MAKALAH PERWAKAFAN DI INDONESIA ; OLEH; JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy
BAB
I
PENDAHULUAN
menurut para imam mazhab wakaf merupakan suatu perbuatan
sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan
baik pembagunan di bidang material maupun spritual. Sebagaimana halnya zakat,
wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan.
Sebagai contoh mesir yang telah berhasil memprogram wakaf sejak seribu tahun
yang lalu.
wakaf bagi ulama mazhab disepakati sebagai amal jariah. Namun
yang menjadi perbedaan mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman
terhadap wakaf itu sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif
masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada
maukuf alaih
Sekalipun hukum materil belum ada tetapi pasal 14
undang-undang tersebut menyatakan: "Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya". Selanjutnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dalam pasal 49 ayat (1) dinyatakan dengan jelas bahwa masalah wakaf dan
sedekah adalah satu wewenang Peradilan Agama. Berdasarkan praktek-praktek yang
berjalan sebelumnya dan ditambah dengan semangat kedua undang-undang ini, maka
hakim Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara wakaf berdasarkan hukum fiqih
yang beredar di Indonesia.
Dengan demikian banyaknya pemikiran para ulama mengenai wakaf
membut banyak sekali pemikiran –pemikiran yang harus di galih di dalamnya, baik
kaitannya wakaf dengan pemikiran fikih para ulama, maupun kaitannya dengan
wakaf yang di tinjau dari perfektif perundang-undangan di Indonesia. Mungkin ini sedikit
gambaran bagaimana kita semua di ajak
mengulas kaitannya denga wakaf dengan fikih, maupun wakaf dengan hukum positif
di indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
Wakaf Dalam Perfektif Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
A.
Interpretasi Ulama Fikih Terhadap
Dalil-dalil Pensyari’atan Wakaf
Interpretasi ulama fikih terhadap dalil-dalil pensyari’atan
wakaf yang masih berbentuk umum tersebut sangat penting diungkapkan dalam
rangka melihat penalaran mereka dalam membangun wakaf menjadi sebuah institusi
tersendiri dengan spesifikasinya. Dalam hal ini dijelaskan hasil ijtihad Abu
Hanifah, Malik, As-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Abu
Yusuf, karena hasil usaha pemikiran mereka dapat dijadikan sebagai alternatif
acuan dalam perwakafan.
Wakaf menurut para imam mazhab merupakan suatu perbuatan
sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sektor keagamaan
baik pembagunan di bidang material maupun spritual. Sebagaimana halnya zakat,
wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan.
Sebagai contoh mesir yang telah berhasil memprogram wakaf sejak seribu tahun
yang lalu.
Persoalan wakaf bagi ulama mazhab disepakati sebagai amal
jariah. Namun yang menjadi perbedaan mereka dan pengikutnya adalah permasalahan
pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan
si wakif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan
kepada maukuf alaih (penerima wakaf)?
Menurut pendapat Abu Hanifah,[1]
harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik
kembali oleh oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya
manfaatnya saja yang diperuntukan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu
Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf mesjid, wakaf yang
ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang
tersebut, yang dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.
Terhadap wakaf mesjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan
hartanya untuk kepentingan mesjid, atau seseorang membuat pembangunan dan
diwakafkan untuk mesjid, maka status wakaf di dalam masalah ini berbeda. Karena
seseorang berwakaf untuk mesjid, sedangkan mesjid itu milik Allah, maka secara
spontan mesjid itu berpindah menjadi milik Allah dan tanggallah kekuasaan si
wakif dalam kasus ini.
Wakaf
yang ditentukan keputusan pengadilan, yaitu apabila terjadi suatu sengketa
tentang harta wakaf yang tak dapat ditarik lagi oleh orang yang mewakafkannya
atau ahli warisnya. Kalau pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta
wakaf. Terangkatlah khilafiyah setelah adanya putusan hakim.
Wakaf wasiat, yaitu bila seseorang dalam keadaan masih hidup
membuat wasiat, jika ia meninggal dunia, maka harta yang telah ditentukannya
menjadi wakaf. Maka dalam contoh seperti ini kedudukannya sama dengan wasiat,
tidak boleh lebih dan 1/3 harta, sebagai harta wasiat.
Abu
Hanifah berpendirian seperti itu dengan menggunakan dalil sebuah hadis
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dari Ibnu Abbas, “La Habasa ‘an
Faraidillah “ (tidak ada penahanan harta (habsa) dalam hal-hal yang sudah ada
ketentuan dan Allah).
Alasan kedua bagi Abu Hanifah sebagaimana yang pernah
diriwayatkan dari Hakim Suraih yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. pernah datang
dengan menjual harta yang telah diwakafkan. Kalau Nabi SAW. saja pernah berbuat
dan menjual harta wakaf, kenapa kita tidak, kata Abu Hanifah. Kalau begitu
menahan asal harta (‘ain benda yang diwakafkan), bukan hal yang disyariatkan.
Sesungguhnya yang dilarang untuk itu adalah terhadap berhala
dan patung. Terhadap dua inilah yang dilarang, kata Abu Hanifah sambil
menjelaskan bahwa Rasul pernah membatalkan wakaf untuk keperluan patung dan
berhala.
Abu Hanifah menjelaskan, dengan diwakafkannya suatu harta
bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemilikan wakif, oleh
sebab itu bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu, boleh pula
menjualnya, karena menurut Abu Hanifah, wakaf sama halnya dengan barang
pinjaman dan sebagaimana dalam soal pinjam meminjam, si pemilik tetap
memilikinya, boleh menjual dan memintanya kembali (seperti ‘ariyah).
Argumentasi lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan
bahwa harta wakaf yang telah diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan
menganalogikan dan menyamakannya dengan sa‘ibah seperti yang terdapat dalam surat AI-Maidah ayat 103,
dan ini sangat dilarang Allah SWT.
Kedua argumen Abu Hanifah bahwa wakaf sebagai aqad tabarru’,
yaitu transaksi dengan melepaskan hak, bukan berarti melepaskan hak atas benda
pokoknya, melainkan yang dilepaskan hanya hasil dan manfaat dari benda yang
diwakafkan itu.
Ada
suatu perbedaan dalam pandangan Imam Abu Hanifah dengan kedua orang muridnya
tentang wakaf. Secara harfiah wakaf berarti penahanan. Wakaf terdiri atas
pemberian atau pemberian harta kekayaan untuk selama-lamanya sehingga tidak ada
hak-hak pemilikan terhadap benda wakaf itu, tetapi hanya ada hak guna saja. Ini
merupakan suatu bentuk pemindahan yang mengalihkan harta kekayaan dan
pemilikkan orang yang menyerahkan tanpa ia alihkan menjadi milik manusia.
Menurut Imam Abu Hanifah yang menentang kesahihan transaksi-transaksi seperti
itu, wakaf menurutnya, “penahanan suatu benda tertentu di dalam pemilikan
pemberi wakaf dan penyerahan atau pendermaan keuntungan-keuntungan sebagai
derma kepada orang-orang miskin atau tujuan-tujuan lain yang baik, dengan cara
pinjaman barang”.
Adapun menurut mazhab Maliki, sebagaimana definisi wakaf yang
disebutkan sebelumnya, harta yang diwakafkan itu menurut Malikiyah tetap
menjadi milik si Wakif. Dalam hal ini sama dengan Abu Hanifah. Akan tetapi,
Maliki menyatakan tidak diperbolehkan mentransasikannya atau men-tasarruf-kannya,
baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu
diwakafkan.[2]
Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu tertentu, bukan sebagai syarat bagi Maliki
selama-lamanya. Apabila habis jangka waktu yang telah ditentukan, maka boleh
mengambilnya lagi, walaupun benda itu untuk mesjid.
Wakaf menurut interpretasi Malikiyah, tidak terputus hak si
wakif terhadap benda yang diwakafkan. Yang terputus itu hanyalah dalam hal
bertasarruf. Malikiyah beralasan dengan hadis Ibnu Umar. Ketika Rasulullah
menyatakan, “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedeqahkanlah hasilnya”. Dari
kalimat ini, menurut Maliki, adalah isyarat dari Rasul kepada umat untuk
mensedeqahkan hasilnya saja. Maliki menambahkan alasannya, apabila benda yang
diwakafkan keluar dari pemilikannya, tentu Nabi tidak menyatakan dengan
kata-kata, “tidak menjualnya, tidak mewariskan dan tidak menghibahkannya”
kepada Umar. Hadits itu seolah-olah menyatakan bahwa Umar tetap memiliki harta
itu, tapi dengan ketentuan tidak boleh di-tasarruf-kan.[3]
Ulama Maliki juga tidak mensyaratkan wakaf itu buat selama
lamanya, karena tidak ada satu dalil pun yang mengharuskan wakaf untuk
selama-lamanya. Oleh sebab itu, boleh bagi Malikiyah berwakaf sesuai dengan
keinginan si wakif.
Sementara menurut Imam al-Syafi’i, harta yang diwakafkan
terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk
selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya
seperti yang dibolehkan Maliki. Maka disyaratkan pula benda yang diwakafkan itu
tahan lama, tidak cepat habisnya, seperti makanan. Alasannya ialah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam al-Syafi’i memahami
tidakan Umar mensedeqahkan hartanya dengan tidak menjual, mewariskan dan
menghibahkan, juga sebagai hadis karena Nabi melihat tindakan umar itu dan
Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai
hadis taqriry, walaupun telah didahului oleh hadis qauly.
Selanjutnya Ahmad bin
Hanbal mengatakan bahwa wakaf terjadi karena dua hal. Pertama, karena kebiasaan
(perbuatan) bahwa dia itu dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Seperti
seseorang mendirikan mesjid, kemudian mengizinkan orang shalat di dalamnya
secara spontanitas bahwa ia telah mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan
(‘urf). Walaupun secara lisan ia tidak menyebutkannya, dapat dikatakan wakaf
karena sudah kebiasaan. Kedua, dengan lisan baik dengan jelas (sarih) atau
tidak. Atau ia memakai kata-kata habastu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu,
harramtu. Bila menggunakan kalimat seperti ini maka ia harus mengiringinya
dengan niat wakaf.
Bila telah jelas seseorang mewakafkan hartanya, maka si wakif
tidak mempunyai kekuasaan bertindak atas benda itu dan juga menurut Hambali
tidak bisa menariknya kembali. Hambali menyatakan, benda yang diwakafkan itu
harus benda yang dapat dijual, walaupun setelah jadi wakaf tidak boleh dijual
dan harus benda yang kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu, tapi
buat selama-lamanya.
B.
Pengalihfungsian Harta Wakaf Menurut Para Ulama Fikih
Menukar dan mengganti benda wakaf, dalam penalaran ulama,
terdapat perbedaan antara benda wakaf yang berbentuk mesjid dan bukan mesjid.
Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak
bergerak.
Terhadap benda wakaf yang berbetuk mesjid, selain Ibn Taimiyyah dan sebagian Hanabalah sepakat menyatakan terlarang menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi'iyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya.
Terhadap benda wakaf yang berbetuk mesjid, selain Ibn Taimiyyah dan sebagian Hanabalah sepakat menyatakan terlarang menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi'iyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya.
Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut
dalam tiga hal:
1)
apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar,
2)
apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan
3)
jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.[4]
Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu:
1) wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar
atau dijual,
2) benda wakaf itu berupa benda
bergerak dan kondisinya tidak seusai lagi dengan tujuan semula diwakafkan,
3) apabila benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk
kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya dan sebagainya.
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan
apakah benda wakaf itu berbetuk mesjid atau bukan mesjid. Ibn Taimiyah
misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila
tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak
dapat lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin
diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, semetara di tempat
yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.
Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama,
tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Lebih
lanjut Ibn Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk tentara
yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak
diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan
hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan.
Kedua, karena kepentingan mashlahat yang lebih besar, seperti masjid dan
tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid baru
yang lebih luas atau lebih baik.
Dalam hal ini mengacu
kepada tindakan Umar ibn al-Khaththab ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari
tempat yang lama ke tempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang
sama terhadap mesjid Nabawi.
Lebih jauh Ibn Taimiyyah mengajukan argumentasi, bahwa
tindakan tersebut ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya
kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu. Hal ini sejalan dengan
kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya :
"Menghindari
kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan"
Selain itu, untuk mempertahankan tujuan hakiki
disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan kesinambungan.[5]
Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya wakif tidak memberi isyarat
secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut ditukar atau dijual
manakala kondisiya sangat mendesak. Apabila tidak sedikit seorang wakif
mewakafkan hartanya karena pertimbangan tabarru' telah merasa cukup dengan
ikrar saja, tanpa dilengkapi dengan persyaratan administratif lainnya.
Golongan Hanabilah membolehkan menjual mesjid apalagi benda
wakaf lain selain mesjid, dan ditukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila
ditemui sebab-sebab yang membolehkan”.[6]
Umpamanya tikar yang
diwakafkan di mesjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi,
boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.
Sementara itu, golongan Syafi'iyah menyatakan bahwa terlarang
menjual dan menukarkan wakaf secara mutlak. Sehingga walaupun wakaf itu
termasuk wakaf khas seperti wakaf untuk keluarga, dan walaupun dibolehkan oleh
bermacam-macam sebab.
Mereka membolehkan bagi si penerima untuk menghabiskannya
guna keperluan sendiri jika ditemui hal yang membolehkan seperti pohon yang
mulai mengering dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berbuah. Maka orang yang
menerima wakaf boleh memanfaatkan guna kayu api, tapi tidak boleh menjual dan
menukarkannya.
Ulama Syafi'iyah
berdalil dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, “Harta wakaf tidak boleh
dijual dihibahkan dan diwariskan.
Adapun ulama Maliki berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh
dijual dalam tiga keadaan: Pertama, orang yang mewakafkan mensyaratkan tidak
boleh menjual sewaktu ada perjanjian wakaf tersebut, lalu ia mengikuti syarat
itu. Kedua, benda yang diwakafkan itu termasuk jenis benda yang bergerak dan
tidak pantas bagi pihak si penerima wakaf Lalu benda wakaf itu dijual dan
harganya dibelikan pada hal yang seumpama dan sebanding dengannya. Ketiga,
tumbuh-tumbuhan yang dijual itu untuk kepentingan perluasan mesjid atau jalan
perkuburan dan pada hal-hal yang lainnya yang tidak boleh dijual.
Kelompok Hanafi membolehkan menjual dan menukar sekalian
benda-benda wakaf khas dan ‘am kecuali mesjid. Mereka membolehkan tersebut
dengan tiga keadaan, yaitu: Pertama, orang yang berwakaf mensyaratkan hal itu
ketika berwakaf. Kedua, harta wakaf itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Ketiga,
pertukaran itu mendatangkan manfaat yang lebih baik dan harga yang lebih mahal.
Al-Mahalli mengatakan bahwa, menurut pendapat yang lebih
shahih dibolehkan menjual tikar mesjid yang telah diwakafkan apabila
tiang-tiang mesjid itu telah lapuk dan mesjid itu telah rusak dan tidak mungkin
lagi diperbaiki kecuali dengan membukanya, supaya kehancuran tidak
mengiringinya.[7]
Di antara kandungan hadis ini adalah benda yang diwakafkan
tidak boleh dijual selagi masih utuh seluruhnya. Akan tetapi apabila secara
umum tidak dapat dipakai lagi dan sebahagian masih utuh, boleh dijual dan hasil
penjualan itu dipergunakan kembali untuk memperbaiki mesjid tersebut.
Berdasarkan hal ini, maka dapat pula dipahami bahwa boleh menjual harta wakaf
apabila ada hal yang menghendakinya.
Ibnu Qudamah, salah seorang ulama dari mazhab Hanbali, dalam
kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa apabila harta wakaf menuju kebinasaan
sehingga tidak dapat dimanfaatkan, maka harta wakaf itu dapat dijual, kemudian
harga penjualan tersebut dibelikan kepada benda yang dapat dimanfaatkan sesuai
dengan wakaf yang pertama.
Sementara itu, al-Sayyid Sabiq memberi jawaban atas pendapat
Ibnu Taimiyah: “Adapun mengganti apa yang dinazarkan dan diwakafkan dengan yang
lebih baik darinya, seperti dalam penggantian hadiah, maka yang demikian ini
ada dua macam:
Pertama, penggantian karena kebutuhan. Misalnya karena macet,
maka ia dapat dijual dan harganya dapat dibelikan kepada benda yang serupa
untuk menggantinya, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, maka ia dapat
dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya,
mesjid bila tidak dapat difungsikan lagi sesuai dengan tujuan wakaf semula,
maka dapat diganti atau ditukar serta dijual. Semua ini dibolehkan karena
apabila yang asal tidak bisa mencapai maksud, maka diganti dengan yang lainnya.
Kedua, penggantian karena kepentingan yang lebih kuat.
Misalnya menggantikan hadiah dengan yang lebih baik dan berguna seperti Mesjid
bila dibangun yang lain sebagai gantinya yang lebih baik bagi penduduk
setempat. Mesjid pertama boleh dijual. Hal seperti ini diperbolehkan Ahmad bin
Hambal dan ulama-ulama lainnya. Ahmad beralasan dengan tindakan Umar bin
Khaththab yang memindahkan mesjid Kufah yang lama ke tempat yang baru, dan
tempat yang lama dijadikan pasar untuk penjual-penjual buah tamar. Sedangkan
dalam masalah penggantian bangunan dengan bangunan lain, Khalifah Umar dan
Ustman pernah membangun tanpa mengikuti konstruksi pertama dan bahkan memberi
tambahan, demikian juga Mesjidil Haram.
Berdasarkan uraian itu, berarti pada prinsipnya harta wakaf
tidak bisa dilakukan transaksi hukum lain, seperti dihibahkan, dijual, atau
diwariskan, namun apabila tidak bermanfaat lagi sesuai dengan ikrar wakaf
semula, atau adanya kepentingan umum yang lebih besar, maka pengalihfungsian
benda wakaf merupakan bentuk solusi dengan pertimbangan mashlahah.
C. Wakaf dalam Ketentuan Perundang-undangan di
Indonesia
Sebetulnya masalah perwakafan telah ada di Indonesia sejak zaman dahulu. Sejak
Pemerintahan Kolonial sampai dengan pemerintahan Orde Baru telah ada peraturan
perundang yang mengaturnya. Hanya saja pengaturannya tidak secara tuntas
mengatur tentang tata caranya, pengelolaannya, perubahan peruntukan maupun
pendaftarannya, dan lain-lainnya.
a. Di
zaman Pemerintahan Kolonial
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia,
maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada Indonesia.
Dengan berdirinya Priesterraad (Rad Agama/Peradilan Agama) berdasarkan
Staatsblad No. 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah
wakaf menjadi salah satu wewenangnya, disamping masalah perkawinan, waris,
hibah, sadakah, dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama
Islam.[8]
Pengakuan Belanda ini berdasarkan kenyataan bahwa
penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf dan lain-lain yang berhubungan
dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah Syar’iyyah atau
Peradilan Agama lokal dengan beragam nama di berbagai daerah di Indonesia.
Selama pemerintahan kolonial berkuasa di Indonesia, setidak-tidaknya ada
tiga macam peraturan yang berhubungan dengan perwakafan, khususnya tanah,
yakni:
(1) Surat Edaran
Sekretaris Gurvernamen tanggal 31 Januari 1905, nomor 435.
Peraturan dimaksud sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 nomor 6196, tentang Teozicht op den bouw van Mohammedaansche bedehueien. Peraturan ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Vostalanden Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan maksud yang dikandungnya adalah:
Peraturan dimaksud sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 nomor 6196, tentang Teozicht op den bouw van Mohammedaansche bedehueien. Peraturan ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Vostalanden Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan maksud yang dikandungnya adalah:
a) untuk mengawasi agar tanah-tanah yang di atasnya
telah didirikan suatu bangunan yang sudah tidak lagi dipergunakan sebagai wakaf
jangan diterlantarkan.
b) supaya diadakan pendaftaran agar dapat dibatasi
kalau kepentingan umum menghendaki.
Akibat dari peraturan tersebut maka dalam prakteknya,
bagi seorang yang hendak mewakafkan tanahnya harus minta izin terlebih dahulu
kepada Bupati setempat. Surat Edaran ini mendapatkan reaksi yang cukup keras
dari umat Islam.
(2) Surat Edaran Sekretaris Governamen tanggal 24 Desember
1934 dan tanggal 27 Mel 1935.Kedua peraturan perundang-undangan tersebut
masing-masingnya:
a. Nomor 3088/A yang termuat dalam Bijblad tahun 1934
Nomor 13390 tentang Teozicht van de Rereening op Moham-meedaansche bedehuizen,
vrijdog diensten en wakes, dan;
b. Nomor 1273/A yang termuat di dalam Bijblad 1935
Nomor 13480 tentang Teozicht van de Rereering op Moham-meedaansche bedehuizen
en wakes.
Kedua Surat Edaran tersebut berisi antara lain bahwa untuk sahnya suatu wakaf tidak disyaratkan lagi harus minta izin terlebih dahulu kepada Bupati, akan tetapi cukup memberitahukannya dengan maksud untuk mempertimbangkan apakah ada atau tidak peraturan-peraturan umum atau daerah (setempat) yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan wakaf. Kalau ternyata ada, maka Bupati berhak mengajukan wakaf tanah-tanah yang lain, dan lain-lainnya.
Kedua Surat Edaran tersebut berisi antara lain bahwa untuk sahnya suatu wakaf tidak disyaratkan lagi harus minta izin terlebih dahulu kepada Bupati, akan tetapi cukup memberitahukannya dengan maksud untuk mempertimbangkan apakah ada atau tidak peraturan-peraturan umum atau daerah (setempat) yang menghalang-halangi pelaksanaan tujuan wakaf. Kalau ternyata ada, maka Bupati berhak mengajukan wakaf tanah-tanah yang lain, dan lain-lainnya.
Dengan demikian diharapkan tanah wakaf tidak akan terkena
dengan perubahan-perubahan dan rencana-rencana yang akan dibuat di masa yang
akan datang, sehingga tidak terkena gangguan atau kepentingan pemerintah
lainnya dengan tujuan agar tanah wakaf dapat berfungsi selama-lamanya.
Ketiga macam peraturan tersebut mengubah hukum fiqh yang
mengatur tentang perwakafan, tidak mengatur tentang keharusan adanya qabul,
nadzir, saksi-saksi, pencatatan dan apalagi sampai pendaftarannya di Kantor
Agraria (Badan Pertanahan Nasional) setempat.
B. Di
zaman kemerdekaan
Setelah Indonesia
merdeka, salah satu kelengkapan struktur pemerintahan untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintah di bidang agama adalah Departemen Agama. Oleh karena
masalah perwakafan khususnya tanah, selain berkaitan erat dengan masalah
keagrariaan juga berkaitan erat dengan masalah keagamaan, maka tugas pembinaan
dan pengawasannya dilakukan oleh Departemen Agama.
Sehubungan dengan kewenangan Departemen Agama atas perwakafan tanah seperti tersebut di atas, maka telah dikeluarkan pula beberapa peraturan tentang perwakafan, antara lain:
Sehubungan dengan kewenangan Departemen Agama atas perwakafan tanah seperti tersebut di atas, maka telah dikeluarkan pula beberapa peraturan tentang perwakafan, antara lain:
1)
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1950 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 9 dan 10 Tahun
1952.[9]
Peraturan-peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran secara vertikal di daerah, mulai dari Kantor Urusan Agama propinsi, kabupaten dan kecamatan, berkewajiban untuk menyelidiki, menentukan dan mendaftarkan serta mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah sebagai dasar kompetensi dari pada kementerian (Departemen Agama) untuk mengurusi soal-soal perwakafan
Peraturan-peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran secara vertikal di daerah, mulai dari Kantor Urusan Agama propinsi, kabupaten dan kecamatan, berkewajiban untuk menyelidiki, menentukan dan mendaftarkan serta mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah sebagai dasar kompetensi dari pada kementerian (Departemen Agama) untuk mengurusi soal-soal perwakafan
2) Petunjuk Departemen Agama tanggal 22 Desember 1952
tentang petunjuk-petunjuk mengenai wakaf.
3) Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Islam tanggal 8
Oktober 1956, Nomor 3/D/1 956 tentang wakaf yang bukan milik kemesjidan.
4) Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Islam Nomor
5/0/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.
Peraturan-peraturan
tersebut di atas, keadaannya sama halnya dengan peraturan-peraturan yang
dikeluarkan di zaman Kolonial dalam arti tidak memberi aturan yang jelas, tegas
dan tuntas terhadap praktek perwakafan tanah dalam arti: (a) mengatur tata
caranya; (b) peruntukan atau kegunaannya; (c) hak dan kewajiban pengelolanya;
(d) kewajiban pendaftaran tanahnya; (e) cara perubahan status dan
peruntukkannya, dan lain sebagainya.
Akibat dari ketidaktegasan dan ketidaktuntasan
peraturan-peraturan tersebut di atas dalam mengatur masalah perwakafan tanah,
maka dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, tetap saja memudahkan
timbulnya penyimpangan dan penyelewengan dari hakekat dan tujuan wakaf,
sehingga di dalam prakteknya, peraturan perundang-undangan dimaksud, baik yang
dikeluarkan di zaman penjajahan Belanda maupun yang dikeluarkan setelah
kemerdekaan, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Di zaman kemerdekaan, masalah wakaf mendapat perhatian yang
lebih dari pemerintah, antara lain melalui Departemenn Agama. Selama lebih dari
30 tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri, instruksi menteri/gubernur dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah wakaf.
Peraturan
perundang-undangan tersebut antara lain.[10]
-
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (L.N. 1960-104, T.L.N. 2043).
-
PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (L.N.
1961-28, T.L.N. 2171.
- Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (LN. 1963-61, T.LN. 2555).
- PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik (L.N. 1977-38, T.L.N. 3107.
- Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (LN. 1963-61, T.LN. 2555).
- PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik (L.N. 1977-38, T.L.N. 3107.
-
Peraturan Menteri Agraria No. 6 Tahun 1965 tentang
pedomann-pedoman pokok penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diatur
dalam PP No. 10 Tahun 1961.
-
Peraturan menteri dalam negeri No. 6 tahun 1977 tentang
tata pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik.
-
Permenag tahun
1978 tentang peraturan pelaksanaan PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakakafan
tanah milik.
-
Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1992 tentang biaya pendaftaran tanah kepala
badan pertanahan nasional.
-
Keputusan Menag
No. 73 Tahun 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada kepala Kanwil
Departemen Agama propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/
memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW.
-
Keputuan Menag
No. 326 Tahun 1989 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penertiban Tanah Wakaf Seluruh
Indonesia Tingkat Pusat.
-
Keputusan Menag
No. 126 Tahun 1990 tentang penyempurnaan lampiran keputusan menag no. 326 tahun
1989 tentang susunan personalia Tim koordinasi Penertiban Tanah Wakaf semuruh
Indonesia Tingkat pusat.
-
Keputusan Menag
No. 196 tahun 1991 tentang penyempur-naan lampiran keputusan Menag No. 126
Tahun 1990 tentang Susunan Personalia Tim Koordinasi Penertiban Tanah Wakaf Semuruh
Indonesia Tingkat Pusat.
-
Instruksi
bersama Menag, dan Mendagri No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 tentang Perwakafan Tanah Milik Tahun 1977.
-
Instruksi Menag
No. 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menag No. 73 Tahun 1978
tentang Pendelegasian Wewenang Kepada Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan
sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
-
Instruksi Menag
No. 3 Tahun 1987 tentang bimbingan dan pembinaan kepada Badan Hukum kegamaan
sebagai Nadzir dan badan hukum keagamaan yang memiliki tanah.
-
Instruksi menag
No. 15 tahun 1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan Tanah
Wakaf.
-
Instruksi
Bersama Menag dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 No. 24
Tahun 1990 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf
-
Keputusan Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji No. 15 Tahun 1990 tentang Penyempurnaan Formulir
dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
-
Surat Dirjen bimas Islam dan Urusan Haji No. D.11/5/Ed/
07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah milik
-
Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.11/5/Ed/
11/1981 tentang petunjuk pengisian Nomor pada formulir Perwakafan Tanah milik
-
Surat Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.11/1/ KU.03.2/363/1986 tentang bea materai,
akta nikah, akta ikrar wakaf dan sebagainya dengan lampiran rekaman surat Direktur Jenderal
Pajak No. 5-401/Pj.3/1986 tentang bea materai, akta nikah, akta ikrar wakaf dan
sebagainya.
-
Surat Edaran
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.11/5/ HK/007/901/1989 tentang Petunjuk
Perubahan Status/Tukar Menukar Tanah Wakaf.
-
Edaran Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.ED/BA. 03.2/01/1990 tentang Petunjuk Teknis
Instruksi Menteri Agama No. 15 Tahun 1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
dan Pensertifikatan Tanah Wakaf
-
Surat Edaran
Dirjen bimas Islam dan Urusan haji No. D.II/5/ HK.00.4/2981/1990 perihal
pejabat yang menandatangani keputusan tentang Tim Koordinasi Penertiban Tanah
Wakaf Tingkat Propinsi dan Tingkat Kabupaten/Kotamadya.
-
Surat Edaran
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/Ed/ KU.03.1/03/1990 tentang penempatan
materai tempel pada blangko wakaf dengan lampiran rekaman Surat Dirjen Pajak
No. 5-165/Pj.5.3/1990 perihal Bea Materai Akta Nikah, Akta Ikrar wakaf dan
sebagainya.
Dalam pasal 5 UU No. 3 Tahun 1960 dinyatakan:
Dalam pasal 5 UU No. 3 Tahun 1960 dinyatakan:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama. Wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia
di samping kenyataan bahwa hukum adat (‘urf) adalah salah satu sumber
komplementer hukum Islam.[11]
Dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas
tentang hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial. "Hak milik tanah
badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam
bidang-bidang keagamaan dan sosial”.
Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang
diakui dan dilindungi oleh undang-undang ini.
Dengan
lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan Peradilan Agama sebagai salah satu dari empat
lingkungan peradilan di Indonesia, masalah wakaf tetap menjadi salah satu
kompetensi Peradilan Agama.
Sekalipun hukum materil belum ada tetapi pasal 14
undang-undang tersebut menyatakan: "Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya". Selanjutnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dalam pasal 49 ayat (1) dinyatakan dengan jelas bahwa masalah wakaf dan
sedekah adalah satu wewenang Peradilan Agama. Berdasarkan praktek-praktek yang
berjalan sebelumnya dan ditambah dengan semangat kedua undang-undang ini, maka
hakim Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara wakaf berdasarkan hukum fiqih
yang beredar di Indonesia.
Usaha untuk mewujudkan sebuah hukum substantif tertulis dalam
bidang wakaf dan bidang-bidang lainnya yang menjadi kompetensi peradilan Agama
tetap dilakukan. Di antara usaha tersebut adalah Kompilasi Hukum Islam
berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 dan pelaksanaannya
berdasarkan Keputusan Menag RI No. 154 tahun 1991. Buku III memuat masalah
wakaf yang terdiri dari 5 (lima)
bab dan 19 pasal.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Di
zaman kemerdekaan, masalah wakaf mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah,
antara lain melalui Departemenn Agama. Selama lebih dari 30 tahun sejak tahun
1960, telah dikeluarkan berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
menteri, instruksi menteri/gubernur dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah wakaf.
Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
PP
No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah
PP
No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik
Dan masih banyak
lagi aturan-aturan tentang perwkafan tersebut
Sebetulnya
masalah perwakafan telah ada di Indonesia
sejak zaman dahulu. Sejak Pemerintahan Kolonial sampai dengan pemerintahan Orde
Baru telah ada peraturan perundang yang mengaturnya. Hanya saja pengaturannya
tidak secara tuntas mengatur tentang tata caranya, pengelolaannya, perubahan
peruntukan maupun pendaftarannya, dan lain-lainnya.
Sewaktu Belanda
mulai menjajah Indonesia,
maka wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada Indonesia.
Dengan berdirinya Priesterraad (Rad Agama/Peradilan Agama) berdasarkan
Staatsblad No. 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah
wakaf menjadi salah satu wewenangnya, disamping masalah perkawinan, waris,
hibah, sadakah, dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama
Islam.
Setelah
Indonesia
merdeka, salah satu kelengkapan struktur pemerintahan untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintah di bidang agama adalah Departemen Agama. Oleh karena
masalah perwakafan khususnya tanah, selain berkaitan erat dengan masalah keagrariaan
juga berkaitan erat dengan masalah keagamaan, maka tugas pembinaan dan
pengawasannya dilakukan oleh Departemen Agama.
Dalam
pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-hak tanah
untuk keperluan suci dan sosial. "Hak milik tanah badan-badan keagamaan
dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial
diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah
yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang-bidang keagamaan dan sosial”.
Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang ini.
Wakaf adalah salah satu lembaga keagamaan dan sosial yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Jawad al-Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah 'ala
Mazahib al-Khamsah, (Beirut
: Dar al-'Ilm al-Malayin, 1964
Abd al-Rahman al-Asyimi, Majmu' al-Fatawa Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyyah
Muhammad Jawad Mughniyah, al-ahwal al-syakhsiyah
Ja1a1uddin al-Mahally, Qalyubi wa Umairah
Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta: T.p, 1953.
Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria
Nasional, Jakarta:
PT. Tatanusa, 2003
Himpunann peraturan perundang-undangan Perwkafann Tanah
milik, diterbitkan oleh Proyek Peningkatan sarana Keagamaan Islam, Zakat dan
Wakaf, (Jakarta: 1994/1995).
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria,

[1]
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Mesir: Dar al-Fikri, 1986),
h. 153.
[2]
Ahmad ibn Muhammad al-Dardiriy, Syarh al-Shagir 'ala Mukhtar Aqrab al-Masalik
li Mazhab Imam Malik, (Mesir: Dar al-Tahrir wa al-Nasyr, 1968), jilid 4, h. 107
[3]
Wahbah Zuhaily, op.cit., h. 154.
[4]
Muhammad Jawad al-Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah 'ala Mazahib al-Khamsah,
(Beirut : Dar al-'Ilm al-Malayin, 1964), h. 333.
[5]
Abd al-Rahman al-Asyimi, Majmu' al-Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah,
(T.Tp: T.pn, t.th): juz. 22, h. 100.
[6]
Muhammad Jawad Mughniyah, al-ahwal al-syakhsiyah, h. 333.
[7]
Ja1a1uddin al-Mahally, Qalyubi wa Umairah, h. 108.
[8]
Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, (Yogyakarta: T.p,
1953), h. 7.
[9]
Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta: PT. Tatanusa,
2003), h. 8.
[10]
Himpunann peraturan perundang-undangan Perwkafann Tanah milik, diterbitkan oleh
Proyek Peningkatan sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta:
1994/1995).
[11] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, pasal 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar