Minggu, 15 November 2015

MAKALAH AGUSTINUS FILSAFAT UMUM. OLEH: JOMIANTO MUZAKKI, S.Sy. METRO LAMPUNG


OLEH : JOMIANTO MUZAKKI, 0821-7725-7006
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Membatasi alam pikiran dengan waktupun tidak mudah. Haruskah abad pertengahan dalam filsafat kita samakan dalam waktu yang sejarah dunia juga disebut abad pertengahan? Kami rasa tidak, sebab sejarah ukurannya berbeda benar. Ada yuang membagi sejarah filsafat atas filsafat kuno, filsafat abad pertengahan dan filsafat modern.
            Jadi sebenarnya filsafat kuno (Yunani) pada suatu masa berdampingan waktu dan tempatnya dengan alam pikiran yang kami sebut patristic. Tetapi patristic tidak dapat disebut aliran resmi ketika itu, lebih-lebih pada mulanya karena orang-orang katolik itu merupakan bangsa yang amat tertindas, bahkan agamanya menjadi larangan Negara. Baru setelah pengumuman di milano, yang menyatakan bahwa kerajaan Roma ada kemerdekaan agama, maka sejak ketika itulah (awal abad ke-4)orang-orang yang beragama katolik dapat leluasa menjalankan ibadatnyadan mengekakan buah pikiran di muka umum.
Tetapi tidak serta merta terwujud. Sebab sementara itu kerajaan Roma mengalami kesulitan politik serta kemudian merasai krusuhan-kerusuhan yang sangat hebat, sehingga orang tak dapat berfilsafat dan menyelenggarakan kebudayaan.
Sejarah filsafat abad pertengahan diawali oleh masa Patirstik. Masa ini diisi oleh para pujangga kristen dari abad-abad pertama kekristenan. Mereka berupaya meltekkan dasar intelektual bagi agama Kristen. [1] Diantara para pujangga gereja yang muncul, tidak dapat disangkal, bahwa yang terbesar adalah Aurelius Augustinus atau lebih terkenal dengan nama. Augustinus. Ia diakui sebagai pemikir yang terpenting dari masa patristik. St. Augustinus lahir di Thagaste, propinsi Romawi Afrika 9sekarang Aljazair bagian barat) pada tanggal 13 November 354.[2] Pada umur 16 tahun ia mulai belajar ilmu retorika di Karthago. Pengalamanya membawa Augustinus kepada suatu pendekatan filsafat yang unik. Pada umur 19 tahun, ia membaca buku Hortensius, tetapi buku ini tidak memberikan kepastian intelektual baginya.
Lalu kemudian ia membaca buku Kitab suci tetapi itu tidak memuaskan karena ia menemukan problem kejahatan moral. Orang kriaten percaya bahwa Tuhan itu baik tetapi mengapa terdapat kejahatan di dalam alam ciptaan yang diciptakan baik adanya ini? Lewat aliran Manikheisme, pertanyaan tentang kejahatan dijawab serta mengatasi kontrdiksi keberadaan kejahatan di dunia yang ini. Tetapi muncul suatu pertanyaan baru, yakni “mengapa terdapat dua prinsip yang berkonflik dalam alam semesta ini?” aliran manikheisme tidak dapat menunjukkan jalan keluar yang pasti.[3] Kemudian ia kembali kepada aliran Akademia yang menganut skeptisisme murni, yaitu bahwa manusia tidak dapat menemukan kebenaran. Kebenaran itu sendiri tergantung pada metode apa yang dipakai. Persoalannya adalah bagaimana metode itu ditemukan?
Pada tahun 384, ia pindah ke Roma dan mulai tertarik dengan iman kriten. Membaca Kitab Suci dan mempelajari filsafat Neo-Platonisme, khususnya tentang keberadaan sutu dunia yang immaterial yang secara total berbeda daro dunia material. Selanjtnya dari Plotinos, Augustinus mewariskan konsep, bahwa kejahatan bukanlah suatu realitas yang harus ada, melainkan absensi dari kebaikan.
Pada tahun 386, ia bertobat dan meninggalkan keahlian retorikanya, menurutnya filsafat yang benar adalah filsafat yang identik dengan pengetahuan akan Allah. Filsafat yang benar adalah filsafat yang saling mempengaruhi antara iman dan rasio.

B. Tujuan Pembahasan
Setelah teman-teman mahasiswa membaca, mempelajari dan mendiskusikan makalah ini diharapkan mahahasiswa mendapatkan wawasan yang lebih luas sehingga menambah intelektualitas sebagai seorang mahasiswa.

BAB II
PEMBAHASAN

1.   TENTANG AUGUSTINUS ( Cintailah Dan Lakukanlah )
"Jiwa Resah Mendambakan Istirahat". Kesan yang kita tanggap bagi seorang Agustinus bahwa hidup, berpikir, dan mencintai adalah satu kegiatan dalam iman. Dia dilahirkan di Tagaste tahun 354.[4]
Agustinus muda adalah lelaki yang suka foya-foya dan menikmati kesenangan duniawi yang kelak perbuatannya itu dianggap sebagai "kebejatan nafsu daging", "kegilaan nafsu birahi yang liar".[5] Yang khas dalam pandangan Agustinus adalah mengenai pengenalan diri adalah keterarahannya pada Tuhan:
"Aku mengenal diriku hanya di dalam terang kebenaran dari Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku" Dengan iman, manusia dapat mengembangkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Begitu juga sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imanya! Maka, "percayalah untuk bisa mengetahui, dan upayakanlah pengetahuan agar dapat percaya" (Crede ut intelligas, intellige ut credas).

2.  AJARAN MENGENAI ILUMINASI AUGUSTINIS
Ajaran ini terkait erat dengan penolakannya pada Skeptisisme; yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian pengetahuan. Dulunya, Agustinus menganut paham ini tapi kemudian menolaknya. Alasannya, memang tentang segala sesuatu di luar aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya. Akan tetapi, dengan menyangsikan kepastian segala sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku sangsikan lagi, yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala sesuatu.
Dengan kata lain, harus diterima bahwa pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, ragu-ragu, dan seterusnya: "Jadi, kalau aku keliru, aku ada" (Si enim fallor, sum).
Atas dasar pemikiran di atas, Agustinus mengemukakan jalan menuju kepastian pengetahuan. Namun, bukan di luar, melainkan di dalam, pada batin atau jati diri manusia itu sendiri. Kata-katanya yang terkenal:
"Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam dirimu sendiri; di dalam batin manusia tinggal kebenaran" (noli foras ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritos).
Di dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang niscaya dan berlaku di mana-mana. Kebenaran ini tidak berasal dari pengalaman inderawi, karena pengalaman indrawi sendiri mengandaikan adanya ide-ide tertentu. Pertanyaannya? Bagaimana kita bisa mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tanpa tergantung pada pengalaman indrawi.
Manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran yang abadi dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari Allah. Karena dalam keyakinan Agustinus, manusia secara alamiah sudah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. Inilah ajaran Agustinus tentang Iluminasi.
Proses ilumniasi dapat dianalogkan dengan akibat yang dihasilkan Sang Surya pada penglihatan kita. Mata kita adalah daya / kekuatan manusia (yakni rasionya, di mana ada "benih kebenaran"), benda yang diterangi merupakan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan Sang Surya sendiri adalah sumber kebenaran pengetahuan kita (Tuhan). Dalam analog yang lain, Agustinus mengambil contoh dalam dunia pendidikan.
 Bahwa proses belajar-mengajar hanya mungkin karena adanya "dasar pengetahuan" atau "pengertian" dalam diri manusia. Ini tinggal dihidupkan saja dengan perkataan dan penjelasan bapak guru. Tindakan "menghidupkan" ini tentu sama sekali berbeda, misalnya, dengan sekedar "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk kepada seorang anak.



3. PERIODE AWAL AUSGUSTINUS (800-1200 M)
Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme banyak berpengaruh. Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian Tuhan berdasarkan rasio murni tanpa berdasarkan kitab suci. Tokohnya adalah Anselmus. Selain para pemikir dari kristen, jangan pula dilupakan peran filosof Islam seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd. Keduanya berperan hebat dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan neo-Platonis sehingga juga mempengaruhi Abad Pertengahan. Ibn Sina misalnya, berusaha mensintesiskan neo-Platonisme dan Aristotelianisme.

4. PERIODE AUGUSTINUS  PUNCAK (1200-1300 M)
Filsafat Aristoteles memberikan pengaruh yang besar. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200). Pada periode ini pula, terjadi kontrontasi dua golongan rohaniawan (ordo) antara ordo Fransiskan (berorientasi pada filsafat Agustinus) dan ordo Dominikan (berorientasi pada filsafat Aristoteles). Pada abad ke-13, terjadi sintesis besar dua khazanah pemikiran antara kristiani (ajaran Augustinus) dan filsafat Yunani (Plato, neo-Platonisme, dan Aristoteles).
Tokohnya, Yohanes Fidanza (Bonaventura), Albertus Magnus, dan Thomas Aquinas. Hasil sintesis ini disebut Summa (keseluruhan, Latin).

5. PERIODE AUGUSTINUS LANJUT/AKHIR (1400 M)
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio dalam memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Timbullah semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggung jawabkan ajaran Gereja. Dan hanya iman yang dapat menerimanya.
 Kesalehan dan hidup mistik mendapatkan perhatian istimewa. Tokohnya seperti Thomas A. Jempis. Dan muncul tokoh lainnya di Jerman, Nicolaus Cusanus. Ia menampilkan "Pengetahuan mengenai Ketidaktahuan" ala Socrates dalam pemikiran kristianinya: "Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dapat kuketahui bukanlah Tuhan". Setelah periode ini, filsafat mulai memasuki periode jaman modern yang diawali dengan jaman Renaissans, jaman "Kelahiran Kembali" kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa.
Filsuf Sekaligus Teolog tidak dapat dibantah bahwa Thomas Aquinas adalah tokoh terpenting kala itu pada jaman Skolastik. Ia berjasa dalam memadukan secara orisinil pemikiran Augustinus dengan filsafat Aristoteles. Lewat sebuah ensiklik (surat edaran dari kepausan). Ajaran Thomas Aquinas dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat kristiani dan wajib diajarkan pada semua sekolah filsafat dan teologi Katolik. Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja keduanya menggunakan metode yang berbeda. Filsafat memulai penyelidikannya dari benda-benda ciptaan (dalam kawasan yang alamiah), dan dari sinilah dapat mencapai Allah.
 Sementara teologi justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya (misalnya pengetahuan tentang misteri trinitas, inkarnasi, sakramen). Semua pengetahuan ini memang berada di luar batas-batas akal budi, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi, melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas).

6.  CIRI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
  1. Adanya hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani.
  2. Tema Filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio-manusia.
  3. Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
A. Jaman Penting Abad Pertengahan
Sejarah Abad Pertengahan dibagi menjadi dua jaman, yakni jaman patristik dan jaman skolastik
a. Jaman Patristik [Abad ke-2 sampai Abad ke-7]
Istilah "Patristik" (Patres, Latin) yang menunjuk pada Bapa-bapa Gereja, dan juga berarti pujangga-pujangga Kristen dalam abad pertama Masehi yang meletakkan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam konteks saat itu, agama Kristen juga dihadapkan pada kebudayaan Yunani terutama pikiran-pikiran filosofis yang beredar dalam masyarakat. Di sinilah muncul pro dan kontra terhadap penerimaan filsafat. Karenanya, Jaman Patristik ditandai dengan usaha keras para Bapa Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta membelanya dari serangan kaum kafir dan bid'ah kaum Gnosis. Menurut pendapat mereka, sesudah manusia berkenalan dengan Wahyu Ilahi yang tampak dalam diri Yesus Kristus, filsafat sebagai kecerdikan manusiawi belaka merupakan sesuatu yang berlebihan saja, bahkan suatu bahaya yang mengancam kemurnian iman kristiani. Sebagai contoh, sebut di antaranya seperti;
  • YUSTINUS MARTIR melihat "Nabi dan Martir" Kristus dalam diri Sokrates. Dan dikenal sebagai Filsuf Kristen pertama.
  •  TERTULIANUS mengatakan tidak ada hubungan antara Athena (simbol Filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani).
  • ORIGENES berpendapat wahyu Ilahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi Gereja dan ajaran para rasul.
Kemudian pada abad ke-5, Augustinus muncul. Ajarannya yang kuat dipengaruhi oleh neo-Platonisme merupakan sumber inspirasi bagi pemikir Abad Pertengahan sesudah dirinya selama sekitar 800 tahun.[6]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
      Istilah Abad Pertengahan merupakan istilah untuk menunjuk suatu jaman peralihan atau jaman tengah antara dua jaman penting sesudah dan sebelumnya; yakni Jaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Jaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17. Sejarah Abad Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Ciri Filsafat Abad Pertengahan: 1) Adanya hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani. 2) Tema Filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio-manusia. 3) Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya. Jaman penting abad pertengahan: 1) jaman patristik, 2) jaman Scholastic.[7]
Pandangan Augustinus pada saat sekarang sangatlah relevan, banyak dari kita sebagai manusia, hanya melihat suatu kebenaran berdasarkan pancaindera kita. Misalnya melihat sesuatu yang bagus kemudian ingin memilikinya sehingga kadang kebutuhan manusia selalu berubah-ubah. Manusia tidak mampu melihat kebutuhan yang paling esensi dalam hidupnya.
Misalnya pelajar yang memilih HP dari pada beberapa buku tulils. Sebagai manusia, menurut Augustinus, jiwa dan akal budi harus digunakan dalam mencari pengetahuan yang paling esensi dalam keseharian hidup kita.






DAFTAR PUSTAKA

Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Terj. Winarsih Arifin dan Th. Van Den End. Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Tafsir, A. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.        
J. Ohoitimur, “Ringkasan Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno dan Abad Pertengahan” (traktat Kuliah STF-SP, 2000), hlm. 98.
Bdk Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosdakaraya,2001), hlm. 87.





[1] . J. Ohoitimur, “Ringkasan Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno dan Abad Pertengahan” (traktat Kuliah STF-SP, 2000), hlm. 98.
[2] . Ibid., hlm. 99.
[3] Bdk Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosdakaraya,2001), hlm. 87.
[5] Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Terj. Winarsih Arifin dan Th. Van Den End. Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar