MAKALAH POSITINISME OLEH: JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Positivisme
(disebut juga sebagai empirisme logis,
empirisme rasional, dan
juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang
berasal dari Lingkaran
Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang
ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah
benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh
yang menganut paham positivisme ini antara lain Moritz
Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah
satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis
ini.
Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19.
Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang factual dan yang
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan
segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat
memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan).[1]
Positivisme
berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang
mengakaitkan keduanya. Positivisme logis
merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara
istilah-istilah.
Tugas
pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Menurut
positivisme logis, filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis
logis tentang bahasa ilmu. Fungsi analisis ini di satu pihak mengurangi
metafisika, yaitu filsafat dalam arti tradisional, dan di lain pihak, meneliti
struktur logis pengetahuan ilmiah.
B. Rumusan Masalah
1.
sepertiapakah yang diakatakan aliran positivisme.?
2.
aliran-aliran positivisme logis
3.
apakah yang di maksud dengan positivisme moral itu?
4.
sps yang menyebabkan aliran positivisme muncul.?
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan makalah ini adalah menentukan isi
konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara
empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan
pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan
ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan
menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan
matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
BAB II
PEMBAHASAN
1. POSITIFISME
Positivisme dalam bahasa Inggris, yaitu:
positivism, dalam bahasa Latin positivus, ponere yang berarti meletakkan.
Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang
menekanakan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya
positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu
landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain, positivime merupakan
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis
atau metafisik.[2]
Filsafat positifisme lahir pada abad ke-19.
Titik tolak pemikirannya, segala yang diketahui adalah yang factual dan yang
positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif adalah segala gejala dan
segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur untuk dapat
memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya: August
Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903) .[3]
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami
perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama
Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari
Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran
dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan
dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.[4]
Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis
pengetahuan ilmiah.
2. POSITIVISME DAN ALIRAN LAIN
positivisme tampil sebagai jawaban terhadap
ketidak mampuan filsafat spekulatif (misalnya, idealisme Jerman klasik) untuk
memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari perkembangna
ilmu.
Kaum positivis menolak spekulasi teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Posuitivisme menyatakan
salah dan tidak bemakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat
tradisional tentang ada, substansi, sebab dan sebgainya, yang tidak dapat
dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau
tingkat yang tinggi dari alam abstrak.
Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat
non metafisik, yang sama sekali baru, yang dibentuk berdasrkan ilmu-ilmu
empiris dan menyediakan metodelogi bagi ilmu-ilmu tersebut.[5]
Pada hakikatnya poitivisme merupakan
empirisme, yang disegi-segi tertentu sampai pada kesimpulan logis ekstrim:
karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain
bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Aliaran filsafat
ini dtandai oleh pendewaan ilmu dan metode ilmiah.
Pada versi-versi awalnya, metode-metode
ilmiah dianggap berpotensi tidak saja memperbaharui filsafat tetapi juga
masyarakat. Istilah inidiperkenalakan oleh Saint-Simon menurutnya;
implikasi-implikasi filsafat positif mencakup pembaharuan-pembaharuan politik,
pendidikan dan agama. Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme
ligis dan positivisme moral.
3. POSITIVISME LOGIS
A. Pengertian Positivisme
Positivisme Logis merupakan
Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal
yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis
definisi dan relasi antara
istilah-istilah.
Positivisme Logis (disebut
juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan
juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa
filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk
menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah
atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut
paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick,
Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski
awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut
paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang
berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang
jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori
paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan
empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang
paling dikenal antara lainteori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut
sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut
dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah
keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga
tergolong ke dalam bidang metafisika.
B. Sejarah Muncul
Positivisme Logis menyajikan
suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan
Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus
bersifat analitik maupun bersifat sintetik.
Kalimat-kalimat analitik itu
bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi )
semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung
informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan
laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang
didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik
dan teologis tidak cocok dengan
kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna. Rumusan asli ini ( dari M.schlick,
R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain lambat laun Mengalami
serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi
semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip,
konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi
empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis
faktual diperluas daei pencerapan-pencerapan ke laporan laporan pengamatan, kebahasa empiris.
Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan
dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational,
dan kaidah- kaidah korespondensi yang mengaitkan
keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi
penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan
informasi
faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak
mempunyai arti faktual sa mapi pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan
ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Kendati
positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam,
ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi
ia menemukan prtalian alami dalam behaviorisme dan operasionalisme.
Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna
dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-
ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai
basis terakhir dari hukum. Dengan
demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau
norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.
C. Ajaran Pokok Positivsme logis
pernyataan-pernyataan
metafisik tidak bermakna. Pernyataan itu tidak dapat
diverifikasi secara empiris dan bukan
tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk
mentukan kebenarannya ( atau kesalahannya
) dengan mengacu pada pengalaman. Tidak ada pengalaman
yang mungkin yang pernah dapat mendukung
pertanyaan-pertanyaan metafisik seperti : “ Yang tiada
itu sendiri tiada” ( The nothing it self nothing- Das
Nichts selbst nichest, Martin Heidegger ), “ yang mutlak
mengatasi Waktu”, “ allah adalah
Sempurna “, ada murni tidak mempunyai
ciri “, pernyataan-pernyataan metafisik
adalah semu. Metafisik berisi ucapan-ucapan yang tak
bermakna. Auguste Comte ( 1798-1857 ) ia memiliki peranan yang
sangat penting dalam aliran ini. Istilah “positivisme” ia
populerkan. Ia menjelaskan perkembangan pemikiran manusia dalam
kerangka tiga tahap. Pertama,tahap teologis. Disini , peristiwa-peristiwa dalam alam dijelaskan dengan istilah-
istilah kehendak atau tingkah dewa-dewi. Kedua, tahap metafisik. Disini, peristiwa-peristiwa tersebut
dijelaskan melalui hukum-hukum umum tentang alam. Dan
ketiga, tahap positif.
Disini, peristiwa-peristiwa
tersebut dijelaskan secara ilmiah. Upaya-upaya
kaum positivis untuk mentransformasikan positivisme menjadi
semacam “agama baru”,cendrung mendiskreditkan pandangan- pandangannya.
Tetapi tekanan pada fakta-fakta, indentifikasi atas fakta-fakta dengan pengamatan-pengamatan indera,dan upya untuk menjelaskan hukum-
hukum umum dengan induksi berdasarkan fakta,diterima dan de ngan
cara berbeda-beda diperluas oleh J.S Mill ( 1806-1873 ).E.Mach
(1838-1916 ),
K.Pierson
( 1857-1936 ) dan P.Brdgeman ( 1882-1961 ).
4. POSITIVISME MORAL
Positivisme moral menegaskan bahwa
nilai-nilai didasarkan pada kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan
variasi-variasi waktu dan tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral
kegiatan manusia tidak terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan
hakikat pribadi manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang
mungkin.
Bukti utama bagi positivisme moral adalah
kesaksian sejarah. Setiap bangsa dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai
moralnya sendiri dan nilai-nilai sering ditemukan bertentangan. Apa yang
sebelumnya diperbolehkan seakan-akan pada suatu generasi kemudian kurang mendapat
penghargaan dari manusia atau bahkan malah bersifat tidak sopan.[6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Positivisme logis merupkan
aliran pemikiran yang membatasi pikiran
pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Tugas pertama dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua
khusus untuk filsafat.
Menurut Pistivisme logis,
filsafat ilmu murni mungkin hanya sebagai suatu analisis logis tentng bahasa ilmu. Fungsi analisis
ini,disatu pihak, mengurangi “ metafisika” (yaitu,filsafat dalam
arti tradisional) dan di lain pihak meneliti struktur
logis pengetahuan ilmiah.
Positivisme adalah suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunyasumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan denganmetafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Salahsatu
tokoh filsafat positivisme adalah Agust Comte.
Kendati positivisme logis dikembangkan
sebagai suatu basis
interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke
ilmu-ilmu manusia. Dalam psikologi ia menemukan prtalian
alami dalam behaviorisme dan operasionalisme.
Posuitivisme menyatakan salah dan tidak
bemakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang
ada, substansi, sebab dan sebgainya, yang tidak dapat dipecahkan atau
diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau tingkat yang tinggi
dari alam abstrak.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit,
F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat
Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Laeyendecker,
L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Wuisman,
J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI,
Jakarta, 1996
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/
http://haqiqie.wordpress.com/2011/04/27/positivis-logis.
[1] Ankersmit, F.R., Refleksi
Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1,
Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1987
[2] Bagus, Lorens, Kamus Filsafat,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1996
[3]
http://haqiqie.wordpress.com/2011/04/27/positivis-logis/
[4]http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/positivisme-dan
perkembangannya.
[5] Laeyendecker, L. Tata, Perubahan
dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta,
1983
[6] Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,
jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar