim Nasution ).[8]
Kemampuan
menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Manusia selalu dihadapkan untuk memilih
baik-buruk, indah-jelek, jalan benar-jalan salah. Dalam melakukan pilihan ini,
manusia berpaling pada pengetahuan. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun
terbatas untuk survival.
Manusia mengembangkan pengetahuan untuk mengatasi kebutuhan kelangsungan
hidupnya.
Manusia
mampu mengembangkan pengetahuan karena 2 hal :
1.
Punya bahasa yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi dan pilihan-pilihan yang melatarbelakangi informasi
tersebut. (Bertrand Russel : Tak ada anjing yang berkata : ”Ayahku miskin, tapi
jujur ”).
2.
Kemampuan berpikir menuntut suatu alur
kerangka pikir tertentu, atau penalaran. Instink binatang lebih peka dari
manusia, namun binatang tidak bisa bernalar.
G.
Hakikat Penalaran
Penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam
menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan.
H.
Ciri-ciri Penalaran :
1.
Adanya suatu pola berpikir yang secara luas
dapat disebut logika( penalaran merupakan suatu proses berpikir logis ).
2.
Sifat analitik dari proses berpikir.
Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan
langkah-langkah tertentu. Perasaan intuisi merupakan cara berpikir secara
analitik.
Cara
berpikir masyarakat dapat dibagi menjadi 2, yaitu : Analitik dan Non analitik.
Sedangkan jika ditinjau dari hakekat usahanya, dapat dibedakan menjadi Usaha aktif manusia dan apa yang diberikan.
Penalaran
Ilmiah sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Deduktif yang berujung pada rasionalisme
2.
Induktif yang berujung pada empirisme
Logika
merupakan suatu kegiatan pengkajian untuk berpikir secara shahih
Contoh
:
·
Ketika seorang pengemis berkata
:”kasihanilah saya orang biasa”. Itu merupakan suatu ungkapan yang tidak logis.
·
Ketika seorang peneliti mencari penyebab
mengapa orang mabuk? Ada
3 peristiwa yang ditemuinya
1.
ada orang yang mencampur air dengan brendi
dan itu menyebabkan dia mabuk
2.
ada yang mencampur air dengan tuak kemudian
dia mabuk
3.
ada lagi yang mencampur air dengan whiski kemudian akhirnya
dia mabuk juga
dari
3 peristiwa diatas, apakah kita bisa menarik kesimpulan bahwa air-lah yang
menyebabkanorangmabuk?Logika deduktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari
hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat khusus ( individual ). Sedangkan
logika induktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir silogisme, dua pernyataan dan sebuah
kesimpulan.[9]
REFRENSI
Filsafat_Ilmu,http://members.tripod.com/aljawad/artikelfilsafat_ilmu.htm
Pudjo Sumedi AS., Drs.,M.Ed. Mustakim, S.Pd.,MM
Husein Al-Kaff, Filsafat
Ilmu,)
(Uyoh Sadulloh,1994:44).
Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah),
Bandung : UPI
Bandung.
Agraha
Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat
Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
Filsafat_ Ilmu, http://mem
[1] Filsafat_ Ilmu,
http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm.
[2] Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat
Kuliah), Bandung
: UPI Bandung.
[3] Jujun S.
Suriasumantri, (1982), Filsafah
Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan.
[4] Agraha Suhandi,
Drs., SHm.,(1992), Filsafat
Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung.
[5] Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat
Kuliah), Bandung
: UPI Bandung.
[6] Husein Al-Kaff, Filsafat Ilmu,)
[7] (Uyoh
Sadulloh,1994:44).
[8] Filsafat_Ilmu,http://members.tripod.com/aljawad/artikelfilsafat_ilmu.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar