MAKALAH MUHKAM MUTASYABIH; JOMI ANTO MUZAKKI, S.Sy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman kebutuhan akan
sarana dan prasarana penunjang kehidupan semakin meningkat. Hal ini ditandai
dengan kebobobrokan moral dari kalangan generasi muda sulit membedakan mana
yang hak dan mana yang batil, hukum hanya nama dan simbol semata, ditabah lagi
serangan dari musuh-musuh Islam, makar global yang menohok islam dan serangan
pemikiran dan ajaran yang menyimpang yang ditanamkan oleh kaum orientalis
dengan gerakan orientalisme-nya. Ibadah hanya dianggap sebatas ritual dan
seremonial belaka. Manusia seperti kehilangan pedoman hidup. Mereka terpenjara,
sengsara dana menderita karena ulah tangan-tangan mereka sendiri. Betapa indah gambaran Muhammad Arkoun
dalam menjelaskan Al-Qur’an.
Sepanjang zaman
Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan penafsiran (interpretasi baru)
sesuai background sang penafsir. Pendapat
Muhammad Arkoun di atas, dapat kita buktikan dalam salah satu kajian Ulumul
Qur’an, yaitu tentang muhkam dan mutasybih. Sebuah kajian
yang sering menimbulkan kontroversial sepanjang sejarah penafsiran
Al-Qur’an, karena perbedaan ’interpretasi’ antara ulama mengenai hakikat muhkam
dan mutasyabih.
Dalam Al-Qur’an, memang disebutkan kata-kata
muh}kam dan mutasyabih. Pertama, lafal muhkam , terdapat dalam Q.S. Hud : 1
كِتبٌ اُحْكِمَتْ ايتُـه....
Terjemahan: Sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan)
ayat-ayatnya....
Kedua, lafal mutasyabih terdapat
dalam (.Q.S. Zumar : 23 )
...كِتَابًا
مُتَشَـابِهًا مَّـثَانِيْ....
Terjemahan : …(yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang....
Ketiga, lafal muhkam dan mutasyabih sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini terdapat pada Q.S. Ali
Imran : 7:
هُوَ الَّذِيْ
اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتبَ مِنْهُ ايتٌ مُحْكَمتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتبِ و اُخَرُ
مُتَشبِهتٌ فَاَمَّا الَّذِيْنَ
فِى قُلُوْبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشبَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَـةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيْلِـه وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَه اِلاَّ الله ُ وَالرَّاسِخُوْنَ
فىِ الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِه كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا…
Terjemahan:
Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an
kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk dan lainnya mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari
ta’wilnya.1 padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami”...
Berdasarkan tiga
ayat tersebut, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya muh}kam berdasarkan
ayat pertama. Kedua berpendapat
bahwa Al-Qur’an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat
Al-Qur’an muhkam dan lainnya mutasyabih berdasarkan ayat ketiga. Inilah pendapat
yang sahih. Ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkam-nya Al-Qur’an adalah kesempurnaan dan tidak adanya
pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi
kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan dan kemukjizatannya.2
Dalam makalah ini,
akan dibahas pendapat-pendapat para ulama ahli tafsir mengenai hakikat ayat muhkam dan mutasyabih
dalam Al-Qur’an.
B. Tujuan Pembahasan
maka dari itu untuk mengobatri penyakit-penyakit tersebut
semua, maka dalam hal ini yang sangat dibutuhkan disini adalah sebuah pedoman
hidup yang benar-benar bisa menyelamatkan “hidup”, maka dari itu mempelajari ilmu-ilmu
Al-quran adalah sebuah alternatif yang sangat-sangat dibutuhkan namun demikian
telah termaktub dalam Al-qur’an dijelaskan secara global dan ada pula yang
secara detil.
Ada
sebagian ayat-ayat Al-qur’an yang bisa langsung dipahami maknanya dan ada yang
tidak. Maka dari itu perlu kita mempelajari Al-muhkam dan Al-mutasyabih,
agar kita dapat mengetahui mana yang bisa dipahami maknanya dan mana yang
tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH
a. Makna
secara Lugawi (bahasa)
Muhkam secara lugawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih
perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam
adalah sesuatu yang
dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[3]
Mutasyabih secara lugawi berasal dari kata syabaha, yakni bila
salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal
itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit atau abstrak.[4]
b. Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang
pengertian muhkam dan mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang
diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:
1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata
yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),
tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan
inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih}
al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada
pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya,
baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang
mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf
yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih} al-s}uwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah
sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu
kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak
memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan
tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain
pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan
dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya
yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak
terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui
konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini
dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk
kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah
lawannya muh}kam atas ism-ism
(kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah
(samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muh}kam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat,
yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya
tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat
ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.[5]
Subhi ash-Shalih merangkum
pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas,
dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[6]
2. KRITERIA AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN
MUTASYABIHAT
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih yang telah disampaikan para ulama di
atas, nampak tidak ada kesepakatan yang jelas antara pendapat mereka tentang muhkam dan
mutasyabih, sehingga
hal ini terasa menyulitkan untuk membuat sebuah
kriteria ayat yang termasuk muh}kam dan mutasyabih.
Ali Ibnu Abi Thalhah
memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut,
yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan,
ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat
yang harus diimani dan diamalkan.[7]
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan,
ayat-ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat
yang berisi beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang
boleh diimani dan tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria
ayat-ayat mutasyabihat sebagai ayat atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti
tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya
dengan sarana bantu, baik dengan ayat-ayat muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu
penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya
tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang
dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas, Ya
Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahankanlah
pengetahuan tentang ta’wil kepadanya. [8]
Muhkam menyangkut soal hukum-hukum (faraid}), janji, dan ancaman, sedangkan mutasyabih mengenai kisah-kisah dan perumpamaan.[9]
3. SEBAB-SEBAB TERJADINYA TASYABUH DALAM Al-QUR’AN.[10]
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas
ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.
a. Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh:
Q.S. Abasa : 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Terjemahan: Dan
buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal أَبٌّ
di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan
pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S.
Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Terjemahan: Untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu.
Ar-Raghib al-Asfhani membagi mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad
dan murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah tinjauan
dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah
untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum allatuqsitufil yatama
fankhihumataba lakum...., untuk meluruskan
kalam, seperti: laisa kamislihi syai’un, untuk
mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu‘iwaja..[11]
b. Disebabkan
oleh ketersembunyian pada makna
Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita
gaib. [12]
Contoh: Q.S.
al-Fath} [48]: 10.
...يَدُ
اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Terjemahan: ...tangan Allah di atas tangan [13]
mereka....
c. Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna
dan lafal
Ditinjau dari segi kalimat,
seperti umum dan khusus, misalnya uqtulul musyrikina, dari segi cara, seperti wujub dan nadb,
misalnya, fankhihu mataba lakum minan nisa, dari segi waktu, seperti nasikh dan mansukh,
misalnya, ittaqullah haqqa tuqatihi, dari segi tempat dan hal-hal lain yang turun di sana, atau dengan kata
lain, hal-hal yang berkaitan dengan adat-istiadat jahiliyah, dan yang dahulu
dilakukan bangsa Arab.[14] Seperti, laisal
birru bian ta’tul buyuta min zuhuriha, segi syarat-syarat yang mengesahkan dan membatalkan suatu perbuatan,
seperti syarat-syarat salat dan nikah.[15]
4. PEMBAGIAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DALAM Al-QUR’AN
Al-Zarqani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam[16]:
a.
Ayat-ayat
yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat
dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am : 59
وَعِنْدَه مَفَـاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُـهُا اِلاَّ
هُوَ....
Terjemahan : Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri....
b.
Ayat-ayat
yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,
seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’: 3
وَاِنْ خِفْـتُمْ اَلاَّ تُقْسِطُوْا فِى
الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi....
Maksud ayat ini tidak jelas
dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal
berbunyi :
وَاِنْ خَفْـتُمْ اَنْ لاَ تُقْسِطُوْا فِى اليَتمى اِذَا
تَـزَوَّجْـتُمْ بِهِنَّ فَانْكِحُوْا مَاطَابَ
لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ....
Terjemahan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka,
maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.
c.
Ayat-ayat
mutasya>biha>t yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama
tertentu dan bukan semua ulama.
Inilah yang
diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas:
اَللَّهُمَّ فَقِّهْـهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ
التَّأْوِيْلَ
Terjemahan: Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang
yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.
5. SIKAP ULAMA MENGHADAPI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT
Dalam Al-Qur’an sering kita temui
ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman : 27:
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو
الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Terjemahan: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S.
Ta>ha> [20]: 5 Allah
berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Terjemahan: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy.[17]
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan
pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[18]:
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani
sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan
Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan
mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan
mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan
mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula
mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang
makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ
بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ
اَخْرِجُوْهُ
عَنِّيْ.
Terjemahan: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui
(majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang
jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa
jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian
secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian
membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil
bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di
ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya
menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat
tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ
امَـنَّا بِه
Terjemahan: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah
dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan
oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[19]
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang
menkwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat
Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka
memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa
pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan
Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah,
“wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan
“diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [20]
Alasan mereka berani
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka,
suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan
yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak
bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka
nalar mengharuskan untuk melakukannya.[21]
Kelompok ini, selain didukung
oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli
berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang
berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا
مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ
تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Terjemahan: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: :
Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui
takwilnya.(H.R. Ibnu
al-Mundzir)[22]
Disamping dua mazhab di atas, ternyata
menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang
menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil
itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya
menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik
bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri lebih
sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf lebih
dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin
berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang
benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna
fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu
Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan
bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh
ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan
lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[23]
6. HIKMAH DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM AYAT-AYAT
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ada pepatah yang mengatakan, khudil h}ikmata
min ayyi wi’a>in kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitu pun dalam masalah muh}kam dan mutasya>bih. Muhammad Chirzin menyimpulkan setidaknya
ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan muh}kam dan mutasya>bih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
·
Andaiakata
seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muh}kama>t, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan
amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
·
Seandainya
seluruh ayat Al-Qur’an mutasya>biha>t, niscaya akan lenyaplah kedudukannya
sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin
bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah
pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكَيْمٍ حَمِيْدٍ
Terjemahan: Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. Fus}s}ilat : 42)
a. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muh}kama>t dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk
teus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari
taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
[24]
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muh}kam dan mutasyabih sebenarnya merupakan ke-mahabijaksanaan-Nya Allah,
bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena bagi orang yang mengetahui
berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang terhadap bentuk lahiriyah
dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada yang
memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa
cukup dengan bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang
menyerahkan diri kepada Allah dan ada orang yang melakukan pentakwilan,
ada manusia intelek dan manusia spiritual.[25]
Kalau hikmah ini kita kaitkan dengan dunia
pendidikan, setidaknya Allah telah mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui adanya
perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya.
Kalau kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan
dalam menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang
berbeda-beda dalam kecerdasan dan karakter.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ayat-ayat
muhkam dan mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi
dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi
sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan
bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar[26] sepanjang sejarah manusia
yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti.
Muhkam adalah ayat yang diketahui
maksudnya baik secara nyata mupun melalui takwil. Sedangkan Mutasyabihat adalah
ayay yang hanya Allah saja yang mengetahui maksudnya baik secara nyata maupun
melalui takwil seperti datangnya hari kiamat, keluarnya dajjal dan
sebagainya.
Sebab-sebab tasyabuh di dalam
al-Qur’an adalah:
a.
Kadang-kadang ia terdapat pada lafadz dan kata
b.
Kadang-kadang ia kembali kepada pengertian atau makna
Dalam
penjelasan surat
Ali Imron ayat 7 secara eksplisit menyebutkan bahwa ayat-ayat di dalam
al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabih yang
kedua-duanya saling berhadap-hadapan/berimbang.
Hikmah adanya ayat muhkam dan mutasyabihat
adalah sebagai ajang uji coba oleh Allah atas keimanan dan ketaqwaan para
hamba-hambanNya.
Demikianlah
makalah ini yang bisa kami sampaikan dan sajikan. Segala kritik dan saran kami
tunggu untuk melengkapi segala kekuranga. Semoga dengan adanya makalah ini para
pembaca maupun para pendengar mampu memahami, mengkaji dengan seksama, sehingga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga dengan adanya makalah
ini dapat menjadi khasanah dan menjadikan motivasi dalam membuat makalah yang
lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Digital
Chirzin,
Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Dahlan,
Zaini, dkk.1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
Syadali,
Ahmad dan Rofi’i, Ahmad. 2000.
Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka Setia
Qardhawi, Yusuf.
1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta:
Rabbani Press.
Ash-Shalih,
Subhi. 1995. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terjemah: Team Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Baljon,
J.M.S. 1991. Tafsir Al-Qur’an Muslim Modern. Terjemah: Ni’amullah Muiz. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Panggabean,
Samsurizal. 1989. Makna Muhkam dan
Mutasyabih dalam
Al-Qur’an. Makalah
disampaikan dalam diskusi al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Setiawan,
M. Nur Kholis. 2005. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: elSAQ.
I .Ta’wil berasal dari kata kerja awwala–yuawwilu-ta’wil
yang berarti “kembali”. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an dari sudut bahasa
berarti mengembalikan makna ayat kepada apa yang dikehendakinya. ( Zaini
Dahlan, dkk. 1991. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf, hal. 52. Adapun takwil dalam ayat tersebut artinya
interpretasi sendiri. (ibid, hal. 52).
[3] Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.
[4] Ibid,
hal. 70.
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i, op.cit,
hal. 201-203
[6] Muhammad Chirzin, op.cit,
hal. 71 atau baca bukunya Subhi ash-Shalih. 1995. Membahas Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, terjemah: Team Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.
171-174.
[7] Ibid, hal. 73 atau baca Syamsurizal Panggabean, Makna muh}kam dan Mutasya>bih dalam Al-Qur’an, makalah disampaikan dalam diskusi
Al-Jami’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 5 maret 1989, hal 3-4.
[8] Ibid, hal.73.
atau baca Syamsurizal Panggabean, op.cit., hal. 5-6.
[9] Zaini Dahlan, dkk, op.cit.,hal.178.
[10] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. op.cit,
hal. 204.
[11]
Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[12] Ibid, hal.
74.
[13]Orang yang berjanji setia biasanya
berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan
Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan
Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di
atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah
Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. (Digital
Al-Qur’an)
[14] Yusuf
Qardhawy.1997. Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press. Hal. 223
[15]
Muhammad Chirzin, op.cit., hal. 74.
[16] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, op.cit, hal.
206.
[17] Bersemayam di atas 'Arsy
ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan
kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[18] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit,
hal. 211-212.
[19] Ibid,
hal. 216-217.
[20] Ibid,
hal. 217-218
[21] Ibid,
hal. 128
[22] Ibid,
hal. 219
[23] Ibid,
hal 222
[24] Muhammad
chirzin, Op.cit. hal. 74-75
[25]Yusuf Qardhawy.1997. Op.cit. hal. 226
[26]
Meminjam istilah M.Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar (Yogyakarta: elSAQ, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar