Minggu, 15 November 2015

MAKALAH POSITIVISME OLEH JOMIANTO MUZAKKI. S.Sy METRO LAMPUNG


MAKALAH POSITINISME OLEH: JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy.
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme  rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari  Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan).[1]
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya.  Positivisme logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut positivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu. Fungsi analisis ini di satu pihak mengurangi metafisika, yaitu filsafat dalam arti tradisional, dan di lain pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1.      sepertiapakah yang diakatakan aliran positivisme.?
2.      aliran-aliran positivisme logis
3.      apakah yang di maksud dengan positivisme moral itu?
4.      sps yang menyebabkan aliran positivisme muncul.?

B. Tujuan Pembahasan
Tujuan makalah ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.


















BAB II
PEMBAHASAN

1.  POSITIFISME
Positivisme dalam bahasa Inggris, yaitu: positivism, dalam bahasa Latin positivus, ponere yang berarti meletakkan. Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.[2]
Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya: August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903) .[3]
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.[4] Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.



2.  POSITIVISME DAN ALIRAN LAIN
positivisme tampil sebagai jawaban terhadap ketidak mampuan filsafat spekulatif (misalnya, idealisme Jerman klasik) untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari perkembangna ilmu.
Kaum positivis menolak spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Posuitivisme menyatakan salah dan tidak bemakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab dan sebgainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau tingkat yang tinggi dari alam abstrak.
Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat non metafisik, yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasrkan ilmu-ilmu empiris dan menyediakan metodelogi bagi ilmu-ilmu tersebut.[5]
Pada hakikatnya poitivisme merupakan empirisme, yang disegi-segi tertentu sampai pada kesimpulan logis ekstrim: karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Aliaran filsafat ini dtandai oleh pendewaan ilmu dan metode ilmiah.
Pada versi-versi awalnya, metode-metode ilmiah dianggap berpotensi tidak saja memperbaharui filsafat tetapi juga masyarakat. Istilah inidiperkenalakan oleh Saint-Simon menurutnya; implikasi-implikasi filsafat positif mencakup pembaharuan-pembaharuan politik, pendidikan dan agama. Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme ligis dan positivisme moral.

3.  POSITIVISME LOGIS
A. Pengertian Positivisme
Positivisme Logis merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lainteori  tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah  pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
B. Sejarah Muncul
Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik.
Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna. Rumusan asli ini ( dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun Mengalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.
Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah- kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi
faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai  suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan- ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.
C. Ajaran Pokok Positivsme logis
pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk mentukan kebenarannya ( atau kesalahannya ) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman yang mungkin yang pernah dapat mendukung pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti : “ Yang tiada itu sendiri tiada” ( The nothing it self nothing- Das Nichts selbst nichest, Martin Heidegger ), “ yang mutlak mengatasi Waktu”, “ allah adalah  Sempurna “, ada murni tidak mempunyai ciri “, pernyataan-pernyataan  metafisik adalah semu. Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak bermakna. Auguste Comte ( 1798-1857 ) ia memiliki peranan yang sangat penting dalam aliran ini. Istilah “positivisme” ia populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam kerangka tiga tahap. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah- istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan ketiga, tahap positif.
Disini, peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan secara ilmiah. Upaya-upaya kaum positivis untuk mentransformasikan positivisme menjadi semacam “agama baru”,cendrung mendiskreditkan pandangan- pandangannya. Tetapi tekanan pada fakta-fakta, indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,dan upya untuk menjelaskan hukum- hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta,diterima dan de ngan cara berbeda-beda diperluas oleh J.S Mill ( 1806-1873 ).E.Mach (1838-1916 ),
K.Pierson ( 1857-1936 ) dan P.Brdgeman ( 1882-1961 ).

4. POSITIVISME MORAL
Positivisme moral menegaskan bahwa nilai-nilai didasarkan pada kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan variasi-variasi waktu dan tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral kegiatan manusia tidak terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan hakikat pribadi manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang mungkin.
Bukti utama bagi positivisme moral adalah kesaksian sejarah. Setiap bangsa dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai moralnya sendiri dan nilai-nilai sering ditemukan bertentangan. Apa yang sebelumnya diperbolehkan seakan-akan pada suatu generasi kemudian kurang mendapat penghargaan dari manusia atau bahkan malah bersifat tidak sopan.[6]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Positivisme logis merupkan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat.
Menurut Pistivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentng bahasa ilmu. Fungsi analisis ini,disatu pihak, mengurangi “ metafisika” (yaitu,filsafat dalam arti tradisional) dan di lain pihak meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunyasumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan denganmetafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Salahsatu tokoh filsafat positivisme adalah Agust Comte.
Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai  suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme.
Posuitivisme menyatakan salah dan tidak bemakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab dan sebgainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau tingkat yang tinggi dari alam abstrak.










DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/
http://haqiqie.wordpress.com/2011/04/27/positivis-logis.



[1] Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
[2] Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
[3] http://haqiqie.wordpress.com/2011/04/27/positivis-logis/
[4]http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan perkembangannya.
[5] Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
[6] Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar