OLEH : JOMIANTO MUZAKKI, 0821-7725-7006
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membatasi alam pikiran dengan waktupun tidak mudah. Haruskah abad pertengahan
dalam filsafat kita samakan dalam waktu yang sejarah dunia juga disebut abad
pertengahan? Kami rasa tidak, sebab sejarah ukurannya berbeda benar. Ada yuang membagi sejarah
filsafat atas filsafat kuno, filsafat abad pertengahan dan filsafat modern.
Jadi sebenarnya filsafat kuno (Yunani) pada suatu masa berdampingan waktu dan
tempatnya dengan alam pikiran yang kami sebut patristic. Tetapi patristic tidak
dapat disebut aliran resmi ketika itu, lebih-lebih pada mulanya karena
orang-orang katolik itu merupakan bangsa yang amat tertindas, bahkan agamanya
menjadi larangan Negara. Baru setelah pengumuman di milano, yang menyatakan
bahwa kerajaan Roma ada kemerdekaan agama, maka sejak ketika itulah (awal abad
ke-4)orang-orang yang beragama katolik dapat leluasa menjalankan ibadatnyadan
mengekakan buah pikiran di muka umum.
Tetapi
tidak serta merta terwujud. Sebab sementara itu kerajaan Roma mengalami
kesulitan politik serta kemudian merasai krusuhan-kerusuhan yang sangat hebat,
sehingga orang tak dapat berfilsafat dan menyelenggarakan kebudayaan.
Sejarah
filsafat abad pertengahan diawali oleh masa Patirstik. Masa ini diisi oleh para
pujangga kristen dari abad-abad pertama kekristenan. Mereka berupaya meltekkan
dasar intelektual bagi agama Kristen. [1] Diantara
para pujangga gereja yang muncul, tidak dapat disangkal, bahwa yang terbesar
adalah Aurelius Augustinus atau lebih terkenal dengan nama. Augustinus. Ia
diakui sebagai pemikir yang terpenting dari masa patristik. St. Augustinus
lahir di Thagaste, propinsi Romawi Afrika 9sekarang Aljazair bagian barat) pada
tanggal 13 November 354.[2]
Pada umur 16 tahun ia mulai belajar ilmu retorika di Karthago. Pengalamanya
membawa Augustinus kepada suatu pendekatan filsafat yang unik. Pada umur 19
tahun, ia membaca buku Hortensius, tetapi buku ini tidak memberikan
kepastian intelektual baginya.
Lalu
kemudian ia membaca buku Kitab suci tetapi itu tidak memuaskan karena ia
menemukan problem kejahatan moral. Orang kriaten percaya bahwa Tuhan itu baik
tetapi mengapa terdapat kejahatan di dalam alam ciptaan yang diciptakan baik
adanya ini? Lewat aliran Manikheisme, pertanyaan tentang kejahatan dijawab serta
mengatasi kontrdiksi keberadaan kejahatan di dunia yang ini. Tetapi muncul
suatu pertanyaan baru, yakni “mengapa terdapat dua prinsip yang berkonflik
dalam alam semesta ini?” aliran manikheisme tidak dapat menunjukkan jalan
keluar yang pasti.[3] Kemudian
ia kembali kepada aliran Akademia yang menganut skeptisisme murni, yaitu bahwa
manusia tidak dapat menemukan kebenaran. Kebenaran itu sendiri tergantung pada
metode apa yang dipakai. Persoalannya adalah bagaimana metode itu ditemukan?
Pada
tahun 384, ia pindah ke Roma dan mulai tertarik dengan iman kriten. Membaca
Kitab Suci dan mempelajari filsafat Neo-Platonisme, khususnya tentang
keberadaan sutu dunia yang immaterial yang secara total berbeda daro dunia
material. Selanjtnya dari Plotinos, Augustinus mewariskan konsep, bahwa
kejahatan bukanlah suatu realitas yang harus ada, melainkan absensi dari
kebaikan.
Pada
tahun 386, ia bertobat dan meninggalkan keahlian retorikanya, menurutnya
filsafat yang benar adalah filsafat yang identik dengan pengetahuan akan Allah.
Filsafat yang benar adalah filsafat yang saling mempengaruhi antara iman dan
rasio.
B. Tujuan Pembahasan
Setelah
teman-teman mahasiswa membaca, mempelajari dan mendiskusikan makalah ini
diharapkan mahahasiswa mendapatkan wawasan yang lebih luas sehingga menambah
intelektualitas sebagai seorang mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
1. TENTANG AUGUSTINUS ( Cintailah Dan
Lakukanlah )
"Jiwa
Resah Mendambakan Istirahat". Kesan yang kita tanggap bagi seorang
Agustinus bahwa hidup, berpikir, dan mencintai adalah satu kegiatan dalam iman.
Dia dilahirkan di Tagaste tahun 354.[4]
Agustinus
muda adalah lelaki yang suka foya-foya dan menikmati kesenangan duniawi yang
kelak perbuatannya itu dianggap sebagai "kebejatan nafsu daging",
"kegilaan nafsu birahi yang liar".[5] Yang khas dalam pandangan Agustinus adalah
mengenai pengenalan diri adalah keterarahannya pada Tuhan:
"Aku mengenal diriku hanya di dalam
terang kebenaran dari Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku"
Dengan iman, manusia dapat mengembangkan berbagai kemungkinan pengetahuannya.
Begitu juga sebaliknya, dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imanya!
Maka, "percayalah untuk bisa mengetahui, dan upayakanlah pengetahuan
agar dapat percaya" (Crede ut intelligas, intellige ut credas).
2. AJARAN MENGENAI ILUMINASI AUGUSTINIS
Ajaran ini terkait erat dengan
penolakannya pada Skeptisisme; yaitu suatu faham yang mengajarkan bahwa manusia
tidak dapat mencapai kepastian pengetahuan. Dulunya, Agustinus menganut paham
ini tapi kemudian menolaknya. Alasannya, memang tentang segala sesuatu di luar
aku, aku bisa menyangsikan kepastiannya. Akan tetapi, dengan menyangsikan
kepastian segala sesuatu, ada satu kepastian yang tidak dapat aku sangsikan
lagi, yakni kepastian bahwa aku ini tengah menyangsikan segala sesuatu.
Dengan kata lain, harus diterima bahwa
pasti ada Aku yang tengah sangsi, keliru, bingung, ragu-ragu, dan seterusnya:
"Jadi, kalau aku keliru, aku ada" (Si enim fallor, sum).
Atas dasar pemikiran di atas, Agustinus
mengemukakan jalan menuju kepastian pengetahuan. Namun, bukan di luar,
melainkan di dalam, pada batin atau jati diri manusia itu sendiri. Kata-katanya
yang terkenal:
"Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam
dirimu sendiri; di dalam batin manusia tinggal kebenaran" (noli foras
ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritos).
Di
dalam batinnya, manusia menemukan kebenaran-kebenaran yang niscaya dan berlaku
di mana-mana. Kebenaran ini tidak
berasal dari pengalaman inderawi, karena pengalaman indrawi sendiri
mengandaikan adanya ide-ide tertentu. Pertanyaannya? Bagaimana kita
bisa mendapatkan ide-ide mengenai sesuatu, tanpa tergantung pada pengalaman
indrawi.
Manusia dapat mencapai kebenaran-kebenaran
yang abadi dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari Allah. Karena
dalam keyakinan Agustinus, manusia secara alamiah sudah terdapat suatu benih
kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. Inilah ajaran Agustinus tentang
Iluminasi.
Proses ilumniasi dapat dianalogkan dengan
akibat yang dihasilkan Sang Surya pada penglihatan kita. Mata kita adalah daya
/ kekuatan manusia (yakni rasionya, di mana ada "benih kebenaran"),
benda yang diterangi merupakan objek-objek pengetahuan kita, sedangkan Sang
Surya sendiri adalah sumber kebenaran pengetahuan kita (Tuhan). Dalam analog
yang lain, Agustinus mengambil contoh dalam dunia pendidikan.
Bahwa proses belajar-mengajar hanya mungkin
karena adanya "dasar pengetahuan" atau "pengertian" dalam
diri manusia. Ini tinggal dihidupkan saja dengan perkataan dan penjelasan bapak
guru. Tindakan "menghidupkan" ini tentu sama sekali berbeda,
misalnya, dengan sekedar "memberikan" pengetahuan seperti memberikan
sebuah jeruk kepada seorang anak.
3. PERIODE
AWAL AUSGUSTINUS (800-1200 M)
Ajaran
Agustinus dan neo-Platonisme banyak berpengaruh. Pada periode ini, diupayakan
misalnya, pembuktian Tuhan berdasarkan rasio murni tanpa berdasarkan kitab
suci. Tokohnya adalah Anselmus. Selain para pemikir dari kristen, jangan pula
dilupakan peran filosof Islam seperti Ibn Sina dan Ibn Rushd. Keduanya berperan
hebat dalam memperkenalkan pemikiran Aristoteles dan neo-Platonis sehingga juga
mempengaruhi Abad Pertengahan. Ibn Sina misalnya, berusaha mensintesiskan
neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
4. PERIODE
AUGUSTINUS PUNCAK (1200-1300 M)
Filsafat
Aristoteles memberikan pengaruh yang besar. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170),
Oxford (1200). Pada periode ini pula, terjadi kontrontasi dua golongan
rohaniawan (ordo) antara ordo Fransiskan (berorientasi pada filsafat Agustinus)
dan ordo Dominikan (berorientasi pada filsafat Aristoteles). Pada abad
ke-13, terjadi sintesis besar dua khazanah pemikiran antara kristiani (ajaran
Augustinus) dan filsafat Yunani (Plato, neo-Platonisme, dan Aristoteles).
Tokohnya,
Yohanes Fidanza (Bonaventura), Albertus Magnus, dan Thomas Aquinas. Hasil
sintesis ini disebut Summa (keseluruhan, Latin).
5. PERIODE
AUGUSTINUS LANJUT/AKHIR (1400 M)
Kepercayaan
orang pada kemampuan rasio dalam memberi jawaban atas masalah-masalah iman
mulai berkurang. Timbullah semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak
dapat dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggung jawabkan ajaran Gereja.
Dan hanya iman yang dapat menerimanya.
Kesalehan dan hidup mistik mendapatkan
perhatian istimewa. Tokohnya seperti Thomas A. Jempis. Dan muncul tokoh lainnya
di Jerman, Nicolaus Cusanus. Ia menampilkan "Pengetahuan mengenai
Ketidaktahuan" ala Socrates dalam pemikiran kristianinya: "Aku tahu
bahwa segala sesuatu yang dapat kuketahui bukanlah Tuhan". Setelah periode
ini, filsafat mulai memasuki periode jaman modern yang diawali dengan jaman
Renaissans, jaman "Kelahiran Kembali" kebudayaan Yunani-Romawi di
Eropa.
Filsuf
Sekaligus Teolog tidak dapat dibantah bahwa Thomas Aquinas adalah tokoh
terpenting kala itu pada jaman Skolastik. Ia berjasa dalam memadukan secara
orisinil pemikiran Augustinus dengan filsafat Aristoteles. Lewat sebuah
ensiklik (surat
edaran dari kepausan). Ajaran Thomas Aquinas dinyatakan sebagai dasar bagi
filsafat kristiani dan wajib diajarkan pada semua sekolah filsafat dan teologi
Katolik. Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena
keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat pada akhirnya
akan sampai pada kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja keduanya menggunakan
metode yang berbeda. Filsafat memulai penyelidikannya dari benda-benda ciptaan
(dalam kawasan yang alamiah), dan dari sinilah dapat mencapai Allah.
Sementara teologi justru sudah menerima Allah
sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-benda alamiah. Maka,
teologi memerlukan wahyu Allah. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan
adikodrati yang disampaikan wahyu kepadanya (misalnya pengetahuan tentang
misteri trinitas, inkarnasi, sakramen). Semua pengetahuan ini memang berada di
luar batas-batas akal budi, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa
pengetahuan itu bersifat irasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip
akal budi, melainkan jauh melampaui dan mengatasinya. Dengan kata lain, semua
pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat metarasional (meta,
Yunani: sesudah, di atas).
6. CIRI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
- Adanya hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani.
- Tema Filsafat Abad Pertengahan adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang berdasarkan kemampuan rasio-manusia.
- Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
A. Jaman Penting Abad Pertengahan
Sejarah Abad Pertengahan dibagi menjadi
dua jaman, yakni jaman patristik dan jaman skolastik
a. Jaman Patristik [Abad ke-2 sampai Abad ke-7]
Istilah "Patristik" (Patres,
Latin) yang menunjuk pada Bapa-bapa Gereja, dan juga berarti
pujangga-pujangga Kristen dalam abad pertama Masehi yang meletakkan dasar
intelektual untuk agama Kristen. Dalam konteks saat itu, agama Kristen
juga dihadapkan pada kebudayaan Yunani terutama pikiran-pikiran filosofis yang
beredar dalam masyarakat. Di sinilah muncul pro dan kontra terhadap penerimaan
filsafat. Karenanya, Jaman Patristik ditandai dengan usaha keras para Bapa
Gereja untuk mengartikulasikan, menata, dan memperkuat isi ajaran Kristen serta
membelanya dari serangan kaum kafir dan bid'ah kaum Gnosis. Menurut pendapat
mereka, sesudah manusia berkenalan dengan Wahyu Ilahi yang tampak dalam diri
Yesus Kristus, filsafat sebagai kecerdikan manusiawi belaka merupakan sesuatu
yang berlebihan saja, bahkan suatu bahaya yang mengancam kemurnian iman
kristiani. Sebagai contoh, sebut di antaranya seperti;
- YUSTINUS MARTIR melihat "Nabi dan Martir" Kristus dalam diri Sokrates. Dan dikenal sebagai Filsuf Kristen pertama.
- TERTULIANUS mengatakan tidak ada hubungan antara Athena (simbol Filsafat) dan Yerussalem (simbol teologi ajaran kristiani).
- ORIGENES berpendapat wahyu Ilahi adalah akhir dari filsafat manusiawi yang bisa salah. Orang hanya boleh mempercayai sesuatu sebagai kebenaran bila hal itu tidak menyimpang dari tradisi Gereja dan ajaran para rasul.
Kemudian
pada abad ke-5, Augustinus muncul. Ajarannya yang kuat dipengaruhi oleh
neo-Platonisme merupakan sumber inspirasi bagi pemikir Abad Pertengahan sesudah
dirinya selama sekitar 800 tahun.[6]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah Abad Pertengahan merupakan
istilah untuk menunjuk suatu jaman peralihan atau jaman tengah antara dua jaman
penting sesudah dan sebelumnya; yakni Jaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Jaman
Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17. Sejarah Abad
Pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Ciri Filsafat Abad Pertengahan: 1) Adanya
hubungan erat antara Agama Kristen dan Filsafat. Dengan kata lain, filsafat
Abad Pertengahan adalah filsafat Kristiani. 2) Tema Filsafat Abad Pertengahan
adalah hubungan antara iman yang berdasarkan wahyu-Ilahi dan pengetahuan yang
berdasarkan kemampuan rasio-manusia. 3) Dapatlah dikatakan bahwa Filsafat Abad
Pertengahan adalah filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
Jaman penting abad pertengahan: 1) jaman patristik, 2) jaman Scholastic.[7]
Pandangan
Augustinus pada saat sekarang sangatlah relevan, banyak dari kita sebagai
manusia, hanya melihat suatu kebenaran berdasarkan pancaindera kita. Misalnya
melihat sesuatu yang bagus kemudian ingin memilikinya sehingga kadang kebutuhan
manusia selalu berubah-ubah. Manusia tidak mampu melihat kebutuhan yang paling
esensi dalam hidupnya.
Misalnya
pelajar yang memilih HP dari pada beberapa buku tulils. Sebagai manusia,
menurut Augustinus, jiwa dan akal budi harus digunakan dalam mencari
pengetahuan yang paling esensi dalam keseharian hidup kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Augustinus. Pengakuan-Pengakuan. Terj. Winarsih
Arifin dan Th. Van Den End. Jakarta: Gunung
Mulia; Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Tafsir,
A. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001.
J. Ohoitimur, “Ringkasan Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno
dan Abad Pertengahan” (traktat Kuliah STF-SP, 2000), hlm. 98.
Bdk
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosdakaraya,2001),
hlm. 87.
[1] .
J. Ohoitimur, “Ringkasan Sejarah Filsafat Masa Yunani Kuno dan Abad
Pertengahan” (traktat Kuliah STF-SP, 2000), hlm. 98.
[2] .
Ibid., hlm. 99.
[3] Bdk Ahmad Tafsir, Filsafat Umum
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosdakaraya,2001), hlm. 87.
[5] Augustinus. Pengakuan-Pengakuan.
Terj. Winarsih Arifin dan Th. Van Den End. Jakarta:
Gunung Mulia; Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar