MAKALAH ISRAILIYAH, JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an mengajak kepada umat manusia untuk mempertahankan
dan mendengarkan amsal-amsal, sebab dengan amsal akan ditemukan suatu kebenaran
yang hakiki mengenai kekuasasan Allah swt. Di samping itu, amsal juga berguna
sebagai sarana untuk menginterpretasikan permasalahan atau peristiwa yang
belum dipahami oleh umat manusia. Manusia dapat menelaah dan mengamalkan
ajarannya sebagaimana pesan Al-Qur’an.
Menurut Sayyid Qutub, terutama terletak pada kesempatan
bahasa yang digunakannya. Bahasa Al-Qur’an menjanjikan kenyataan yang
realistis, peristiwa masa lalu yang tekstual, kisah-kisah yang dituturkan turun
temurun, perumpamaan-perumpaman yang tepat dan kena sasaran, pemandangan
mengenai hari kiamat, gambaran yang kontras antara kenikmatan dan siksaan,
keteladanan dan kesetiakawanan antara sesama manusia, semuanya terpadu
menyatakan antar alam pikiran dengan kenyataan serta menyentuh dalam hati
nurani.[1]
Mengenai pesona bahasa ini sering dikaitkan dengan
kemu’jizatan Al-Qur’an. Letak kemu’jizatannya itu salah satu diantaranya ialah
pada “amsalnya”. Terdapat sejumlah amsal dalam Al-Qur’an, dibentangkan supaya
manusia senantiasa berpikir dan berzikir. Ayat-ayat amsal merupakan pelajaran
yang sangat berharga dalam kehidupan sehari-hari terutama kaitannya dengan ilmu
pengetahuan dan keimanan, di dalam ayat-ayat amsal dapat ditemukan berbagai
karakter umat manusia yang dianalogikan seperti bintang.
B.
Rumusan Masalah
Dengan demikian pemakalah memfokuskan pembahasan mengenai
amsal Al-Qur’an dengan permasalahan sebagai berikut :
- Apa pengertian amsal Al-Qur’an
- Bagaimana macam-macam amsal Al-Qur’an
- Apa faedah amsal Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN AMTSAL AL-QUR’AN
Amsal
Al-Qur’an terdiri dari dua kata yakni amsal dan Al-Qur’an. Amsal berasal dari
(masa-yamsilu-amsal) yang berarti sama, serupa, atau perumpamaan.[2] Amsal
juga berarti artinya contoh atau teladan, dan amsal juga bermakna
yang berarti kesamaan atau penyempurnaan.[3]
Adapun definisi amsal adalah : menonjolkan sesuatu makna yang
abstrak dalam bentuk indrawi agar menjadi indah dan menarik.[4] Dalam
ilmu sastra masal adalah suatu ungkapan, perkataan yang dihikayatkan dan sudah
popular dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu
dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.[5]
Maksudnya ialah menyerupakan sesuatu (seseorang atau keadaan) dengan apa yang
terkandung dalam perkataan itu misalnya (berapa banyak lemparan-panah yang
mengena tanpa sengaja). Artinya betapa banyak lemparan panah yang mengenai
sasaran itu dilakukan seseorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya.
Orang pertama yang mengucapkan masal ini adalah al Hakam Bin
Yagus an Angari. Masal ini ia katakan kepada orang yang biasanya berbuat salah
yang kadang-kadang ia berbuat benar atas dasar-dasar ini masal harus
mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
Kata masal digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan”
dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata
“masal” dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah :
Artinya
: (Apakah) masal syurga yang didalamnya ada sungai-sungai dasar liar yang tiada
berubah rasa dan baunya…(Muhammad (47): 15). Maksudnya : kisah dan sifat syurga
yang sangat menakjubkan.
Zamakhsyar telah mengisyaratkan akan ketiga arti dalam
kitabnya, al Kasysyaf, ia berkata : Masal menurut asal perkataan
mereka berarti al misl dan an-Nazir (yang serupa, yang sebanding). Kemudian
setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu (orang,
keadaan dan sebagainya) dengan maurid atau apa yang terkandung dalam) perkataan
itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan sebagai masal yang layak diterima
dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi.
Dan katanya lebih lanjut “masal’ dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk
menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan
mempunyai keanehan.
Dengan demikian, maka amsal Al-Qur’an tidak dapat diartikan
etimotologis, Asy-Syabih dan an-Nadzir. Juga tidak tepat diartikan dengan
pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab dalam keabsahan yang dipakai oleh
para penggubah masal-masal, sebab amsal Al-Qur’an bukanlah perkataan-perkataan
yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga
tidak dapat diartikan dengan arti masal menurut ulama bayan, karena diantara
amsal Al-Qur’an ad yang bukan isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu
populer. Oleh karena itu, maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian
amsal Qur’an, yakni menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan
padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih
ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnu Qayyim mendefinisikan amsal Al-Qur’an dengan
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan
mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkret mahsus),
atau mendekatkan salah satu dari dua maksud dengan yang lain dan menganggap
salah satu sebagai yang lain.[6]
Menurut pendapat lain: amsal Al-Qur’an adalah menampakkan
pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang
mengena dalam jiwa baik dalam tasybih maupun majaz mursal.[7]
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa amsal Al-Qur’an adalah suatu perumpamaan atau ungkapan-ungkapan dengan
gaya bahasa yang indah yang diberikan oleh Allah swt melalui Al-Qur’an berupa
ungkapan singkat, jelas dan padat untuk dijadikan sebagai ibarat teladan yang
baik dalam rangka meningkatkan iman kita kepada Allah swt.
2. MACAM-MACAM AMTSAL DALAM AL-QUR’AN
Dalam memahami macam-macam amsal, ulama telah berusaha untuk
mengklasifikasikannya sehingga amsal dapat dibagi tiga macam, amsal musarraha,
amsal kaminah dan amsal mursalam.[8]
Amsal
Mursalah
Amsal
mursalah ialah yang didalamnya dengan lafaz amsal atau sesuatu yang menunjukkan
tasybih.[9]
Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an diantaranya :
Firman Allah mengenai orang munafik:
“Perumpamaan (masal)
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat kembali (ke jalan yang benar)
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat, sampai dengan sesungguhnya Allah atas segala sesuatu.”
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal)
bagi orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya “adalah
seperti orang yang menyalakan api. Karena di dalam api terdapat unsur cahaya;
dan masal yang berkenaan dengan api (maai) atau seperti (orang-orang yang
ditimpa) hujan lebat dari langit…” Karena di dalam air terdapat materi
kehidupan dan wahyu yang turun dari langit bermaksud untuk menerangi dan
menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik
dalam dua keadaan.
Di satu sisi mereka
bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan; mengingat
mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun disisi
lain Islam tidak memberikan pengaruh ‘nur’Nya terhadap hati mereka.
Karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api itu. Allah
menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan unsur “membakar”
yang ada padanya. inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (maai) Allah
menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai
gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia
meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga bahwa Al-Qur’an dengan salah
peringatan, perintah larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan
petir yang turun sambar menyambar.
Allah menyebutkan dua macam masal, maid an nari (misalnya)
Allah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air itu di
lembah menurut ukurannya. Banjir membawa buah yang menggembleng. Dan dari
(benda) yang mereka lebur dalam api, untuk dibuat perhiasan dan barang-barang
keperluan lain, terdapat pula buah seperti itu. Begitulah Allah membuat
perumpamaan kebenaran dan kepalsuan. Adapun buah itu bagai barang yang tiada
berharga, sedang apa yang berguna kepada manusia tinggal tetap dimuka
bumi. Demikianlah Allah telah membuat perumpamaan-perumpamaan.[10]
(ar-Rad 913: 17).
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati
diserupakan dengan air hujan yang diturunkannya untuk kehidupan bumi dan
tumbuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah, arus air yang mengalir di
lembah, membawa buah dan sampah.
Begitu pula hidayah dan jika bila mengalir di hati akan
berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah masal maai
dalam firmannya, ‘Dia telah menurunkan air hujan) dari langit Demikianlah
Allah membuat masal bagi yang hak dan yang bathil
Amsal
Kaminah
Amsal kaminah ialah ayat didalanya tidak disebutkan dengan
jelas lafadz tamsil, tetapi menunjukkan makna-makna yang indah, menarik dalam
kepadanya redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada
yang serupa dengannya.
Perumpamaan yang tersirat pada amsal kaminah bersifat pada
makna dan penuh pesona bahasa, sehingga dapat memberikan perumpamaan yang lebih
tepat pada sasaran yang diperbandingkan dan kesannya pun akan lebih mudah
diserap.
Ada beberapa contoh
mengenai hal ini diantaranya ayat-ayat ilahi yang bertendensikan pada
pembentukan cara hidup dalam batas-batas kewajaran misalnya:
Ayat-ayat
yang senada dengan perkataan (sebaik-baiknya urusan adalah pertengahannya)
Contohnya QS al Baqarah (2) : 68
Terjemahnya : Sapi
betina yang ada tidak tua dan tidak muda, pertengahan antara itu. Ayat uang
senada dengan perkataan (khabar tidak sama dengan menyaksikan sendiri)
contohnya QS al Baqarah (2) : 260
Terjemahnya : Allah
berfirman : Belum yakinkah kamu? “Ibrahim menjawab : “Aku telah meyakininya,
akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)”.
Ayat
yang senada dengan perkataan (sebagaimana kamu telah mengutangkan, maka
kamu akan dibayar).
Contohnya
QS. An Nisa (4) 123
Terjemahnya :
“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya
selain dari Allah”
Ayat
yang senada dengan perkataan (orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari
lubang yang sama)
Contohnya
QS. Yusuf (12) : 64
Terjemahnya :“Bagaimana
aku akan mempercayainya (Bunyamin) kepadaku, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada dahulu.
Amsal
Mursalat
Mursalat
berarti ungkapan lepas yang tidak terkait dengan lafadz tasybih, tetapi
ayat-ayat itu digunakan seperti penggunaannya peribahasa. Secara selintas, ciri
utamanya adalah sama dengan ciri utama peribahasa, ungkapan atau kalimatnya
ringkas; berisikan perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, atau
aturan tingkah laku. Ada
beberapa contoh :
Katakanlah ! Tiap orang berkarya sesuai profesinya….
Bukankah subuh itu sudah dekat
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya.,…..
Tidak sama yang buruk dengan yang baik
Dalam masalah amsal mursalah ulama berbeda pendapat tentang
apa dan bagaimana hukum menggunakannya sebagai masal dalam uraian ini ada 2
pendapat :
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang mempergunakan
amsal mursalah telah keluar dari adab Al-Qur’an. Alasannya adalah karena Allah
telah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan masal tetapi untuk
direnungkan dan diamalkan isi kandungannya. Salah satu contoh amsal
mursalah dalam Al-Qur’an yang menjadi kontraversi dalam penggunaan amsal mursalah
adalah ayat yang berbunyi :
Ayat ini dapat dijadikan sebagai Amtsal dalam membela,
membenarkan perbuatannya, ketika ia meninggalkan agama, padahal yang demikian
itu telah dilarang. Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak ada halangan bila
seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguh-sungguh.
Misalnya ada seseorang diajak untuk mengikuti ajarannya, maka ia bisa
menjawab bagimu agamamu dan bagiku agamaku
3. FAEDAH AMTSAL DALAM AL-QUR’AN
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang bisa
dijadikan petunjuk mengenai apa faedah dan kegunaan amsal itu, diantaranya al
Hasyr (59) : 21, supaya manusia berpikir, al Ankabut (29) : 43, orang-orang
yang berilmu menggunakan akal untuk menganalisisnya, dan az Zumar (39) : 27,
supaya manusia berzikir.
Ada kesamaan yang bisa terlihat dalam ketiga
ayat tersebut, yaitu bahwa amsal itu untuk manusia. Kemudian terlihat pula tiga
fungsi jiwa manusia yang terkait dengan amsal itu, yatafakkar, ya’kil, dan
yatadzakkar. Ini menunjukkan saat tertentu. Manusia berpikir, amsal yang
terdapat dalam Al-Qur’an bisa menjadi sasaran pemikirannya.
Di saat lain amsal bisa menjadi sasaran analisis atau bahan
untuk analisis. Dan juga membimbing seseorang berzikir.[11]
Sedang dari As Sunnah terdapat riwayat yang ditakhrij oleh al Baihaki
dari Abu Huraerah Rasulullah saw mensabdakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam lima rupa: halal, haram,
muhkam, mutasyabih dan amsal, maka diperintahkan untuk mengamalkan yang halal,
meninggalkan yang haram, mengikuti yang muhkam, mengimani yang mutasyabih dan
beri’tibar (mengambil pelajaran) pada amsal.[12]
Al
Qattan menunjukkan beberapa faedah amsal Al-Qur’an dimaksudkan untuk memudahkan
penggunaannya, yaitu :
Menonjolkan sesuatu yang ma’qul (abstrak) ke dalam bentuk
yang konkret sehingga dapat dirasakan atau mudah dihayati oleh manusia.
Misalnya, Allah membuat masal bagi keadaan orang yang memanfaatkan harta dengan
riya’ seperti amsal pada QS. Al Baqarah (2) : 264
Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu
yang tidak tampak seakan-akan tampak atau transparansi menjadikan yang
gaib seakan dapat langsung disaksikan. Seperti amsal dalam QS. Al Baqarah (2) :
275 :
Terjemahnya
: Orang-orang yang makan (mengambil) riba’ tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan (tekanan) penyakit gila. Memberi
motivasi pada hal-hal yang disenangi, dan berbuat lebih banyak dalam usaha
menghindari sesuatu yang dibenci atau mendorong orang-orang yang diberi masal
untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi
jiwa. Seperti amsal pada QS. Al Baqarah (2) : 261:
Terjemahnya :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Untuk
memuji orang yang diberi masal. QS. Al Hujrat (28) : 29
Terjemahnya : Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya
untuk
menggambarkan bahwa yang dijadikan objek dalam amsal memiliki cacat yang cukup
berarti[13]
Terjemahnya : “..maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amsal
lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasehat lebih kuat
dalam memberikan peringatan dan lebih memuaskan hati.[14]
Terjemahnya :
Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur’an ini setiap macam
perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.
Demikian beberapa
contoh amsal Al-Qur’an yang mewakili sasaran kegunaan amsal, dari sekian banyak
kegunaan, baik yang belum mampu yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas bahwa amsal Al-Qur’an suatu
perumpamaan dalam arti ungkapan-ungkapan dengan gaya bahasa yang indah yang diberikan oleh
Allah swt. Melalui Al-Qur’an berupa ungkapan singkat, jelas dan padat untuk
dijadikan sebagai ibarat tauladan yang baik agar supaya dapat ditingkatkan iman
kepada Allah swt.
Amsal Al-Qur’an akan ditemukan suatu kesan yang amat mendalam
bagi pemanfaatan akal manusia untuk lebih aktif dalam memahami ayat-ayat
Allah, yang pada gilirannya akan melahirkan keseimbangan antar piker dan
zikir yang didasari pada kekaguman terhadap kekuasaan-Nya.
Dalam ilmu sastra masal adalah suatu ungkapan, perkataan yang
dihikayatkan dan sudah popular dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat
dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu
diucapkan.[15]
Maksudnya ialah menyerupakan sesuatu (seseorang atau keadaan) dengan apa yang
terkandung dalam perkataan itu misalnya (berapa banyak lemparan-panah yang
mengena tanpa sengaja). Artinya betapa banyak lemparan panah yang mengenai
sasaran itu dilakukan seseorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya.[16]
Dari beberapa pengertian di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa amsal Al-Qur’an adalah suatu perumpamaan atau
ungkapan-ungkapan dengan gaya bahasa yang indah yang diberikan oleh Allah swt
melalui Al-Qur’an berupa ungkapan singkat, jelas dan padat untuk dijadikan
sebagai ibarat teladan yang baik dalam rangka meningkatkan iman kita
kepada Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Qur’an. Cet. III; Bogor Pustaka Litera Antar Nusa, 1996.
Dahlan,
Abd. Rahman. Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II; Bandung: Mizan, 1998.
Fahruddin
H.S., Ensiklopedi Al-Qur’an, Jilid II. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1992
Munawwir,
Ahmad Warison. Kamus Al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Qutub,
Sayyid. Al Tsawit al Fanni fi Al-Qur’an. Beirut: Dar al Surq, 1982.
Syadili,
Ahmad. Ulumul Qur’an. Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 1997.
[1] Sayyid Qutub, Al Tsawit al-Fanni
Fi Al-Qur’an (Beirut: Dar al Surq, 1982), h. 241.
[2] Ahmad Warison Munawwir, Kamus Al
Munawwir Arab Indonesia
Terlengkap (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), h. 1309.
[3] Ibid
[4] Mannan Al Qattan, Mahabis
fi Ulum Al-Qur’an (Cairo: Maktabatah Wahbah, 1997), h. 276.
[5] Ibid
[6] Manna Khalil Al-Qattan, Studi-studi
Islam Al-Qur’an (Cet. III; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 40.
[7] Ahmad Syadili, Ulumul Qur’an (Cet.
I; Bandung
Pustaka Setia, 1997), h. 35.
[8]
Mannan Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 44
[9] Ibid
[10] Fahruddin
HS., Ensiklopedia Al-Qur’an, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 284
[11] Jalaluddin Al Sayuti, Al Itqon fi
Ulumil Qur’an, Juz II (Beirut
; Daar al Ifkar, t.th)
[12] Fahruddin H.S., Ensiklopedi
Al-Qur’an, Jilid II. Cet. I; Jakarta:
PT. Rineka Cipta. 1992
[13] Dahlan, Abd. Rahman. Kaidah-kaidah
Penafsiran Al-Qur’an. Cet. II; Bandung:
Mizan, 1998.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Al-Qattan,
Manna Khalil. Studi-studi Islam Al-Qur’an. Cet. III; Bogor Pustaka Litera Antar Nusa, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar