BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada abad
pertengahan, hegemoni antara akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada
abad itu akal kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah
mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal manusia itu sudah
membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat.
Abad ini juga
telah dipenuhi lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir
kreatif, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pikiran tokoh
gereja. Abad ini tidak saja lamban, lebih dari itu secara pukul rata filsafat
mundur pada abad ini jangankan menambah, menjaga warisan sebelumnya pun abad
ini tidak mampu.[1]
Banyak orang yang
jengkel melihat dominasi Gereja. Mereka ingin segera mengakhiri dominasi itu.
Akan tetapi, mereka khawatir mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya
yang telah dikirim ke akhirat. Sekalipun demikian ada juga pemberani, yang
sanggup melawan arus deras itu. Orang itu adalah Rene Descarates.
B.
Tujuan Penulis
Adapun tujuan
penulis adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Filsafat, selain itu juga
ada beberapa tujuan diantaranya :
- Mengetahui lebih jauh tentang Akal Dan Hati Pada Zaman Pertengahan
- Untuk menambah wawasan dan pengalaman kami sebagai mahasiswa/ i.
C.
Pembatasan masalah
Karena keterbatasan
waktu, pikiran dan tenaga maka kami membatasi tentang Akal dan Hati Pada Zaman
Pertengahan ( modern )
D.
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan
data yang kami lakukan yaitu studi literature.
E.
Sistematika penulisan
Sistematika penulsian yang kami lakukan
terdiri dari :
- Bab I. Pendahuluan meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulis, Pembatasan masalah, Teknik pengumpulan data dan Sistematika penulisan.
- Bab II. Akal dan Hati Pada Zaman Pertengahan terdiri dari Renaissance, Rasionalisme, Idealisme objektif, Idealisme theist, Empirisisme,Pragmatisme, Eksistensialisme.
- Bab III. Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PEMBAHASAN
AKAL DAN
HATI PADA ZAMAN PERTENGAHAN
1. RENAISSANCE
Renaissance
berarti “lahir kembali”. Pengertian rilnya adalah manusia mulai memiliki
kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia.
Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat
awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan
terhadap kodrat manusia itu sendiri.[2]
Jaman ini lebih
merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan
manusia tampak dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia.
Politik tidak lagi
dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu
sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik
adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan
kestabilan dan keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan.
Bila abad pertengahan memegang teguh
konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance
merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal
eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif,
melainkan eksperimental-matematis-kalkulatif. Tokoh-tokohnya antara lai:
Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon.
Boleh disimpulkan
bahwa jaman renaissance adalah jaman pendobrakan manusia untuk setia dan
konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru
yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu
pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat
memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan
aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologi-tekhnologi seperti
yang kita nikmati sekarang ini.
2.
RASIONALISME (Descartes-Spinoza-Leibniz).
Istilah
rasionalisme di ambil dari kata dasar “ratio” (Latin) atau “ratiolism
“(Inggris) yang berarti akal budi. Sedangkan rasionalisme berarti suatu
pandangan filosofis yang menekankan penalaran atau refleksi sebagai dasar untuk
mencari kebenaran. Rene Descartes adalah tokoh yang pertama kali meletakkan
dasar teori rasional dalam wacana filsafat Modern, terutama pada kesadaran budi
(akal/rasio) sebagai upaya pencapaian kebenaran (antoposentris). Menurutnya,
rasio menjadi sumber dan pangkal segala pengertian, sedangkan budi memegang
pimpinan dalam segala pengertian.
Berpangkal pada
sumber rasio, aliran ini berpangaruh besar terhadap perkembangan pemikiran
tokoh-tokoh filsafat sesudahnya, diantaranya di Prancis Blaisc Pascal
(1623-1662M), Baruch Spinoza di Netherland (1632- 1677M), dan Libnis
(1646-1716) di Jerman. Walaupun corak pemikirannya berbeda menurut sudut
pandang masing-masing, akan tetapi substansi teorinya yang digunakan sebagai
landasan hipotesisnya tetap tunggal yakni rasio.
Tahap awal
rasionalisme yang ditandai oleh empat tokoh besar di atas, lebih menfokuskan
pada sikap mereka terhadap cara kerja apriori dan Aposteriori dalam filsafat
dan ilmu pengetahuan.[3]
Baru pada abad Ke- 20-an cara kerja maupun dasar teoritis ilmu-ilmu di soroti
lebih tajam dalam lingkup filsafat. Sebelumnya ilmu pengetahuan didekati dengan
hukum dan aturan-aturan yang ketat dan harus dirumuskan dalam suatu teori dari
hasil observasi. Dengan kata lain, mereka lebih memusatkan perhatiannya pada
hubungan antara teori dengan keterangan observasi, tanpa memperhatikan asal
mula dan pertumbuhan teori yang kompleks dalam kajian ilmiah.
Atas dasar ini,
Imre Lakatos mencoba memberikan tawaran metode/teori alternatif di dalam usaha
menggarahkan teori sebagai struktur dan program riset dan menentukan kriteria
tentang rasionalitas.
3.
IDEALISME OBJEKTIF (Ficthe-Sheilling-Hegel)
Di dalam filsafat, idialisme adalah doktrin yang mengajarkan
dunia fisik hanya dapat difahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind),
spirit (roh), istilah ini diambil dari “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Keyakinan in ada Plato.
Pada filsafat modern pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley
(1685-1753), yang menyatakan hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea.
Leibniz menggunakan permulaan ini pada abad ke-18; menamakan pemikiran Plato
sebagai lawan materialisme Epicurus (Resse:243).[4]
Idiealisme
mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu tokoh-tokoh teisme
yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis
karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh
idealisme, mereka yang menggunakan argumen yang mengatakan bahwa “objek-objek
fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan” argumen orang-orang idealis
mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari
spirit.
4. IDEALISME THEIST (Pascal –Kant)
Pada zaman modern
ternyata masih ada “turunan langsung” Anselemus Dan Agustinus (filosof abad
tengah), yaitu Pascal. Pemikirannya tentang tuhan dan manusia hampir merupakan
fotokopi pemikiran Anselemus Dan Agustinus. Kan juga mengakui tuhan dalam
filsafatnya. Tapi, Tuhan ia temukan dengan cara berbeda dari pascal.
5. EMPIRISISME (Locke-Hume-Spencer).
Empirisisme adalah
fahaman yang menganggap bahawa ilmu berpuncak dari pengalaman yang diperolehi
melalui deria. Ilmu juga diberi pengwajaran atau justifikasi dengan merujuk
kepada bukti dari pengalaman deria. Jadi, dari kedua-dua segi, yaitu dari segi
sumber ilmu, dan juga dari segi menentukan kesahihan ilmu, pengalaman dari
deria memainkan peranan yang penting di dalam fahaman empirisisme.
Tugas epistemologi
golongan empirisis ialah untuk memberikan satu penjelasan tentang bagaimana
ilmu, khususnya ilmu yang bercorak canggih dan menyeluruh, boleh terbit dari
pengalaman yang diperoleh melalui deria. Tokoh empirisis ini pada abad ke 18
adalah John Locke dan David Hume.
6. PRAGMATISME :William James (1842-1910).
Istilah
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action)
atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya,
yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu
berarti ajaran yang menekan¬kan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian
Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran
(theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan Wil¬liam
James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Kebenaran
menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti.
Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran
teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak
berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan
selalu berubah, sejalan dengan perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan
benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Dan aliran ini hanya
menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.

Setelah melalui Abad Pertengahan (abad
V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat
dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar
antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani
dan Romawi.
Berbeda dengan
tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah
metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika,
Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham
(1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan
inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas
yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat
Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya
Renaissance.
Semangat
Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan
dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan,
tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri.
Dalam hal ini
Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni
keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal
untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance,
seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang
didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga
Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda
dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan
pada Abad Pertengahan.
Jadi, Barat tidak
mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang
menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik
(400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh
Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 – 1400 M) dengan filsafat
Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas
metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh
Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat
Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga
diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja
Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini
bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda
Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan
dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara
langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan
ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan
beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah
kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik
terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung
dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi
memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang
tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss),
mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang
menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide
Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan
doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abad XVII,
perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda :
aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650),
Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan
tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal),
sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau
pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah
Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton
(1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme
dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah
pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada
Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan
manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum,
pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari
prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan
“immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John
Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya
(hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa
substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang
diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume
(1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan)
ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan
keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat
pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George
Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang
tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang
mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang
bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai
menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir
Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant
juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan
mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar
ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman tersebut.[5]
Pada abad XIX,
filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte
(1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka
kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan
ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya,
aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh
yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan
murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan,
yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey
(1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya
Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang
memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide
Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.[6]
Empirisme itu
sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang
berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte
(1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme
sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang
nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.[7]
Nilai-nilai
politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu
sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah,
dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi,
nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari
suatu masyarakat itu sendiri.[8]
Materialisme
adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah
materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883)
dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel,
tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil
Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi
Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis
yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan
sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya.
Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar
ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme
dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada
pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh
Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain
John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan
diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin berikut.
7.
EKSISTENSIALISME (Kierkegaard-Sartre).
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.[9]
Dalam studi sekolahan
filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre,
yang terkenal dengan diktumnya “human is condemned to be free”,
manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia
bertindak.
Namun, menjadi
eksistensialis, bukan harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar
bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia,
tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
dari eksistensialisme.
Membuat sebuah
pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa
depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita
akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis
dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah
kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
v Renaissance lebih merupakan gerakan
kebudayaan daripada aliran filsafat.
v Rasionalisme lebih menfokuskan pada sikap
mereka terhadap cara kerja apriori dan Aposteriori dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan.
v Idialisme adalah doktrin yang mengajarkan
dunia fisik hanya dapat difahami dalam kebergantungannya pada jiwa.
v Pada zaman modern ternyata masih ada
“turunan langsung” Anselemus Dan Agustinus (filosof abad tengah), yaitu Pascal.
v Paham Empirisisme adalah fahaman yang
menganggap bahawa ilmu berpuncak dari pengalaman yang diperolehi melalui deria.
v Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang
memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata
bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut
bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
v Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg
pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
v Eksistensialisme adalah salah satu aliran
besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.
B. SARAN
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang
lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan
buku-buku filsafat lainnya yang berkaitan dengan judul “ AKAL
DAN HATI PADA MASA ABAD PERTENGAHAN
”.
Kritik dan saran yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang
dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR
PUSTAKA
K. Bartens. 2002.
Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Mintaredja, Abbas
Hamami. 2003. Teori-teori Epistemologi common sense. Paradigma: Yogyakarta
Wahyudi, Imam,
2007, Pengantar Epistemologi, Lima: Yogyakarta
Wijaya, Cuk
Ananta. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
[1] Wijaya, Cuk Ananta. 2001. Pengantar Filsafat Nilai.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
[2] Tafsir Ach, Filsafat Umum, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2003
[3] Mintaredja, Abbas Hamami. 2003.
Teori-teori Epistemologi common sense. Paradigma: Yogyakarta
[4] Informasi biografis tentang Hegel
berasal dari http://en.wikipedia.org/wiki/Hegel
[5] Wahyudi, Imam, 2007, Pengantar
Epistemologi, Lima: Yogyakarta
[6] Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1975
[7]
Wahyudi, Imam, 2007, Pengantar Epistemologi, Lima: Yogyakarta
[9] Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. 7, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar